Lubang yang Semburkan Lumpur Panas Disertai Gemuruh Terus Bertambah di Sekitar Proyek Geotermal Mataloko, Warga Kian Takut

Beberapa lubang baru muncul di sekitar titik yang gagal sejak mulai dikerjakan lebih dari dua dekade lalu

Floresa.co – Lubang yang menyemburkan lumpur dan uap panas disertai bunyi gemuruh terus bertambah di sekitar lokasi proyek geotermal Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT yang kini sedang dikerjakan.

Situasi itu, menurut warga yang berbicara kepada Floresa, mengkhawatirkan mereka, mengingat sejarah kegagalan berulang proyek geotermal di wilayah itu sejak dimulai lebih dari dua dekade lalu.

Kabar terkait penambahan lubang itu mencuat lewat unggahan video yang viral di media sosial.

Dalam video-video itu, yang diunggah pada 15 dan 16 Desember di Facebook, warga Desa Wogo, Kecamatan Golewa merekam lubang-lubang semburan lumpur dan uap panas tersebut dari jarak dekat. Bunyi gemuruh dari lubang-lubang tersebut terdengar jelas.

Selain itu, lumpur panas yang disemburkan dari beberapa lubang tersebut juga tampak mengalir di permukaan lahan kebun yang sudah ditanami jagung oleh warga.

“Kami warga di sini juga merasa takut, resah. Ini adalah lubang baru,” kata warga tersebut dalam unggahan oleh akun Facebook Tata Imin.

Makin Banyak Sebulan Terakhir

Firmin Pere, warga Desa Wogo membenarkan dirinya merupakan pemilik akun Facebook Tata Imin yang mengunggah beberapa video tersebut, termasuk siaran langsung di lokasi.

“Lubang baru yang masih [berukuran] kecil itu ada dua,” katanya kepada Floresa pada 17 Desember.

Selain itu, kata dia, rumput di beberapa titik dalam area tersebut mengering, hal yang biasanya menjadi “tanda mau keluar [menyembur] juga.”

Andreas Mawo, 45 tahun, warga Kampung Turetogo, Desa Wogo yang terpaut sekitar 300 meter dari lokasi semburan lumpur dan uap panas tersebut mengonfirmasi kemunculan beberapa lubang baru di area kebun itu.

“Ada dua atau tiga lubang baru lagi,” katanya melalui telepon kepada Floresa pada 17 Desember.

Ia berkata, lubang-lubang tersebut sering muncul, berpindah-pindah dan bertambah banyak.

“Itu tidak lama [muncul] di tempat lain lagi,” lanjutnya.

Sementara bunyi gemuruh dari lubang-lubang tersebut juga semakin besar, bahkan “bisa didengar sampai di Kampung Wogo,” berjarak sekitar 800 meter ke arah barat daya.

Lubang-lubang tersebut yang muncul sekitar sebulan terakhir, kata Andreas, “membuat kami takut.”

“Tapi kami mau lari ke mana?” katanya.

Pasca kemunculan beberapa lubang baru tersebut, pemerintah dan perusahaan pengelola proyek geotermal, jelasnya, belum pernah melakukan pengecekan di lokasi.

Kepala Desa Minta Penjelasan PLN

Sementara itu, Ida Longa, Pejabat Sementara Kepala Desa Wogo berkata dirinya sempat mengecek lokasi tersebut pada 16 Desember setelah mendengar informasi sehari sebelumnya terkait kemunculan lubang-lubang semburan lumpur dan uap panas yang baru.

Ia membenarkan adanya lubang-lubang baru tersebut, yang “muncul setiap musim hujan.”

“Tiap musim hujan itu muncul mata air-mata air baru. Kita pikir itu kan biasa,” katanya kepada Floresa pada 17 Desember.

Namun, terkait pengakuan warga yang mengalami ketakutan, ia mengklaim “sebenarnya mereka aman-aman saja” karena “itu sudah terjadi bertahun-tahun.”

Ia juga berkata, titik-titik semburan lumpur dan uap panas tersebut hanya muncul di lahan yang sudah dimiliki oleh PT  PLN, perusahan milik negara yang mengerjakan proyek geotermal Mataloko.

“Lokasi itu sudah dibebaskan oleh pihak PLN, sudah diganti rugi. Masyarakat bekerja di atas tanah yang sudah diganti rugi,” katanya.

Ia mengklaim PT PLN telah menentukan radius potensi geotermal, di mana semua lahan yang masuk dalam radius tersebut telah diberikan ganti rugi.

