Floresa.co – Warga di Flores dan Lembata menolak rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadila guna menggencarkan sosialisasi proyek geotermal di NTT, menyebut upaya itu hanya merampas tanah adat dan kekayaan alam di wilayah mereka.
Bahlil menyampaikan rencana tersebut saat berkunjung ke kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur pada 26 Juni.
Dalam lawatan tersebut, Bahlil mengaku akan terus berkomunikasi dengan masyarakat setempat jika belum menyetujui proyek geotermal.
“Kalau memang saudara-saudara kita di sana (NTT) masih mempertimbangkan, ya kami tetap komunikasi dulu. Jangan dulu kita lakukan,” katanya seperti disitir dari Tempo.co.
Bahlil mengklaim proyek geotermal NTT “akan diprioritaskan di daerah-daerah potensial yang masyarakat serta pemerintahnya memang menginginkan adanya PLTP.”
“Jadi, ini kan harus layanan psikologis. Suasana kebatinan harus semuanya baik,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Bahlil mengklaim “pemerintah tidak akan tergesa-gesa menjalankan proyek PLTP jika masyarakat setempat belum menerima.”
Buang-Buang Waktu
Antonius ‘Tony’ Anu, warga Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada menyebut pernyataan Bahlil bertolak belakang dengan sikap warga yang selama ini melihat dan merasakan dampak buruk proyek geotermal.
Radabata merupakan salah satu desa yang terkena dampak proyek geotermal Mataloko.
Proyek yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade itu telah memicu kerusakan ekologis dan keresahan sosial.
Kendati ditolak warga, PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) akan melanjutkan proyek tersebut.
“Kalau memang PLTP ingin memenuhi pasokan listrik untuk kebutuhan warga, seharusnya energi yang di Ulumbu (Kabupaten Manggarai) dan Sokoria (Kabupaten Ende) sudah cukup,” kata Tony kepada Floresa pada 28 Juni.
Menurut Tony, seharusnya pemerintah pusat dan kementerian ESDM menghargai sikap penolakan warga di pulau Flores dan Lembata, menyebut “sosialisasi dan komunikasi yang dibuat hanya membuang waktu warga.”
Ia mendesak Bahlil mencabut SK Menteri ESDM pada 2017 terkait penetapan Flores sebagai Pulau Geotermal.
“Kami tetap tegas menolak. Kami masyarakat tidak percaya Bahlil dan antek-anteknya jika tak mengabulkan permintaan ini. Raja Ampat yang disebut “surga terakhir di bumi” saja dihancurkan, apalagi Flores,” kata Tony.
Aktivitas tambang di Raja Ampat ramai dibicarakan setelah Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyampaikan protes keras.
Mereka menuding kegiatan tambang nikel di lima pulau kecil kawasan tersebut, termasuk Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Analisis Greenpeace Indonesia menyebutkan lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan dan sedimentasi dari kegiatan tersebut mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut.
Dalam video yang dirilis Greenpeace tampak pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif.
Pemerintah telah mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan atau IUP nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya pada 10 Juni.
Keempat perusahaan tambang nikel tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham. Sementara PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi.
Bahlil mengatakan PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi karena pemerintah menilai perusahaan ini telah melakukan tata kelola limbah yang baik sesuai analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).
Senada dengan Tony, Rofinus Rabun, warga Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat menyebut penetapan pulau Flores sebagai pulau panas bumi adalah “hantu yang mengancam ruang hidup.”
Ia berkata “warga Wae Sano khususnya, dan Flores umumnya sudah melihat dampak buruk geotermal.”
Karena itu, menurutnya, “kami tidak butuh lagi komunikasi dan sosialisasi dalam bentuk apapun dari pemerintah.”
“Kami justru mendesak pencabutan SK rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal mulai dari Wae Sano hingga Lembata,” kata Rofinus kepada Floresa pada 28 Juni.

Sosialisasi Tidak Memadai
Andreas Baha Ledjap, warga dari lingkar proyek geotermal Atadei, berkata sejak awal eksplorasi “tidak ada sosialisasi memadai yang fokus mendengarkan masukan warga terkait dampak proyek geotermal terhadap ruang hidup dan lingkungan.”
Menurut Andre, korporasi dan pemerintah selalu menjadikan SK Kementerian ESDM yang diterbitkan pada tahun 2017 itu sebagai “dasar pemaksaan kepada warga untuk harus menerima proyek geotermal.”
Ia menambahkan selama ini “tak ada proses demokrasi dalam penyampaian informasi kepada warga Atadei.”
Pada saat yang sama, tim investigasi bentukan Gubernur NTT dan kementerian dinilai menambah masalah baru.
“Mereka datang hanya menginformasikan dampak positif dan menyentil soal harga lahan,” kata Andre kepada Floresa pada 28 Juni.
Sebaliknya, “mereka menyindir kritik dan penolakan warga.”
Memandang upaya tersebut sebagai upaya “memperdaya warga,” Andre mengatakan rencana terbaru Bahlil “tidak masuk akal.”
“Saat ini, desakan kami adalah mencabut SK WKP Atadei dan membatalkan keputusan perluasan ekplorasi dan ekploitasi geotermal di Flores dan Lembata. Semua orang sudah tahu daya rusak yang diciptakan dari eksploitasi geotermal,” kata Andre.
Suara penolakan warga ini sangat berdasar, kata Andre, sebab “hidup kami dari alam yang diwariskan turun temurun oleh leluhur.”
Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Atadei yang tertuang dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008.
Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata.
PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, dengan luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.
Wilayah itu mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.
Editor: Herry Kabut dan Anastasia Ika