Floresa.co – Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga Gereja Katolik mengadukan Polres Manggarai ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] terkait dugaan kriminalisasi terhadap warga Poco Leok yang diperiksa karena menolak proyek geothermal.
Dalam sebuah pernyataan pada 20 Oktober, organisasi dan lembaga yang bergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok ini menyebut Polres Manggarai telah melakukan “intimidasi dan kriminalisasi” terhadap warga yang sedang mempertahankan tanah mereka.
Pengaduan itu merespons langkah polisi yang memeriksa tujuh warga pada awal bulan ini dan pemanggilan belasan warga lainnya pada pekan ini.
“Pemanggilan itu merupakan tindakan kesewenang-wenangan Polres Manggarai” dan upaya “membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok,” kata koalisi ini.
Anggota koalisi terdiri dari 11 lembaga, termasuk Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC], lembaga advokasi Gereja Katolik dari Tarekat Serikat Sabda Allah atau SVD dan Fransiskan atau OFM; Jaringan Advokasi Tambang; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Sunspirit for Justice and Peace, Lembaga Bantuan Hukum Labuan Bajo dan Trend Asia.
Koalisi menyebut Polres Manggarai telah melanggar Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang [UU] Dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Mereka juga menyebut langkah Polres Manggarai bertentangan dengan spirit UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan HAM” dan “kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.
Senada dengan isi UU itu, kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara, seharusnya Polres Manggarai memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang memiliki kerentanan.
Sayangnya, kata dia, “kehadiran pihak kepolisian tidak melindungi masyarakat, tetapi melindungi orang-orang atau perusahaan yang datang merusak.”
“Konsep perlindungan itu kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa dan kuat. Jangan dibalik konsepnya,” tegasnya.
Sementara itu, Melky Nahar, Koordinator Jariangan Advokasi Tambang mengatakan, sejak awal rencana pembangunan proyek geothermal di Poco Leok telah mendapat penolakan, namun pemerintah tetap tidak menghiraukannya.
“[Pemerintah] malah mengerahkan polisi untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi,” katanya.
“Atas nama proyek strategis nasional yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu, rakyat kecil rentan terusir dari wilayah mereka seperti yang dialami oleh masyarakat adat Poco Leok,” ujar Melky.
Erasmus Cahyadi, deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menambahkan, koalisi melakukan pengaduan agar Komnas HAM “segera memberikan perlindungan kepada masyarakat adat Poco Leok dan memantau tindakan represif dan intimidasi oleh polisi.”
Ia juga berharap Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Polres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi terhadap warga.
Erasmus menambahkan, Komnas HAM juga perlu turun ke Poco Leok bertemu dengan masyarakat, menerima secara langsung pengaduan dan meninjau lokasi proyek.
“Kunjungan Komnas HAM ke Poco Leok menjadi krusial tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi Komnas HAM untuk menggali fakta sesungguhnya,” kata Erasmus.
Sementara itu, Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM mengatakan lembaga negara itu akan melakukan rapat bersama untuk mengambil keputusan terkait dengan pengaduan ini.
Tujuh warga Poco Leok telah menjalani pemeriksaan pada 6 Oktober.
Dalam surat panggilan yang salinannya diperoleh Floresa, Polres Manggarai menuding warga melakukan tindak pidana “dengan sengaja menghalangi atau merintangi pembangunan pengusahaan panas bumi dan dengan kekerasan melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah.”
Mereka dinyatakan bisa dipidana karena melanggar UU Cipta Kerja.
Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Manggarai mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Floresa, warga Poco Leok “dipanggil secara acak guna dimintai klarifikasi terkait laporan informasi anggota Polres Manggarai.”
Tanpa merinci identitas pelapor, Made mengatakan laporan informasi tersebut “terkait penghadangan terhadap aparat saat melaksanakan tugas pada 27 September.”
Sekitar 30-an aparat mendatangi Poco Leok pada tanggal itu, mengawal petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara yang hendak menuju lokasi proyek geothermal.
Floresa mendapat informasi bahwa beberapa warga lainnya telah mendapat surat panggilan dari polisi pekan ini. Namun, mereka belum memutuskan memenuhi panggilan itu.
Muhammad Jamil, pengacara yang juga Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang dan ikut mendampingi warga Poco Leok saat pemeriksaan pada 6 Oktober menyatakan “pemanggilan warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan proyek geothermal dan menghalangi pejabat yang sedang bertugas itu ngawur.”
Jamil mengatakan, salah satu warga tersebut “terkonfirmasi ternyata tidak berada di lokasi aksi” penghadangan.
Proyek geothermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu, sekitar 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang beroperasi sejak 2012.
Pemerintah menargetkan proyek ini menghasilkan energi listrik 2×20 megawatt. meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.
Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.
Warga Poco Leok terus melakukan perlawanan terhadap proyek yang berada di tanah ulayat dan dekat dengan pemukiman mereka.
Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat dan perusahaan yang mendatangi wilayah mereka, selain dengan menggelar rangkaian unjuk rasa.