Kendati telah memberikan ganti kerugian, lanjutnya, PLN hanya melakukan sosialisasi kepada pemilik lahan, kendati dampak-dampaknya seperti kerusakan pada seng atap rumah dirasakan oleh penduduk lainnya.

“Untuk masyarakat umum belum [sosialisasi],” katanya.

Karena itu, kata Ida, pihaknya akan menemui PT PLN untuk meminta mereka memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat, termasuk terkait “mata air baru dan gemuruh” yang muncul baru-baru ini.

“Kita butuh penjelasan ilmiah dari PLN dan sosialisasi supaya masyarakat tidak resah dan tidak timbul ide-ide liar seperti di dunia maya yang kadang meresahkan,” katanya.

Anak-anak Kampung Turetogo, Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada berdiri di dekat sebuah lubang yang terus menyemburkan lumpur dan uap panas pada September 2023. Lubang yang berada di lahan warga itu muncul setelah kegagalan pengeboran PLTP Mataloko. Dulunya berupa sawah, lahan ini tidak lagi dimanfaatkan. (Dokumentasi Floresa)

Proyek Gagal Berulang 

PT PLN saat ini sedang mengerjakan proyek untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Mataloko, bagian dari Proyek Strategis Nasional yang menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.

Proyek ini berlokasi di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

Proyek geotermal Mataloko, yang mulai dikerjakan pada 1998, mengalami kegagalan berulang, yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.

Laporan Floresa pada 15 Desember 2023 mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi tersebut, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit.

Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.

Felix Pere, 80 tahun, warga Turetogo, Desa Wogo kala itu berkata, pengeboran awal geotermal di kali yang terletak di sebelah bawah pemukiman pada 1998 menyisakan trauma.

Ia mengenang insiden ledakan pada suatu malam sekitar pukul sembilan. Saking kaget mendengar ledakan, semua warga berhamburan keluar rumah, lari ke lokasi di ketinggian, katanya.

“Di situ saya lihat sesuatu yang menyala seperti bola listrik, muncul dan menyala dari dalam tanah, menyembur hingga ketinggian 15 sampai 30 meter,” katanya.

Usai ledakan itu, titik pengeboran lalu dipindahkan sekitar 200 meter ke tempat yang lebih tinggi. Di tempat ini, sekitar tahun 2000, diadakan ritual adat “potong kerbau” sebelum dilakukan pengeboran, di mana Felix dan warga lainnya turut diundang. 

Menurut Rina Wahyuningsih dan Kastiman Sitorus,  peneliti dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sumur MTL-01 dan MT-1 di proyek itu ditutup dengan semen “karena adanya semburan liar uap panas dan gas.”

Dalam dokumen evaluasi yang dikeluarkan pada 2004 itu, dijelaskan bahwa dua sumur tersebut “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko” yang menargetkan pasokan uap sekitar 40 ton/jam untuk kapasitas listrik 2,5 MW.”

“Perlu dilakukan pengeboran sumur-sumur tambahan dengan total kedalaman antara 1000 meter hingga 1500 meter,” tulis dokumen tersebut.

Sementara Arifin Kana, Pelaksana Harian PLTP Mataloko berkata “kondisi uap yang tidak sesuai maka sumur MT-1 ditutup kembali oleh pihak pengebor.”

Kerusakan tersebut, kemudian diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. 

Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.

Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 MW tidak dapat menggerakkan turbin.

Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 MW cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.

Kini Dikerjakan Kembali dan Diperluas

Dalam laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi energi [EBTKE] dijelaskan bahwa pengembangan PLTP Mataloko masuk dalam program 35 ribu MW, bagian dari prioritas pemerintah dalam bidang infrastruktur kelistrikan”. 

Tahap awal proyek di atas lahan seluas 210.700 meter persegi itu dikerjakan PT Cipta Bangun Nusantara [PT CBN] yang mendapatkan kontrak pengerjaan infrastruktur dari PT PLN.

Lokasi pengeboran terdiri atas masing-masing satu titik di Desa Radabata dan Desa Dadawea, dan dua titik di Desa Ulubelu.

Damianus Dowa, 57 tahun, warga Desa Wogo mengatakan “belum pernah ada sosialisasi kepada seluruh masyarakat terkait proyek tersebut, baik pada saat pembangunan awal PLTP tersebut pada awal 2000-an, maupun beberapa waktu belakangan saat dikerjakan kembali.”

“Saya di sini bertahun-tahun, tidak pernah sosialisasi dengan masyarakat,” katanya kepada Floresa pada September 2023

Perusahaan, katanya, hanya berurusan langsung dengan tuan tanah.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA