Oleh: Martin Dennise Silaban
Ketika pada 2017 pemerintah pusat menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi, sebuah babak baru dimulai. Negara mulai bergerak, hadir, mendesain ulang ruang-ruang yang selama ini nyaris luput dari perhatian.
Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tak sekadar menjadi proyek energi, melainkan simbol intervensi negara yang untuk pertama kalinya benar-benar merambah wilayah-wilayah terpencil seperti di Flores, jauh setelah puluhan tahun kemerdekaan dikumandangkan.
Untuk memuluskan berbagai upaya pembangunan PLTP, janji-janji pembangunan infrastruktur dan manfaat ekonomi ditebar.
Rezim pembangunan ini tidak hadir begitu saja. Ia beroperasi melalui kekuatan-kekuatan yang saling menopang. Negara mencanangkan kemajuan sebagai misi utamanya, memosisikan warga sebagai obyek yang perlu ditingkatkan kehidupannya, sementara ideologi ilmu pengetahuan menyediakan prinsip, teknik dan indikator untuk merumuskan serta mengukur kemajuan tersebut.
Namun, seperti yang diungkapkan Pujo Semedi dalam pengantar terjemahan The Will to Improve (2012) karya Tania Li, setiap niat untuk memperbaiki tidak pernah bebas dari nilai. Baik program pembangunan yang didorong negara maupun masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan bukanlah ruang hampa. Keduanya membawa nilai, cara pandang dan kepentingan yang berbeda.
Pembangunan sering diasumsikan sebagai proses teknokratik yang netral. Padahal, sesungguhnya berlangsung di atas pertemuan dan benturan nilai-nilai. Negara membawa logika modernisasi dan kemajuan sementara warga memaknai tanah, ruang hidup, dan relasi sosial dengan cara yang berbeda.
Sebagaimana dicatat oleh David Ludden dalam India’s Development Regime (hlm. 252), inilah wajah dari rezim pembangunan modern, sebuah konfigurasi kuasa yang mengandaikan bahwa pembangunan selalu dibutuhkan dan bahwa negara, bersama dengan para ahli, paling tahu bagaimana cara mencapainya.
Dalam kerangka ini, legitimasi pengetahuan tidak hanya diperlukan, tetapi juga diperoleh melalui kerja sama dengan universitas-universitas yang menjadi mitra utama dalam merumuskan dan melegitimasi kebijakan pembangunan.
Namun justru dalam kerangka inilah banyak ketegangan bermula. Ketika pembangunan dipahami sebagai proyek sepihak yang mendefinisikan kebutuhan orang lain tanpa dialog, maka relasi yang tercipta bukanlah hubungan kemitraan, melainkan dominasi. Ketika perbedaan nilai ini tak dijembatani secara adil, yang terjadi adalah keterputusan (disconnected) antara negara dengan misi pembangunannya dengan warga di lokasi proyek pembangunan. Dalam konteks seperti ini, suara warga mudah disingkirkan, pengetahuan lokal disepelekan dan kepercayaan pun sulit tumbuh. Dari sanalah, benih-benih resistensi tumbuh.
Hal itulah yang hari-hari ini kita saksikan di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, salah satu dari sejumlah titik proyek geotermal di Flores. Saya menyaksikan secara langsung bagaimana proses ini terjadi. Proyek itu yang diklaim sebagai bagian dari transisi energi justru menyingkap kesenjangan relasi atau hubungan yang lebar antara negara dan warga negara. Ada ketidakpercayaan terhadap janji-janji yang hadir bersama proyek itu. Hal ini diperparah oleh proses yang tidak adil dan relasi yang tidak setara. Maka, penolakan muncul, bukan karena warganya menolak perubahan, tetapi karena mereka tak lagi percaya pada cara negara membawanya.
Narasi Negara: Geopolitik, Subsidi BBM dan Ketahanan Energi
Dalam upaya melegitimasi proyek ini, baik untuk konteks Flores maupun Indonesia secara umum, negara hadir dengan membawa narasinya sendiri. Setidaknya ada tiga narasi utama, yakni narasi geopolitik, efisiensi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ketahanan energi. Ketiga narasi ini, dalam kerangka kebijakan nasional, berangkat dari logika teknokratik negara yang menekankan rasionalitas ekonomi, efisiensi sistem energi dan posisi strategis dalam percaturan global.
Narasi geopolitik berangkat dari situasi pasca pandemi Covid-19 pada periode 2020–2022 yang memicu ketidakstabilan baru di berbagai sektor, termasuk sektor energi. Di berbagai wilayah Eropa, situasi ini memunculkan apa yang dikenal sebagai krisis energi. Kondisi ini semakin diperburuk oleh pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina pada 2022. Konflik tersebut menimbulkan gangguan signifikan terhadap rantai pasok energi global dan menegaskan kembali kerentanan negara-negara terhadap ketergantungan energi eksternal.
Selain krisis pasokan energi, dunia juga menghadapi intensifikasi bencana hidrometeorologi sebagai dampak krisis iklim. Pada 2021, banjir besar melanda Jerman dan menewaskan sedikitnya 180 orang, sementara Belgia mengalami salah satu banjir terburuk dalam sejarahnya. Bencana serupa juga terjadi di Henan, Tiongkok. Peristiwa-peristiwa ini memperkuat urgensi global untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Hal ini sejalan dengan seruan International Energy Agency (IEA) pada 2021 untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah 2°C melalui percepatan transisi energi.
Dinamika global tersebut mendorong banyak negara, termasuk di Asia seperti Indonesia, untuk melakukan langkah-langkah transisi menuju energi terbarukan. Sebagai salah satu negara pengguna energi fosil terbesar di antara anggota G20, Indonesia menghadapi tekanan internasional untuk mempercepat transformasi energi nasional menuju sumber energi yang dianggap bersih dan berkelanjutan.
Di tengah ketidakpastian global yang diwarnai perang, krisis energi dan bencana alam, berbagai negara juga berlomba memperkuat ketahanan energi domestik demi mengurangi ketergantungan pada pasokan luar negeri. Dalam konteks domestik, pemerintah Indonesia mengidentifikasi beban subsidi BBM sebagai salah satu tantangan fiskal utama. Sebagai negara pengimpor BBM, Indonesia harus membeli energi dengan harga pasar internasional, yang kemudian disubsidi agar tetap terjangkau bagi masyarakat.
Menurut The Habibie Center, pola ini membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara signifikan. Tempo mencatat bahwa pada 2024 pemerintah mengalokasikan sekitar Rp25,70 triliun untuk subsidi BBM, dengan alokasi hampir Rp1 triliun per tahun hanya untuk wilayah Pulau Flores (Dirjen EBTKE, 2025). Padahal, sebagian besar energi yang dikonsumsi di Flores masih didatangkan dari luar pulau. Karena itu, pemanfaatan energi panas bumi yang tersedia secara lokal dinilai sebagai langkah rasional dalam kerangka efisiensi fiskal dan kemandirian energi regional.
Dari perspektif ini, dapat dipahami bahwa negara memiliki logika teknokratik sendiri dalam merumuskan dan membenarkan arah kebijakan energi, yang bertumpu pada narasi geopolitik, efisiensi subsidi dan ketahanan energi nasional. Ketiga narasi tersebut mencerminkan upaya negara dalam merespons tekanan global sekaligus mengatasi tantangan domestik secara strategis.
Namun demikian, muncul pertanyaan kritis yang hingga kini belum terjawab secara tuntas. Apabila negara menuntut warganya untuk memahami dan menerima urgensi kebijakan tersebut, sejauh mana negara juga membuka diri untuk memahami warganya, cara mereka berpikir, merasakan dan mengalami proses pembangunan? Ketimpangan relasi ini memperlihatkan bahwa komunikasi kebijakan kerap bersifat satu arah, dengan negara sebagai subjek yang menyuarakan dan warga sebagai objek yang diharapkan patuh, tanpa ruang dialog yang setara.
Meskipun secara formal relasi antara negara dan warga negara didasarkan pada prinsip kontrak sosial, dalam praktiknya hubungan tersebut kerap tereduksi menjadi transaksi administratif yang dangkal dan bersifat sepihak. Negara tampil sebagai institusi teknokratik yang menuntut kepatuhan, namun gagal membangun relasi afektif dan solidaritas timbal balik dengan warganya. Relasi yang terbentuk lebih menyerupai interaksi antara dua entitas yang saling mencurigai dan mengejar kepentingan masing-masing, alih-alih sebagai kemitraan yang dibangun atas dasar kepercayaan, pengakuan dan rasa memiliki bersama.
Dalam konteks ini, kelompok-kelompok marjinal seperti komunitas adat sering kali mengalami keterasingan dari negara. Bukan sekadar dalam aspek administratif, tetapi secara eksistensial. Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengaku identitas mereka justru hadir sebagai kekuatan yang asing dan memaksakan logika pembangunan yang tidak mereka hayati. Proyek-proyek pembangunan, termasuk yang dibingkai dalam narasi transisi energi, kerap menjadi arena konflik bukan karena semata persoalan teknis atau komunikasi kebijakan, melainkan karena absennya hubungan sosial-politik yang bermakna antara negara dan warga.
Akar dari ketegangan ini dapat ditelusuri pada defisit kepercayaan struktural yang meresapi relasi negara-warga. Yang hilang bukan hanya kepercayaan dalam pengertian legal-formal, tetapi juga absennya empati, pengakuan atas cara hidup yang berbeda dan penghormatan terhadap sistem nilai yang dijalankan oleh masyarakat.
Dalam situasi semacam ini, pembangunan kehilangan makna sebagai proyek kolektif dan justru tampil sebagai proyek sepihak yang dari atas. Negara tidak lagi dipersepsi sebagai rumah bersama, tetapi menjelma menjadi entitas birokratis yang jauh. Negara menjadi asing dan dingin, datang dengan agenda dan kalkulasi teknokratik serta buta terhadap lanskap kultural dan afektif warga yang menjadi sasaran kebijakannya.
Ketegangan ini juga memunculkan apa yang dapat disebut sebagai epistemic dissonance atau ketidaksinkronan mendasar antara cara negara memaknai pembangunan dan cara warga menjalani serta memahami hidup mereka sendiri. Ketika narasi dan instrumen pembangunan negara gagal mengakui validitas pengetahuan lokal dan cara hidup komunitas, pembangunan tidak lagi menjadi alat pemajuan kesejahteraan, melainkan instrumen hegemonik yang meminggirkan.
Dalam kondisi semacam itu, resistensi bukanlah bentuk penolakan irasional, melainkan ekspresi rasional atas kegagalan negara mendialogkan kebijakannya dengan realitas sosial yang dihadapi. Konflik yang muncul dalam proyek-proyek pembangunan, khususnya di wilayah komunitas adat, seringkali bukan semata akibat dari perbedaan kepentingan, tetapi akibat dari ketidakmampuan negara untuk hadir secara utuh dan mendengarkan. Negara kerap datang hanya ketika ada kepentingan untuk dijalankan dengan membawa narasi krisis global, janji kemajuan dan dalih peningkatan kesejahteraan.
Namun, ketika kebutuhan dan aspirasi warga bersuara, negara sering kali absen, atau hadir hanya untuk menertibkan dan mengendalikan. Relasi yang terbentuk akhirnya bersifat sepihak, yang menjadikan warga bukan sebagai subjek aktif dengan hak dan suara, melainkan sebagai objek dari proyek negara. Warga diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembangunan, bukan sebagai mitra sejajar dalam proses perumusannya. Relasi semacam ini melahirkan apa yang disebut sebagai instrumental citizenship, hubungan kewarganegaraan yang dibangun bukan atas dasar partisipasi dan pengakuan, tetapi atas dasar kegunaan dan kepatuhan. Pada titik inilah, negara gagal menjalankan peran dasarnya sebagai institusi yang mendengarkan, merangkul dan membangun kepercayaan.
Problematika Corporate Social Responsibility dalam Proyek Pembangunan
Proyek-proyek pembangunan yang digagas negara, termasuk dalam pengembangan energi panas bumi, hampir selalu dikemas dalam narasi kebermanfaatan. Manfaat dijadikan justifikasi utama untuk menjelaskan kehadiran proyek di tengah masyarakat, seolah menjadi bukti objektif dari komitmen negara terhadap kesejahteraan rakyat.
Namun, narasi ini kerap tidak bersandar pada landasan yang paling mendasar yaitu kepercayaan. Padahal, kebermanfaatan tanpa didahului oleh kepercayaan tidak hanya rapuh, tetapi juga potensial memicu resistensi. Kepercayaan adalah modal sosial fundamental dalam membangun relasi yang sehat antara negara dan warga negara. Tanpa kepercayaan, manfaat betapapun besar atau terlihat konkret akan dicurigai maupun ditolak.
Bagi komunitas yang telah berulang kali mengalami pengabaian, pengkhianatan, atau bahkan represi, manfaat yang ditawarkan negara justru kerap dipahami sebagai bentuk manipulasi, bukan itikad baik. Ketika relasi sosial-politik sudah keropos, manfaat berubah menjadi siasat, bukan solidaritas. Dalam kerangka ini, skema-skema seperti Corporate Social Responsibility (CSR) atau Benefit Sharing Program (BSP) yang sering dikedepankan sebagai bukti bahwa proyek pembangunan membawa kesejahteraan, justru memperlihatkan watak relasi yang tidak setara.
Seperti yang terjadi di Poco Leok, skema-skema tersebut lebih sering difungsikan sebagai alat legitimasi proyek, ketimbang sebagai perwujudan tanggung jawab sosial yang adil dan berkelanjutan. Negara dan korporasi menyajikan manfaat sebagai bentuk pemberian, bukan sebagai hak warga yang melekat secara konstitusional.
Lebih dari itu, kebermanfaatan dikemas dalam bentuk yang bersifat simbolik, temporer, dan minimalis yang sering kali sekadar memenuhi syarat administratif atau meredam resistensi jangka pendek. Hal ini bisa disebut sebagai transactional appeasement atau strategi peredaman konflik dengan imbalan sesaat, bukan transformasi struktural. Relasi yang dibentuk melalui logika semacam ini menegaskan posisi warga sebagai objek pembangunan, bukan sebagai subjek politik yang sejajar.
Di sini, narasi kebermanfaatan tidak netral. Ia adalah alat kuasa. Ia bekerja sebagai instrumen hegemonik untuk memoles wajah pembangunan yang sebenarnya bersifat eksploitatif. Ia memelihara ketimpangan, sambil tampil sebagai bentuk kepedulian. Kebermanfaatan tanpa kepercayaan tidak hanya lemah secara etis, tetapi juga tidak efektif secara politik. Ia gagal membangun fondasi relasi jangka panjang yang berbasis pada partisipasi, keadilan dan pengakuan.
Di berbagai forum resmi, pihak pengembang proyek, baik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun mitra swasta lebih sering menonjolkan indikator keberhasilan administratif seperti tersalurkannya kompensasi, keberhasilan teknis atau penghargaan yang diperoleh atas capaian proyek. Namun, semua ini perlu diuji secara kritis. Apakah keberhasilan tersebut benar-benar diterjemahkan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata dan berkelanjutan? Ataukah semua itu sekadar konstruksi naratif untuk memenuhi logika proyek, membangun citra dan menyasar target-target politik jangka pendek?
Dalam banyak kasus, dampak jangka panjang terhadap kohesi sosial, kelestarian lingkungan, serta kualitas hidup komunitas lokal justru luput dari evaluasi yang substantif. Konsultasi publik pun seringkali bersifat prosedural, bukan partisipatif. Aspirasi warga diserap bukan untuk dipertimbangkan secara sejajar, tetapi untuk ditertibkan dalam kerangka kepentingan proyek. Lebih lanjut, pemenuhan hak-hak dasar seperti akses jalan, sarana ekonomi-pertanian atau listrik tidak dihadirkan sebagai realisasi tanggung jawab konstitusional negara.
Sebaliknya, pelayanan dasar ini sering kali dikapitalisasi sebagai instrumen barter, hadir hanya ketika negara membutuhkan konsesi dari warga, seperti tanah atau penerimaan terhadap proyek strategis. Dalam logika ini, negara tidak bertindak sebagai pelayan publik, melainkan sebagai entitas ekonomi yang menjalankan kalkulasi untung-rugi dalam relasinya dengan warga. Warga diposisikan bukan sebagai pemilik hak, melainkan sebagai mitra kontrak yang harus “dibeli” persetujuannya melalui bentuk-bentuk kompensasi yang sesungguhnya jauh dari memadai.
Situasi ini menggambarkan relasi negara-warga yang telah terjebak dalam logika transaksional yang berorientasi pada efisiensi dan pengendalian, bukan pada keadilan dan penghormatan terhadap martabat warga negara.
Relasi yang Retak: Warga, Negara dan Gagalnya Keterhubungan
Belum lagi, dalam berbagai pertemuan dan diskusi publik, warga kerap dijadikan sasaran tudingan dengan narasi ketidaktahuan, ketidakmampuan memahami aspek teknokratik atau dianggap sebagai penghambat kemajuan. Strategi menyalahkan warga ini tidak hanya merendahkan kapasitas komunitas, tetapi juga memperkuat stigma bahwa penolakan mereka berasal dari irasionalitas atau miskonsepsi, alih-alih dimaknai sebagai ekspresi sah dari keresahan politik, kultural dan historis mereka.
Narasi ini diperkuat dengan kehadiran aparat keamanan yang selalu menyertai proses-proses negara, termasuk saat sosialisasi proyek, survei lapangan, hingga upaya negosiasi. PT PLN, sebagai representasi negara dalam proyek pembangunan energi di Poco Leok jarang hadir sebagai fasilitator dialog, melainkan sebagai pelaksana mandat negara yang selalu dibayangi oleh wajah koersif kekuasaan. Negara memosisikan warga bukan sebagai subjek dialogis, tetapi sebagai potensi ancaman yang harus diawasi dan dikendalikan.
Model pendekatan ini justru memperdalam ketidakpercayaan yang telah mengakar. Dalam konteks relasi yang sudah timpang dan dilandasi oleh sejarah pengabaian serta pelanggaran hak, permintaan maaf simbolik tak cukup untuk menghapus luka atau mengembalikan kepercayaan. Di Manggarai, misalnya, PT PLN sempat mencoba melakukan tabe gendang, sebuah gestur permintaan maaf yang secara semantik dimaksudkan sebagai upaya kultural. Namun ironisnya, tabe gendang tidak dikenal dalam praktik adat Manggarai dan lebih menyerupai simulasi rekonsiliasi ketimbang proses pemulihan relasi yang sejati. Ini menjadi bukti bahwa negara bahkan gagal memahami secara mendalam konteks lokal yang menjadi tempat proyeknya dijalankan.
Alih-alih membangun relasi setara, gestur seperti tabe gendang menjadi instrumen legitimasi baru, alat untuk mempercepat proses pembangunan, meredam resistensi dan mengamankan proyek negara. Ini bukan hasil dari refleksi dan niat membangun relasi timbal balik, tetapi kalkulasi pragmatis untuk mereduksi konflik. Dengan demikian, proses ini bukanlah rekonsiliasi, melainkan repackaging (pengemasan kembali) dari relasi eksploitatif dalam bungkus simbolisme budaya.
Pendekatan yang menekankan aspek teknis atau prosedural dalam merespons konflik sosial-politik justru menunjukkan betapa jauhnya negara dari realitas warga. Solusi-solusi yang diajukan, baik itu perbaikan prosedur, jaminan teknis atau skema kompensasi, gagal menjawab inti permasalahan relasi kuasa yang timpang, absennya ruang partisipasi bermakna dan ketiadaan pengakuan atas agensi serta eksistensi warga sebagai subjek politik.
Negara, dalam konteks ini, tidak hadir sebagai pelayan publik, melainkan sebagai actor of intrusion atau entitas eksternal yang memasuki ruang hidup masyarakat tanpa undangan dan melalui cara-cara koersif. Kehadiran negara yang demikian menciptakan keterasingan (estrangement) yang akut. Negara tidak dilihat sebagai bagian dari kehidupan bersama, melainkan sebagai kekuatan asing yang datang dengan logika, bahasa dan kepentingan yang tidak dikenali, bahkan dianggap mengancam.
Di titik ini, pembangunan bukan lagi dipersepsi sebagai upaya bersama untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi sebagai proyek sepihak yang dipaksakan dari luar, tanpa ruang dialog yang setara. Akibatnya, keterhubungan sosial, emosional dan politik antara negara dan warga menjadi lumpuh. Negara gagal hadir sebagai mitra dialogis, dan justru menjadi entitas superior yang menuntut untuk dipahami, ditaati dan diterima.
Sementara itu, warga diposisikan sebagai pihak yang harus memahami narasi urgensi dan kebijakan negara, tanpa pernah memberi tempat pada pengakuan utuh atas identitas, kepentingan dan suara mereka. Hubungan yang asimetris ini menandai kegagalan mendasar dalam membangun relasi intersubjektif atau relasi dua arah yang saling mengakui, menghormati dan membangun kepercayaan.
Dalam kondisi demikian, keterlibatan warga bukan lahir dari rasa memiliki atau aspirasi kolektif, melainkan dari kalkulasi pragmatis atau bahkan keterpaksaan. Ketika partisipasi warga hanya dicari pada saat dibutuhkan untuk melegitimasi proyek negara seperti pembebasan lahan atau konsultasi formal tanpa keterlibatan bermakna dalam pengambilan keputusan, maka negara telah mengabaikan prinsip dasar demokrasi partisipatif. Warga menjadi subjek pasif yang hanya “diperlukan” dalam momen-momen strategis, bukan sebagai mitra yang sejajar dalam membentuk masa depan bersama.
Keterasingan ini bukan sekadar akibat dari ketidakadilan material seperti ketimpangan distribusi manfaat atau kerusakan ekologis, tetapi bersumber dari kerusakan relasi politik yang lebih dalam. Negara telah kehilangan posisinya sebagai subjek relasional dalam kehidupan warga. Ini adalah akar dari kegagalan narasi pembangunan yang selama ini dijalankan.
Membangun Kepercayaan, Prasyarat Dasar Pembangunan yang Bermakna
Sebesar apa pun urgensinya, manfaat yang dibawa negara akan ditolak jika ia hadir tanpa rasa percaya. Pembangunan yang dibangun tanpa kepercayaan bukanlah proses kolektif menuju keadilan, melainkan penyeragaman yang dipaksakan. Ia tidak menyembuhkan luka sosial, tetapi justru memperdalamnya. Ia menghasilkan trauma, bukan harapan. Ia tidak menjembatani kesenjangan, tetapi memperlebar jarak antara negara dan warga. Ketika proyek negara berjalan tanpa keterlibatan sejati, yang tersisa hanyalah jejak kekuasaan yang ditanam di atas tanah-tanah yang merasa tidak pernah mengundangnya.
Kepercayaan tidak bisa dibangun lewat prosedur teknis atau pertemuan seremonial. Ia harus lahir dari pengakuan mendalam terhadap agensi warga sebagai pemilik sah atas ruang hidup dan masa depan mereka. Kepercayaan bukanlah hasil dari janji manis atau retorika partisipatif, tetapi buah dari relasi yang setara, saling mendengar dan saling menghormati. Negara tidak bisa terus hadir sebagai entitas yang memerintah dari luar, seraya memaksa warga untuk memahami, menerima dan menyesuaikan diri. Relasi yang timpang seperti itu hanya akan melahirkan keterasingan, perlawanan dan disintegrasi sosial.
Dalam konteks seperti di Manggarai, respon agresif Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit terhadap aksi damai warga pada 5 Juni tidak hanya memperlebar jarak, tetapi juga mencederai kepercayaan publik yang telah lama rapuh. Ketika ekspresi keberatan warga dibalas dengan represi simbolik maupun nyata, maka pesan yang dikirim negara sangat jelas: tidak ada ruang untuk berbeda, tidak ada tempat untuk suara alternatif.
Dalam kondisi seperti ini, mustahil membayangkan pembangunan sebagai proses bersama. Ia berubah menjadi proyek penaklukan yang dijalankan atas nama rakyat, namun dengan menyingkirkan rakyat. Tanpa meletakkan kepercayaan sebagai fondasi politik dan moral dalam setiap proses pembangunan, negara hanya akan terus gagal membangun keterhubungan sejati dengan warganya. Pembangunan akan kehilangan makna sosialnya, berganti menjadi operasi penguasaan ruang dan narasi yang lebih banyak menimbulkan luka daripada pemulihan.
Sudah saatnya negara menata ulang relasinya dengan warga, bukan dengan pendekatan koersif dan teknokratik, tetapi melalui dialog setara yang mengakui keberagaman cara hidup, pengetahuan lokal dan hak untuk mengatakan tidak. Sebab, pembangunan yang adil bukan hanya soal membangun infrastruktur, tetapi membangun relasi yang saling menguatkan, bukan mendominasi.
Tanpa kepercayaan sebagai landasan, pembangunan hanyalah proyek jangka pendek yang meninggalkan kerusakan jangka panjang, baik pada lanskap sosial, ruang hidup, maupun memori kolektif warga.
Martin Dennise Silaban adalah Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. Beberapa bulan terakhir ia melakukan penelitian tentang proyek geotermal Poco Leok
Editor: Ryan Dagur