Floresa.co – PT Predicator Unitatis Mundi (Prundi), pemilik Stasiun Pengisian Bahan Umum (SPBU) di Sernaru, Labuan Bajo tengah mengalami perselisihan hubungan industrial dengan karyawannya.
Perusahaan milik Pastor Marselinus Agot, SVD itu dituding melakukan pemecatan sepihak terhadap dua karyawannya.
Sementara itu, proses mediasi yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi dan UKM (Disnakertrans) Kabupaten Manggarai Barat belum membuahkan hasil karena perusahaan tak memenuhi janjinya.
Pada 19 Februari 2022, Ferdinandus Darling, salah satu karyawan yang dipecat itu mengalami kecelakaan saat menjalani pekerjaannya sebagai operator SPBU Sernaru.
Kala itu, ia ditabrak mobil pikap saat sedang mengisi bahan bakar minyak.
Ferdinandus telah bekerja di SPBU itu sejak 27 April 2010, berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Nomor: 57/PERUNDI/V B/2010.
Berbicara dengan Floresa pada 27 Juni, Sintus Jemali, kuasa hukum Ferdinandus menyatakan akibat kecelakaan itu, kliennya mengalami retak tulang ekor dan tulang paha.
Ferdinandus, kata dia, sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam dan harus beristirahat selama beberapa bulan untuk menjalani perawatan.
Selama dirawat di rumah sakit, katanya, manajemen SPBU tidak sedikitpun mengeluarkan biaya perawatan medis bagi Ferdinandus.
“Bahkan tidak pernah menjenguk. Kesannya perusahaan lepas tanggung jawab,” katanya.
Setelah pulih pada November 2023, Ferdinandus tiga kali menemui Direktur SPBU Sernaru, Vinsensius Hugeng Syafriadi, meminta agar ia kembali bekerja.
Namun, kata Sintus, permintaan itu ditolak oleh perusahaan dengan alasan posisi tersebut sudah diisi sejak ia mengalami kecelakaan kerja.
“Padahal, selama bekerja, saudara Ferdinandus Darling tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang melanggar ketentuan perusahan,” katanya.
Selain Ferdinandus, Hugeng juga memecat Wilfridus Tagut, yang menjadi operator di SPBU Sernaru sejak 2008.
Hugeng memberhentikan Wilfridus pada 27 November 2023, setelah sebelumnya ia mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke jeriken konsumen,
Hugeng menilai praktik itu melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Padahal pelanggan yang butuh BBM (diisi pakai jeriken). Kami isi sesuai arahan pengawas,” kata Wilfridus.
“Saya isi atas sepengetahuan pengawas,” tambahnya.
Atas tuduhan melanggar SOP itu, pada 16 November 2023, Hugeng meminta Wilfridus membuat pernyataan tertulis untuk tidak lagi melayani pengisian BBM dalam jeriken.
Dalam surat pernyataaan yang salinannya diperoleh Floresa, Wilfridus menyatakan, “apabila saya melanggar, saya bersedia menerima sanksi yang diberikan,” termasuk “dirumahkan.”
Kendati tidak mengulangi pelanggaran yang sama, sebelas hari kemudian, Wilfridus menerima telepon dari atasan yang menyatakan bahwa ia diberhentikan dari pekerjaannya.
“Tiba-tiba bos telpon. Dia bilang mulai hari ini kamu harus istirahat,” kata Wilfridus.
“Saya merasa tidak membuat kesalahan tiba-tiba saya langsung diberhentikan,” tambahnya.
Wilfridus mengaku beberapa kali menemui Direktur Utama PT Prundi, Pater Marsel Agot untuk menuntut pemenuhan hak-haknya.
Namun, permintaan itu ditolak dan ia diarahkan untuk berkomunikasi dengan Hugeng.
Saat didatangi Wilfridus, Hugeng justru memintanya menemui Pater Marsel.
“Dia bilang ketemu Pater Marsel dulu, begitu terus,” kata Wilfridus.
Menurut Sintus Jemali, yang juga kuasa hukum Wilfridus, pemecatan terhadap kliennya menyalahi ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mensyaratkan adanya somasi atau kesalahan.
Menuntut Hak
Sejak diberhentikan, baik Ferdinandus maupun Wilfridus tidak menerima hak-hak berupa pesangon, penghargaan masa kerja dan tunjangan hari raya.
Atas pemutusan kerja yang dianggap tidak manusiawi itu, Sintus menuntut perusahaan membayar hak normatif kliennya sebesar Rp97 juta untuk Ferdinandus dan Rp60 juta untuk Wilfridus.
“Mereka berusaha menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan melalui perundingan bipartit,” kata Sintus.
Perundingan bipartit merupakan perundingan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Namun, langkah itu tidak membuahkan hasil karena perusahaan tidak mau menerima dan melayani para korban.
Karena tak kunjung mendapat respons, kedua pekerja itu akhirnya melaporkan kasus tersebut ke Disnakertrans pada 7 Mei, guna memfasilitasi perundingan tripartit.
Menindaklanjuti laporan itu, Kepala Disnakertrans, Theresia Primadona Asmon membuka ruang mediasi pada 26 Mei.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Floresa, mediasi itu menghasilkan dua poin kesepakatan.
Pertama, Dinasnakertrans meminta Hugeng untuk membuat jawaban secara tertulis terhadap semua tuntutan tenaga kerja yang diwakili kuasa hukum mereka.
Kedua, Hugeng meminta kesempatan untuk berunding dengan Pater Marsel Agot supaya menemukan kata sepakat dan berjanji jawaban tertulis itu diberikan pada 30 Mei.
Namun hingga hari yang ditentukan, hasil perundingan itu belum juga disampaikan ke Disnakertrans.
Karena itu, Disnakertrans mengeluarkan surat panggilan bernomor Nakertrans.400.1.5.5/112/VI/2025 pada 20 Juni kepada Hugeng dan pekerja — merujuk Ferdinandus dan Wilfridus.
Melalui surat itu, para pihak diminta menghadiri tripartit yang dipimpin Theresia Primadona Asmon pada 23 Juni.
Namun, menurut Theresia, Hugeng mangkir dari pertemuan itu.
“Sudah dipanggil menghadap, tetapi belum datang,” katanya kepada Floresa pada 27 Juni.
Theresia berkata, jika panggilan itu tetap diabaikan, maka Unit SPBU Sernaru akan dikenai sanksi administratif “mulai dari teguran, pembatasan, hingga pencabutan izin usaha.”
Floresa meminta tanggapan Vinsensius Hugeng Syafriadi terkait alasan pemberhentian dan respons tentang tuntutan pekerja pada 27 Juni.
Namun, ia tak merespons pesan WhatsApp yang dikirim ke ponselnya, kendati bercentang dua, tanda sudah sampai kepadanya.
Sehari kemudian, Floresa meminta tanggapan Marsel Agot terkait perselisihan hubungan industrial tersebut.
Ia berkata, sejak 4 September 2022 hingga 4 Sep 2027 SPBU itu dikelola Hugeng.
“Semua urusan tanggung jawab dia,” katanya.
Pada hari yang sama, Floresa meminta tanggapan Manajer Pengawas Unit SPBU Sernaru, Inosensius Bandarmas.
“Tanya langsung ke Pa Hugeng, apalagi sudah ditangani Disnaker Manggarai Barat,” katanya.
Editor: Petrus Dabu