Floresa.co – Perwakilan warga Kabupaten Lembata yang baru-baru ini ikut dalam studi banding ke PLTP Kamojang di Provinsi Jawa Barat menyatakan ketidakpuasan karena minimnya informasi yang mereka butuhkan sebagai landasan mengambil sikap terhadap proyek geotermal di Atadei.
Mereka pun berharap bisa difasilitasi untuk studi banding ke lokasi proyek geotermal di Pulau Flores yang memicu persoalan lingkungan dan protes warga setempat.
Studi banding pada 16-20 Juli itu difasilitasi oleh PT PLN [Persero] – kini hendak mengerjakan proyek geotermal di Atadei – dan Pemerintah Kabupaten Lembata. Pesertanya mencakup warga, kepala desa, camat, anggota DPRD dan Penjabat Bupati, Paskalis Ola Tapobali.
Andreas Ledjap dan Hengky Ledjap, dua pemuda asal Desa Atakore, Kecamatan Atadei merupakan bagian dari rombongan itu.
Kepada Floresa pada 24 Juli, Andreas dan Hengky berkata, kunjungan ke PLTP Kamojang tidak tepat disebut studi banding, belajar dan tukar tambah pengetahuan.
Andreas beralasan sejumlah kekhawatiran terkait dampak geotermal belum terjawab saat kegiatan itu.
“Kebutuhan mendesak kami saat itu sebenarnya adalah menerima laporan studi geologi, geofisika dan geokimia dari PLTP Kamojang,” katanya.
Laporan kajian tersebut diperlukan untuk mengetahui dampak baik dan buruk eksplorasi panas bumi, katanya.
Namun, selama beberapa hari itu, kata dia, mereka hanya disuguhi materi tentang rencana induk atau master plan PLTP Kamojang dan manfaat kelistrikannya.
Karena itu, studi banding itu “tidak lebih dari jalan-jalan” dan tidak bisa menjadi rujukan untuk pelaksanaan proyek Atadei, kata Andreas.
Ia berkata, studi lebih komprehensif mesti dilakukan dengan mengunjungi lokasi proyek geotermal lainnya di Mataloko, Kabupaten Ngada dan di Ulumbu, Kabupaten Manggarai.
Studi ke dua lokasi di Pulau Flores itu, kata dia, penting untuk melihat dampak eksplorasi dan eksploitasi terhadap masyarakat setempat.
“Kami sampaikan di forum pertemuan itu bahwa segera lakukan studi banding di Flores,” katanya.
Ia berkata, mereka ingin ke Flores untuk melihat dari dekat masalah lingkungan seperti semburan lumpur di lokasi proyek Mataloko akibat kegagalan berulang pemboran dan dampak lainnya seperti yang dialami warga di sekitar PLTP Ulumbu.
Andreas berkata, selain berdiskusi, dalam studi banding itu mereka menyepakati tiga hal dengan PT PLN yang disetujui anggota DPRD bersama Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali.
Salah satunya adalah PT PLN mengadakan seminar dan ritus meminta petunjuk leluhur di Atadei sebelum melakukan kegiatan apapun terkait eksplorasi. Seminar itu mencakup sosialisasi, kegiatan budaya dan kerohanian.
“Kami meminta pihak PLN wajib melibatkan tiga kampung, yaitu Watuwawer, Lewokoba dan Lewogroma,” kata Andreas
Sementara menurut Hengky, ritus adat mesti melibatkan semua suku di Desa Atakore, yaitu Wawin, Puhun, Ladjar, Waleng, Huang, dan Ledjap.
“Selama ini yang buat ritus hanya dua suku, Suku Puhun dan Suku Wawin,” katanya.
Ia mengaitkan kegagalan dua kali upaya percobaan eksplorasi dengan tidak dilibatkannya suku-suku lain.
“Bor sudah dua kali patah dan leher hewan yang sembelih tidak putus meski sudah dipotong,” katanya.
‘Wisata Birokratis’
Erich Langobelen, akademisi asal Lembata dan proaktif memantau perkembangan proyek geotermal Atadei menyebut studi banding ke PLTP Kamojang “hanyalah tahap formalitas dari perjalanan wisata birokratis.”
Ia menyebut kegiatan ini sebagai langkah politis, bagian dari taktik yang memuluskan agenda greenwashing – istilah yang merujuk upaya menyampaikan kesan palsu bagaimana sebuah perusahaan ramah lingkungan.
Dosen di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ini berkata, dengan studi banding itu PT PLN berusaha memperlihatkan ramah pada lingkungan atau berkomitmen pada praktik pembangunan berkelanjutan.
Ia pun menyoroti sikap Pemerintah Kabupaten Lembata yang ikut memfasilitasi studi banding itu.
“Jika tujuannya murni demi kesejahteraan warga, pemerintah harus fokus dengan uji Amdal, membuat kajian pembanding yang lebih apple to apple, tegas tetapkan regulasi, dan membuat dokumen strategi mitigasi yang kontekstual,” katanya kepada Floresa.
Kalau kemudian ditemukan banyak penolakan, banyak cacat prosedural yang kelihatan, sampai pada banyak gerakan penolakan, kata Erich, “berarti ada yang tidak baik-baik saja.
Semua hal itu, katanya, “harus dibereskan terlebih dahulu sebelum menerima ‘tamu’ yang entah menguntungkan atau justru mengancam itu.”
“Pemerintah jangan menggunakan logika terbalik, bukan logika lingkungan atau ekologi, tapi logika ekosida,” kata Erich.
Targetkan Energi Listrik 10 Megawatt
Proyek geotermal Atadei dimulai sejak penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi berdasarkan Surat Menteri ESDM Nomor.2966/K/30/MEM/2008 pada 30 Desember 2008.
Pada 2017, pengerjaannya diserahkan ke PT PLN lewat Keputusan Menteri ESDM No. 1894./30/MEM/ 2017.
Rencana pengembangan proyek ini tertuang dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN tahun 2021-2030 dengan target menghasilkan energi listrik 10 Megawatt.
PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.
Proyek ini telah memicu protes dari beragam elemen.
Pada 1 Juli, mahasiswa di Kupang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata [Ampera] menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur NTT dan Kantor DPRD NTT.
Informasi yang diperoleh Floresa, Ampera juga akan menduduki kantor DPRD Lembata dalam waktu dekat.
Daratan Flores hingga pulau lainnya sebelah timur, seperti Lembata dan Alor, menjadi sasaran berbagai proyek geotermal dalam hampir satu dekade terakhir.
Hal itu makin gencar pasca Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
Menurut Kementerian ESDM, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik/
Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.
Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, sementara PT PLN terus berupa menggolkan proyek itu. Proyek Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.
Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.
Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisakan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.
Editor: Ryan Dagur