Dikunjungi Komnas HAM, Korporasi Keuskupan Maumere Tolak Tawaran Mediasi dalam Konflik Lahan dengan  Warga Adat Nangahale

Pastor yang mewakili PT Krisrama menilai jalur hukum adalah pilihan satu-satunya

Floresa.co – Korporasi milik Keuskupan Maumere di NTT menolak tawaran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM untuk mediasi dalam konflik lahan menahun dengan warga adat Nangahale.

Perwakilan PT Krisrama  menyatakan satu-satunya pilihan dalam konflik ini adalah melalui proses hukum.

“Kami sudah terlalu lama memberi ruang melalui somasi, undangan terbuka, bahkan pengumuman resmi dari mimbar gereja. Tapi, yang kami terima hanya penolakan dan perlawanan,” kata Romo Ephivanus Markus Nale Rimo, direktur perusahaan tersebut dalam pertemuan di Aula Pusat Pastoral Keuskupan Maumere pada 24 Juli. 

Seperti dilansir NewsDaring.id, ia berkata, “kami percaya proses hukum yang sedang berlangsung adalah jalan yang harus dihormati.”

Kunjungan perwakilan Komnas HAM merespon pengaduan warga Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut di Nangahale terkait konflik lahan yang kini dikuasai PT Krisrama lewat izin Hak Guna Usaha (HGU).

Mereka mengadukan intimidasi serta kriminalisasi oleh perusahaan itu, di mana delapan warga divonis penjara pada Maret lalu karena merusak plang perusahaan. 

Belasan warga lainnya juga sudah menjadi tersangka karena dituding mengancam salah satu pastor, Romo Aloysius Ndate, yang membela aktivitas perusahaan.

Di sisi lain, upaya mereka melapor perusahaan yang berulang kali merusak rumah dan tanaman mereka diabaikan polisi.

Cerita Warga di Depan Komnas HAM

Dua perwakilan Komnas HAM yang ke Nangahale merupakan bagian dari tim Penata Mediasi Sengketa, yakni Darmadi dan Salita Hutagalung.

Mereka tiba di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka pada 22 Juli, lalu mengunjungi Nangahale di Kecamatan Talibura pada 23 Juli untuk mengidentifikasi kembali laporan yang mereka terima dari warga.

Mereka mengunjungi beberapa titik di lokasi konflik itu, di antaranya Wairhek, Utan Wair dan Pedan, yang menjadi sasaran dalam beberapa kali penggusuran paksa rumah dan kebun warga oleh PT Krisrama.

Sebelumnya, warga adat dari kedua suku mengirim perwakilan untuk menemui sekaligus mengantar berkas pengaduan ke kantor lembaga tersebut di Jakarta pada 12 Juni.

Dalam pertemuan tersebut, mereka meminta penanganan masalah yang adil dan objektif, yang direspons Komnas HAM dengan berjanji mengadakan audiensi dengan berbagai pihak demi mencegah konflik yang berkepanjangan.

Di lokasi persawahan Wairhek, Hendrikus Hemu, salah seorang warga Suku Goban menjelaskan, sawah yang sedang dikerjakannya menjadi sumber penghidupan utama, namun terancam klaim perusahaan.

“Dulu kami tidak bisa mempunyai sumber penghidupan karena terhimpit dengan kawasan hutan lindung, sekarang lahan yang sudah kami kerjakan juga terancam hilang karena diklaim menjadi milik PT Krisrama,” kata Hendrikus.

Maria Du’a Goit, perwakilan kelompok perempuan menceritakan, mereka mulai mendengar isu relokasi, namun area relokasi tersebut “tidak subur dan susah untuk kami berkebun”. 

“Tanah ini bukan hanya warisan leluhur kami, tetapi juga sumber hidup kami,” katanya. 

Di Utan Wair, Antonius Toni menceritakan peristiwa penggusuran rumah dan kebun miliknya dan beberapa warga lain pada 22 Januari tahun ini. Penggusuran terjadi saat istri dan anaknya sedang berada di dalam rumah. 

“Anak perempuan saya sempat melarang dan melawan. Istri saya menjadi korban, tangannya terluka tertimpa batu,” ungkapnya.

Warga lainya yang terluka di bagian kepala saat itu, kata Toni, adalah Katharina Keron.

Ia berkata hasil visum et repertum luka fisik itu kemudian menjadi bukti pelaporan ke kantor polisi “walaupun sekarang laporan itu tidak ditindaklanjuti.”

Dari Utan Wair, Tim Komnas HAM bergerak bersama warga menuju Pedan, di mana 113 rumah rusak, termasuk jaringan listrik, pipa air dan beberapa sumur warga akibat penggusuran pada 22 Januari.

Tim tersebut menelusuri bekas-bekas rumah yang digusur, juga melihat rumah-rumah yang sudah dibangun kembali oleh warga. 

Dalam dialog di lokasi itu, mereka juga menemui warga yang sebelumnya dipenjara setelah dilaporkan Romo Robertus Yan Faroka terkait pengrusakan plang PT Krisrama.

Selain itu juga tujuh warga yang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pengancaman dan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Romo Aloysius Ndate ke Polda NTT pada Maret. 

Anastasya Dua, salah seorang perempuan merasa penetapannya sebagai tersangka merupakan pemaksaan dengan alasan yang dicari-cari. 

“Saya tidak pernah mencaci maki dia (Romo Aloysius Ndate). Kami semua yang datang saat itu, hanya minta supaya beliau menghentikan rencana penggusuran lanjutan pada 19 Desember 2023,” ungkapnya.

Sementara itu, Nikolaus Nukak, tersangka lainnya mengaku saat peristiwa keributan itu, dia tidak mengeluarkan kalimat apapun.

“Ketika saya datang, sudah ada polisi yang mengimbau warga untuk bubar, dan saya juga tidak lama berada di lokasi kejadian,” katanya.

Dugaan pengancaman terhadap Aloysius terjadi di Pastoran Stasi Nangahale pada Desember 2023, setelah terjadi ketegangan usai penebangan pohon mete milik warga oleh PT Krisrama tanpa sepengetahuan mereka.

Pada akhir pertemuan, warga menyerahkan 15 dokumen bukti tambahan kepada Tim Komnas HAM. 

Bukti-bukti tersebut terdiri atas surat-surat resmi, berita acara, dokumentasi foto pertemuan serta laporan dan surat keberatan terkait konflik tanah HGU Nangahale. 

Anggota Tim Penata Mediasi Sengketa Komnas HAM, Darmadi (kanan), saat mendengarkan cerita warga Nangahale di Pedan dalam kunjungan pada 23 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Mediasi Terus Gagal, Konflik Berlarut-larut 

Menanggapi penolakan mediasi oleh PT Krisrama, pengacara warga Antonius Yohanis “John” Bala berkata hal itu merupakan hak perusahaan yang “tidak bisa kami cegah.”

Ia menjelaskan, mediasi Komnas HAM bukan pertama kali diupayakan. 

“Dulu mereka bahkan sudah fasilitasi proses mediasi formal dengan kesepakatan bersama, tapi rekomendasinya tidak dijalankan. Lalu sekarang, baru sebatas ajakan saja, sudah ditolak mentah-mentah oleh PT Krisrama,” kata John. 

Ia berkata, warga pernah bertemu langsung dengan Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM — kini Menteri HAM — di Jakarta pada 6 November 2015 untuk meminta fasilitasi penyelesaian konflik. 

Menanggapi permintaan itu, Komnas HAM menurunkan tim yang dipimpin Komisioner bernama Nurcholis ke Maumere.

Mediasi pada 2016 itu berlangsung dalam tiga tahap, yakni pada 21 September di mana Komnas HAM bertemu warga di Blevak Utan Wair; 22 September bertemu dengan Pemda Sikka dan PT Krisrama; dan terakhir pada 23 September mediasi warga, Pemda dan PT Krisrama di Aula Bappeda Sikka. 

Hadir dalam mediasi tersebut, lanjutnya, antara lain Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, Wakil Bupati Paolus Nong Susar, Forkopimda, manajemen PT Krisrama yang diwakil Pater Anton Jemaru SVD serta perwakilan warga.

Forum itu menghasilkan kesepakatan bahwa Komnas HAM merekomendasikan agar Bupati Sikka membentuk Tim Terpadu untuk penyelesaian konflik itu.

Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya SK Bupati Sikka Nomor: 444/HK/2016 tertanggal 11 November 2016.

SK tersebut menetapkan pembentukan Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi terhadap kelompok masyarakat yang menduduki tanah negara eks HGU PT Krisrama. 

Tim juga beranggotakan perwakilan warga, yakni seperti Gabriel Manek sebagai Tua Adat atau Tana Pu’an Soge Natarmage, Leonardus Leo sebagai Tana Pu’an Goban Runut serta pendamping hukum mereka.

Sayangnya, kata John, meskipun tim ini dibentuk secara resmi dan melibatkan semua unsur, tidak ada satu pun hasil kerja nyata yang tercapai.

“Tim ini tidak pernah dikonsolidasikan, tidak menghasilkan dokumen kesepakatan apapun, dan tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya,” ujarnya.

Alhasil, konflik tetap berlarut hingga hari ini.

John juga berkata, dalam pertemuan pada 6 Mei 2016 di Lepo Bispu atau Istana Keuskupan Maumere, Uskup saat itu, Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira secara terbuka meminta Bupati Sikka memfasilitasi dialog antara kedua belah pihak. 

Dalam pertemuan itu, katanya, perwakilan Komisioner Komnas HAM dan Romo Epy Rimo turut hadir secara langsung.

Konflik warga Nangahale dengan PT Krisrama bermula dari pengambilalihan paksa lahan mereka oleh sebuah perusahaan Belanda pada masa kolonial.

Lahan seluas 868.730 hektare itu lalu beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun hingga 2013.

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Upaya warga mengklaim kembali lahan itu dimulai pada 2014. Namun, di tengah konflik dan pendudukan oleh warga, PT Krisrama kembali mengantongi perpanjangan izin HGU pada 2023.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.

Sengketa terus berlanjut karena wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati masyarakat adat sejak 2014, sementara lahan seluas 543 hektare disebut bagian yang tidak produktif dan ditelantarkan sejak dikelola oleh PT Diag.

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA