Ahli yang Dihadirkan PT PLN Sebut Geotermal Atadei, Lembata Topang Cita-Cita Jokowi, Tokoh Adat: ‘Hidup dan Mati Kami di Tanah Ini’

PT PLN diminta tidak tergopoh-gopoh eksplorasi, tapi minta petunjuk pemangku adat guna “mencegah mara bahaya” 

Floresa.co- Seraya menyebut “eksplorasi dan eksploitasi adalah suatu panggilan,” ahli geotermal yang dihadirkan PT PLN menekankan “atas izin leluhur, warga Lembata dapat mengolah geotermal.”

“Kalau geotermal dapat menggantikan diesel, maka udara Lembata akan bersih,” kata M. Ali Ashat, ahli yang juga dosen teknologi geotermal di Institut Teknologi Bandung itu.

Geotermal “adalah anugerah yang dapat menopang kehidupan warga.”

Seandainya geotermal terus dikembangkan, katanya, “Lembata akan menjadi pulau pertama di dunia yang menggunakan 100 persen listrik terbarukan.”

Bila itu terjadi, “Lembata dan Flores akan menopang apa yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo [Jokowi].”

Ucapan Ali disampaikan dalam sosialisasi eksplorasi geotermal Atadei pada 22 Agustus.

Acara digelar di halaman Kantor Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei, yang berjarak sekitar 42 kilometer ke arah tenggara dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.

PT PLN, lembaga yang ditunjuk negara guna menjalankan proyek eksplorasi dan eksploitasi geotermal, tak hanya di Lembata melainkan juga di sejumlah daerah di Flores, memfasilitasi sosialisasi.

Selain warga Atakore dan Nubahaeraka, sosialisasi juga dihadiri komunitas dari beberapa desa lain di Atadei, termasuk Nubatalojo, Lebaata, Lewogroma, Lewokobo, Lewokurang dan Lerek.

Sosialisasi awalnya dijadwalkan di Atakore, sebelum dipindahkan ke Nubahaeraka.

Membuka sosialisasi, Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali mengatakan pemindahan “karena ada kegiatan adat di Atakore.” 

Warga berakar budaya Ahar Tu, termasuk yang tinggal di Atakore, bergotong-royong selama tiga hari guna memperbaiki rumah adat, yang waktunya bertepatan dengan sosialisasi.

Terhadap PT PLN, Paskalis meminta perusahaan pelat merah tersebut “terbuka menyampaikan dampak negatif geotermal.” 

Sementara kepada warga, ia bepesan, “katakan sejujurnya bila menolak proyek ini.”

Setiap penyelesaian masalah terkait geotermal Atadei, katanya, “akan berlandaskan taan tou.”

Dalam bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di Flores Timur, Pulau Alor, Solor dan Lembata, “taan tou” berarti “kebersamaan.”

Hadirkan Putra Atadei

PT PLN turut menghadirkan Gregorius Lajar sebagai narasumber sosialisasi.

Warga Nubahaeraka itu bekerja sebagai ahli geotermal di Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Di hadapan warga, Greg, sapaannya, menyebut “geotermal akan membawa manfaat bagi warga di sekitar dapur alam yang dijaga Ina Kar.”

Dapur alam merupakan sebutan warga setempat untuk titik proyek geotermal Atadei, sementara Ina Kar adalah sosok yang diyakini sebagai penjaga tempat itu.

Greg mengklaim sejumlah manfaat geotermal dengan mencontohkan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores.

Ia berkata, PLTP itu “membuat warga berkarier tanpa harus ke luar daerah.”

“Mudah-mudahan geotermal Atadei bisa menjadi kebanggaan bersama,” katanya.

Klaim Greg soal manfaat PLTP Ulumbu bagi warga sekitar berbeda dengan pengakuan warga, sebagaimana terungkap dalam sejumlah laporan Floresa sebelumnya.

Dalam salah salah sosialisasi pada 12 Juni untuk proyek geotermal Poco Leok, pengembangan PLTP Ulumbu, warga mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan.

Mereka antara lain menyebut realisasi sejumlah janji, termasuk penyerapan tenaga kerja dan memberi beasiswa terhadap warga adalah nol.

Baca: Hadiri Sosialisasi Perluasan Proyek Geotermal, Warga Lingkar PLTP Ulumbu Bongkar Sejumlah Janji PT PLN yang Realisasinya ‘Nol’ 

Petrus Mada Ragat, warga Desa Wewo, yang dekat dengan PLTP Ulumbu  misalnya berkata, ia ingat ketika peresmiannya pada 11 November 2011,  Menteri Badan Usaha Milik Negara kala itu, Dahlan Iskan menyebut “kehadiran geotermal akan mengurangi angka pengangguran di Desa Wewo.” 

“Tapi, buktinya, sekarang yang bekerja di sana adalah orang dari luar yang berasal dari Ende, Kupang, Bima, dan Jawa. Kami hanya jadi penonton,” katanya.

Hilarius Hama, warga lainnya berkata “yang bekerja di sana hanya orang-orang yang mempunyai kapasitas sesuai yang dibutuhkan PLN.”

Hidup dan Mati di Tanah Adat

Tak ubahnya di Flores, proyek geotermal di Atadei turut menjadi sorotan Gereja Katolik dan pegiat sosial setempat.

Warga yang menolak proyek ini juga mulai bersuara.

Romo Firminus Doi Koban, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Keuskupan Larantuka–yang wilayah pelayanannya termasuk Flores Timur dan Lembata–mengingatkan PLN untuk “tak tergopoh-gopoh dan perlu duduk bersama warga di sekitar Ina Kar.”

Pembangunan apapun yang melanggar keyakinan warga akan Ina Kar “akan mendatangkan marabahaya.”

Berbicara kepada Floresa pada 22 Agustus, Firminus meminta PLN “lebih dulu bicara dengan semua kepala suku di Atadei.”

Permintaannya menyusul proyek eksplorasi dan sosialisasi “yang dilakukan sepihak.”

Donatus Puhun, seorang warga Atakore mendorong PLN “bertemu kepala suku dan meminta petunjuk sesuai keyakinan adat setempat.” 

Upaya itu, katanya, menjadi penting untuk “menentukan boleh atau tidaknya eksplorasi geotermal di sekitar Ina Kar.”

Markus Pali Lajar, warga Desa Nubahaeraka mengaku telah melepaskan tanahnya ke PT PLN. 

Perusahaan itu, kata Markus, “sudah memberikan sebagian kecil ganti rugi,” meski tidak memerinci luas lahan dan total ganti ruginya.

Markus mengaku “menanti janji orang PLN yang dulu saya jumpai, yang menyebut “geotermal Atadei akan membuka lapangan pekerjaan bagi warga.” Ia tak menjabarkan nama dan posisi karyawan PLN itu.

Sementara Petrus Ata Tukan, tokoh adat Desa Atakore mengkhawatirkan ritual syukuran panen Ploe Kwar di Ina Kar “yang sewaktu-waktu bisa punah akibat proyek geotermal.”

“Mata air juga harus terus dijaga,” katanya, “karena bertalian dengan setiap tahap hidup warga adat setempat, mulai kelahiran hingga kematian.”

Petrus menyatakan, “tegas menolak tanah warga dijual ke PLN.”

Pemerintah mulai menargetkan proyek geotermal Atadei melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008.

Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM lalu menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP] dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008. 

Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata. Hal itu tampak dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.

Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik.

Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.

Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, sementara PT PLN terus berupaya menggolkan proyek itu. Proyek Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.

Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.

Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisakan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA