Mahasiswa di Kupang Tolak Proyek Geotermal Atadei, Lembata

Mahasiswa menyinggung sejumlah dampak buruk proyek geotermal di Flores

Floresa.co – Seperti halnya beberapa proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] di daratan Flores yang menuai resistensi masyarakat setempat, hal serupa juga terjadi di Lembata, pulau seluas 1.266,39 kilometer persegi di sebelah timur Pulau Flores.

Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN Persero] saat ini memang sedang berencana membangun PLTP dengan kapasitas 10 Megawatt di Kecamatan Atadei, sekitar 26 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.

Mahasiswa di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] – yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata [Ampera] – menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur NTT dan Kantor DPRD NTT pada 1 Juli. 

Mereka yang tergabung dalam Ampera merupakan anggota sejumlah organisasi mahasiswa di Kupang, yakni Front Mahasiswa Nasional, Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi, Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Serikat Muda Mudi Timur, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Literasi Sastra Filsafat Lyceum, Liga Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi, Perhimpunan Mahasiswa Asal Lembata, Angkatan Muda Mahasiswa Pelajar Asal Ile Ape dan Ikatan Mahasiswa Hukum Manggarai di Universitas Muhammadiyah Kupang.

Dalam pernyataan yang dikirim ke Floresa, mereka menyatakan penetapan Pulau Flores, juga wilayah lainnya di NTT sebagai sasaran proyek geotermal adalah “upaya negara bersama para pengusaha asing untuk menguasai tanah dan kekayaan alam masyarakat.”

Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Nomor 2268 K/30/MEM/2017 pada 19 Juni 2017. Selain itu pulau lainnya di sekitar juga bagian dari target operasi.

Menurut Kementerian ESDM, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT.

Potensi tersebut tersebar di 16 titik, yaitu Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadai, Bukapiting, Roma-Uyelewung dan Oyang Barang.

Ampera Kupang menilai penetapan lokasi geotermal di Flores hingga Lembata “tidak ramah sosial dan tidak ramah lingkungan,” sehingga mendapat penolakan dari warga seperti yang terjadi di sejumlah lokasi, seperti di Wae Sano dan Poco Leok – keduanya di Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai.

Iming-iming pemerintah dan PT PLN bahwa proyek-proyek geotermal ini membawa kesejahteraan dan lapangan kerja, menurut Ampera, tidak sesuai fakta.

Mereka merujuk pada PLTP yang sudah beroperasi di Ulumbu, Kabupaten Manggarai dan Sokoria di Kabupaten Ende yang “hanya menyisakan kesengsaraan bagi kelangsungan hidup masyarakat.” 

Mereka juga menyebut proyek geotermal di Mataloko yang gagal berulang, membuat pemukiman masyarakat yang radiusnya tiga kilometer dari lokasi geotermal harus mengganti seng tiga kali dalam setahun. 

Produktivitas lahan pertanian dan perkebunan juga menurun setelah adanya aktivitas pengeboran panas bumi, kata mereka.

Hal serupa juga terjadi di Desa Wewo, lokasi proyek panas bumi Ulumbu.

“Tanaman komoditas pertanian masyarakat sudah tidak produktif seperti sebelum beroperasinya PLTP,” kata mereka.

Geotermal di beberapa lokasi di Flores ini juga menyebabkan “masyarakat harus kehilangan hak atas tanah sebagai tempat sandaran utama dalam menghidupi keluarga, karena umumnya wilayah kerja panas bumi membutuhkan lahan yang cukup besar.”

Sudah Sejauh Mana Proyek PLTP Atadei Berjalan?

Kementerian ESDM menetapkan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi [WKP] pada 30 Desember 2008 dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008. 

Total luas WKP ini, sebagaimana tertulis dalam keputusan tersebut, adalah 31.200 hektar, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2021-2030, pembangunan PLTP Atadei merupakan salah satu dari 56 rencana pembangunan pembangkit listrik di NTT. 

Proyek ini, dalam dokumen RUPTL, ditargetkan selesai dibangun pada 2024 atau 2026.

Pada 12 Juni 2024, PLN dan Pemerintah Kabupaten Lembata menggelar rapat Ekspos Pelaksanaan Pengadaan Tanah proyek ini. 

Rapat yang dipimpin Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapo Bali itu dihadiri oleh pihak PLN, anggota DPRD, serta pimpinan Organisasi Perangkat Daerah dan Camat Atadei.

Manager PT PLN [Persero] Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara III, Kasirun dalam pertemuan itu memaparkan bahwa PLN telah mengantongi sejumlah perizinan, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kabupaten Lembata.

Perizinan tersebut termasuk Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1894.K/30/MEM/2017 tentang penugasan pengusahaan panas bumi kepada PT PLN [Persero] di WKP Atadei.

Selain itu adalah Izin Prinsip Pembangunan PLTP Atadei dari Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja [DPMPTSPTK] Kabupaten Lembata dengan No.01/5313/IP/PMDN/2020.

Izin lainnya adalah Surat Rekomendasi RTRW dari Dinas PUPR Kabupaten Lembata dengan No.123/PUPR.650/IV/2021. 

PLN juga mengklaim telah mendapat persetujuan pemanfaatan ruang yang bersifat strategis nasional dari Kementerian ATR/BPN dengan No.PF.01/417-200/VI/2020 serta izin lokasi wellpad [titik pengeboran] dan access road [jalan akses] dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Kupang No. S.604/BPKH.XIV-3/2020.

Surat Izin Lingkungan MenLHK, No.SK.10157/MENLHK-PTK/PDLUK/PLA.4/12/2022, menurut PLN, juga sudah dikantongi.

Kasirun juga mengklaim proyek ini “tidak mengganggu aktivitas ritual adat Karun yang jaraknya 200 meter dari pagar pembatas area PLTP.”

Karun merujuk pada ritus warga Desa Atakore berupa memasak makanan tertentu seperti umbi-umbian, daging, kacang-kacangan, jagung, dan lainnya dengan menggunakan uap panas bumi.

Kasirun berkata, PLN akan membayar semua kerugian yang dialami masyarakat akibat proyek tersebut.

“Kami akan datangkan tim ahli untuk mensosialisasikan hal-hal intens yang menjadi dampak pembangunan PLTP bagi kondisi alam dan masyarakat setempat,” katanya.

Sementara itu, Penjabat Bupati Paskalis Ola Tapo Bali dalam arahannya meminta PT PLN untuk segera melakukan sosialisasi yang mendalam, terperinci dan terbuka kepada masyarakat Lembata, khususnya di Kecamatan Atadei. 

“Apakah dampak positif atau negatif, harus disampaikan secara jujur dan jangan ditutup-tutupi, sehingga itu menjadi hasil keputusan bersama terhadap terlaksana dan tidaknya pembangunan PLTP itu,” katanya.

Paskalis juga berkata, pihaknya akan melakukan studi banding di proyek-proyek panas bumi lainnya.

“Kita juga harus lihat dan tahu dampak yang dialami terhadap alam dan masyarakat, baik itu adanya bencana alam maupun non alam yang disebabkan pembangunan PLTP,” katanya.

Proyek PLTP Atadei terdiri atas beberapa lokasi, yaitu wellpad AT-1 di Desa Nubahaeraka dengan luas lahan 18.320 meter persegi;  wellpad AT-2 di Desa Atakore dengan luas lahan 18.869 meter persegi; jalan akses di Desa Ile Kimok, Desa Atakore dan Desa Nubahaeraka dengan luas 137.907 meter persegi dan jalur pipa air di Desa Ile Kimok, Desa Atakore dan Nubahaeraka dengan luas  3.508 meter persegi.

Sedangkan Sabo Dam, sebagai pengendali bencana, berlokasi di Desa Ile Kimok dengan luas 5.029 meter persegi.

Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.

Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, sementara PT PLN terus berupa menggolkan proyek itu. Proyek Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu, sekitar tiga kilometer di sebelah barat yang beroperasi sejak 2012. 

Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.

Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisahkan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA