Floresa.co – Nama Paus Fransiskus dan Vatikan berkali-kali disebut dalam sebuah pertemuan di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai pada 25 Juli yang membahas proses lanjutan pengembangan proyek geotermal Poco Leok.
Denis Goonting, konsultan sosial PT PLN UIP Nusra menyebut pemimpin Gereja Katolik sedunia itu merekomendasikan penggunaan energi yang ramah lingkungan.
Hal itu, katanya, disebut secara eksplisit oleh paus dalam ensiklik Laudato Si, dokumen yang terbit pada 2015 berisi pandangan terkini Gereja Katolik tentang masalah lingkungan.
“Salah satu pasal dalam Laudato Si adalah tentang energi dan pasal itu menyangkut pembangkit listrik,” kata pria asal Malaysia yang saat itu mengenakan topi dan sarung tradisional Manggarai.
Sandro Ginting, staf PT PLN Unit Pelaksana Proyek Nusra II yang mengampanyekan keunggulan geotermal ketimbang energi fosil mengklaim dalam pertemuan itu bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] pertama di dunia ada di Italia, yang antara lain dimanfaatkan oleh Vatikan.
Dalam pertemuan yang sama pada 25 Juli, Ferdy Hasiman, pengamat yang dihadirkan PT PLN juga mengklaim telah bertemu dengan Uskup Siprianus Hormat dan para imam di Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng.
“Ketika kami bertukar pikiran, mereka semua sepakat bahwa memang ini harus dijelaskan dengan baik ke masyarakat,” katanya.
Sama seperti Ferdy, Denis juga menyinggung kedekatannya dengan para imam, termasuk mendengarkan ibadah dari gereja yang dekat dengan tempatnya menginap di Ruteng, kota yang oleh sejumlah kalangan disebut Vatikan-nya Indonesia karena banyaknya bangunan gereja dan biara.
Strategi yang dilakukan PLN dalam pertemuan di Ruteng itu bukan yang pertama yang mencatut Vatikan, Paus Fransiskus, uskup dan lembaga-lembaga gereja.
Pada 2022, PT PLN membagikan sebuah booklet kepada warga Poco Leok. Isinya, geotermal didukung oleh Vatikan melalui Laudato Si.
Di booklet itu dimasukkan sebuah kutipan dari teks Laudato Si, yang secara sengaja menambahkan kata panas bumi/geothermal, yakni: “Penggunaan bahan bakar fosil solar, batu bara untuk pembangkit listrik sangat mencemari lingkungan dan kesehatan. Energi terbarukan panas bumi/geotermal adalah pilihan yang tepat karena lebih ramah lingkungan dan tersedia dalam waktu lama.”
Padahal, kutipan itu, termasuk penyebutan eksplisit geotermal/panas bumi tidak ada dalam isi dokumen Laudato Si yang diterjemahkan Konferensi Waligereja Indonesia.
Laudato Si artikel 165, yang diduga menjadi rujukan teks yang dikutip PLN itu isinya sebagai berikut: “Kita tahu bahwa teknologi yang menggunakan bahan bakar fosil yang sangat mencemari terutama batubara, tetapi juga minyak dan, pada tingkat lebih rendah gas perlu diganti, secara bertahap dan tanpa ditunda-tunda. Selama pengembangan energi terbarukan yang seharusnya sudah berjalan belum memadai, maka sah untuk memilih yang kurang jahat dan beralih kepada solusi sementara.”
Lewat booklet yang sama, PT PLN juga mencatut nama beberapa lembaga gereja, bahwa perusahaan telah melakukan sosialisasi dengan mereka sebagai bagian dari pemangku kepentingan.
Lembaga-lembaga yang disebut itu adalah Komisi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC-SVD dan JPIC OFM.
Ketiga lembaga kemudian protes, menuding pencatutan menimbulkan kesan seolah-olah mereka mendukung proyek geotermal.
Mereka kompak mengaku pernah “bertemu dan berdiskusi” dengan utusan PT PLN, tetapi tidak dalam rangka “konsultasi” dan menyatakan persetujuan terhadap proyek.
Tak hanya di Poco Leok, strategi membawa nama mereka yang terkait dengan gereja juga terjadi dalam proyek geotermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam sebuah sosialisasi pada November 2022 di Kantor Desa Wae Sano, Yando Zakaria, utusan dari Kantor Staf Presiden berkali-kali menyebut nama Uskup Siprianus.
“Saya datang sebagai utusan Kantor Staf Presiden yang ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan penolakan proyek Wae Sano ini, yang disampaikan oleh Yang Mulia Uskup Ruteng,” katanya.
Kala itu Yando juga sempat membawa-bawa Keuskupan Ruteng dalam sebuah silang pendapat di media sosial, di mana ia mengomentari sebuah video yang diunggah Farid Gaban, jurnalis senior sekaligus tim ekspedisi Indonesia Baru yang menarasikan penolakan warga Wae Sano terhadap Yando pada 15 November.
“Beberapa pihak yang semula menolak, termasuk Keuskupan Ruteng, sudah berubah sikap karena bisa menerima penjelasan dari proyek [ini],” tulis Yando.
Sikap uskup yang disinggung itu merujuk pada sebuah surat yang dikirim oleh Uskup Siprianus kepada Presiden Joko Widodo pada 29 Mei 2021.
Itu merupakan surat kedua untuk presiden setelah surat sebelumnya pada 9 Juni 2020, di mana Uskup Sipri mengingatkan bahaya dari proyek itu.
Surat kedua itu dikirim setelah pemerintah melakukan pendekatan dengan keuskupan yang berujung pada penandatanganan Nota Kesepahaman [MoU] dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2 Oktober 2020 dan pembentukan sebuah komite bersama, yang antara lain melakukan rangkaian proses sosialisasi ulang atas proyek itu. Tim itu melibatkan keuskupan, pemerintah dan perusahaan.
Di lokasi yang sama di Kantor Desa Wae Sano, dua tahun sebelumnya seorang pejabat publik bahkan membawa-bawa nama Tuhan.
Saat sosialisasi pada Februari 2020 itu, Camat Sano Nggoang, Siprianus Silfris berkata kepada warga yang menolak proyek bahwa “melawan pemerintah sama dengan melawan Tuhan.”
Catut Kampus, Akademisi dan Pakai Pengamat
Dalam catatan Floresa, menyebut Vatikan, Paus Fransiskus juga institusi Gereja Katolik menjadi satu dari sejumlah strategi yang dipakai oleh pemerintah dan perusahaan untuk meloloskan proyek-proyek geotermal di Flores, daerah yang lebih dari 90 persen warganya penganut Agama Katolik
Tak hanya lembaga gereja dan orang-orang yang terkait gereja, mengklaim mendapat justifikasi dari kampus dan akademisi juga bagian dari strategi lain.
Dalam booklet pada 2022 yang diprotes tiga lembaga gereja, salah satu yang juga ikut disebut adalah Rektor Universitas Katolik Indonesia St. Paulus [Unika St. Paulus] Ruteng, Romo Yohanes Servatius Lon.
PT PLN menyebut rektor itu salah satu dari pihak pemangku kepentingan yang mereka lakukan “pendekatan dan konsultasi.”
Dua tahun berselang, pada Juni lalu, dalam sosialisasi lanjutan bagian dari tahap kedua identifikasi dan pengadaan lahan untuk proyek geotermal Poco Leok, PT PLN kembali membawa-bawa nama Unika St. Paulus.
Dalam sebuah booklet yang dibagikan kepada warga saat sosialisasi di Aula Paroki St. Arnoldus Janssen Ponggeok, Kecamatan Satar Mese pada 12 Juni dan 14 Juni, PT PLN mencantumkan hasil riset seorang dosen Unika St. Paulus pada 2022, untuk mendukung proyek tersebut, yang merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.
Kajian hasil kerjasama dosen tersebut dengan Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri di Institut Teknologi Bandung [ITB] salah satunya menyebut “panas bumi Ulumbu tidak menyebabkan seng berkarat,” yang kemudian dipakai sebagai alasan untuk membantah pengakuan warga soal dampak buruk geotermal.
Laporan Floresa terkait itu diprotes Fany Juliarti Panjaitan, eks dosen yang disebut sebagai peneliti tersebut, menyebut dirinya “tidak pernah mengatasnamakan” Unika St. Paulus Ruteng.
Di sisi lain, pimpinan kampus itu telah mengklaim tidak mengetahui soal dosen itu, juga hasil kajiannya.
Selain Fany, PLN juga memakai Ferdy Hasiman, pengamat yang sering berbicara soal masalah pertambangan untuk menjustifikasi proyek itu.
Ferdy, yang menyatakan dirinya menolak tambang berkata geotermal bukanlah pertambangan dan energi tersebut menjadi syarat pertumbuhan investasi pariwisata dan kemajuan di Flores.
Klaim Ferdy, yang berasal dari Manggarai Timur itu, mendapat sorotan warga Poco Leok.
Mereka mempertanyakan pernyataannya yang bertolak belakang dengan yang ia sampaikan saat berkunjung ke wilayah itu menjelang pemilu legislatif, di mana Ferdy menjadi salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Kritik warga berujung pada anggapan bahwa Ferdy, yang pada 2014 menulis buku “Monster Tambang” telah mengkhianati mereka.
Dari Holtikultura, Babi Hingga Jaringan Listrik
Strategi lainnya yang dipakai perusahaan adalah penyaluran bantuan dalam berbagai bentuk yang masif diiklankan beberapa waktu terakhir.
Bantuan itu mulai dari program pertanian holtikultura, hingga pemasangan jaringan listrik ke sejumlah wilayah di Poco Leok.
Dalam sejumlah rilis PT PLN yang disebarluaskan ke media-media yang diduga berafiliasi dengannya, proyek-proyek hortikultura yang tiba-tiba muncul saat sedang menggolkan geotermal Poco Leok itu diklaim berhasil.
Proyek-proyek itu adalah bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility [CSR]
Selain di bidang pertanian, CSR perusahaan tersebut di Poco Leok berupa ternak babi yang diberikan khusus kepada warga pendukung proyek pada Juni tahun lalu.
Klaim PT PLN soal proyek itu sempat memicu polemik, karena menyebutnya berhasil menggerakkan kelompok masyarakat yang telah dibentuk oleh Desa Lungar – salah satu dari tiga desa di Poco Leok – melalui Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu [TEKAD].
Fasilitator program yang berada di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi [Kemendes PDTT] itu membantah klaim tersebut, menyebut TEKAD tidak berhubungan dengan CSR perusahaan.
Program lainnya yang disebut warga “hanya mau mengambil hati masyarakat” adalah perluasan jaringan listrik di wilayah Poco Leok, yang baru dimulai pada 2019 oleh PT PLN kendati PLTP Ulumbu yang berjarak sekitar tiga kilometer di sebelah barat sudah beroperasi sejak 2012.
Saat ini, kata warga, perusahaan tersebut tengah mengadakan perluasan jaringan listrik ke beberapa kampung terjauh yang belum memiliki akses jalan beraspal.
Warga menduga sejumlah agenda tersebut bagian dari taktik meloloskan proyek.
Hal itu membuat warga adat Lungar, salah satu kampung adat atau Gendang menolak proyek hortikultura baru yang hendak dikembangkan di Lingko Ndajang, salah satu ulayat mereka.
Pada 24 Juni mereka memilih mengambil kembali lahan ulayat itu.
Kerahkan Media Sebar Disinformasi
Memanfaatkan media untuk propaganda, termasuk menyebarkan disinformasi merupakan strategi lain PT PLN.
Hal itu tampak dari sejumlah rilis perusahaan yang diterbitkan hampir serentak di sejumlah media lokal dan nasional, dengan isi yang hampir sama mempropagandakan pentingnya energi baru dan terbarukan, energi bersih dan lain sebagainya
Berita berjudul “Pembangunan PLTP Ulumbu 5-6 [Poco Leok]: Langkah Pasti Menuju Kemandirian Energi dan Ekonomi” misalnya dimuat bersamaan di media Radarlombok.co.id, Antaranews.com, dan Swarantt.net pada 29 Juli hingga 1 Agustus, dengan isi yang hampir sama, terutama di bagian awalnya. Media lainnya yang memuat berita tersebut dengan sedikit perubahan pada judul dan isinya adalah Seputarntb.com pada 29 Juli.
Rilis-rilis PT PLN tersebut, sebagiannya berisis disinformasi – berita yang tidak sesuai dengan fakta, namun sengaja disebarluaskan.
Salah satunya adalah ketika pada Februari, PT PLN menyiarkan berita sosialisasi Free, Prior and Informed Consent [FPIC] atau Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan [Padiatapa], salah satu tahap dalam proyek itu.
Sosialisasi FPIC, yakni prinsip internasional terkait pelaksanaan proyek yang menyatakan persetujuan warga harus diminta sebelum sebuah proyek dimulai (prior), diadakan secara independen atau bebas oleh warga sendiri (free) berdasarkan informasi yang memadai dan akurat yang disampaikan sebelumnya (informed), diberitakan serentak oleh beberapa media lokal.
Dennis Goonting, konsultan sosial PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusra mengklaim dalam kegiatan di Dusun Lengkong, sekitar 300 meter dari PLTP Ulumbu pada 27 Februari itu bahwa mereka “memberikan pemahaman kepada warga atas dampak dari Proyek Strategis Nasional ini baik dari sisi lingkungan, sosial kesehatan, keselamatan, serta tahapan-tahapan dari setiap program yang akan dijalankan dalam menyukseskan proyek.”
Sehari berselang pasca sosialisasi, warga berkata kepada Floresau bahwa tim PT PLN tidak berbicara tentang dampak-dampak proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu, tetapi “hanya bicara dampak perubahan iklim,” hal yang menunjukkan adanya penyebarluasan disinformasi kepada publik.
Hal tersebut mengonfirmasi beragam informasi yang beredar luas bahwa beberapa media daring lokal dan nasional menjalin kerja sama dengan pemerintah dan perusahaan tersebut untuk menyiarkan berita-berita “baik” yang tak sedikitpun menyinggung adanya protes warga terkait proyek.
Di samping disinformasi, ciri lainnya dari media-media yang dikerahkan PLN adalah memuat rilis berita yang isinya sama, kendati ada perbedaan pada judul dan sebagian isinya.
Propaganda media juga melakukan serangan dengan pemberitaan terhadap Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Koordinator Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC-SVD) Ruteng, yang dituding sebagai dalang aksi penolakan warga Poco Leok.
“Serangan” tersebut, yang tanpa sedikitpun meminta tanggapan Pastor Simon terjadi di tengah upaya imam itu dan sejumlah lembaga advokasi lainnya mendukung perjuangan warga yang menolak proyek.
Fasilitasi Studi Banding
Di tengah perlawanan warga, korporasi juga memfasilitasi studi banding ke lokasi PLTP di Indonesia yang sudah beroperasi.
Baru-baru ini, PT PLN memfasilitasi warga dari Desa Atakore di lingkar proyek geotermal Atadei, bersama DPRD dan Pemerintah Kabupaten Lembata studi banding ke PLTP Kamojang di Jawa Barat.
Warga mengkritisi program itu, yang “tidak lebih dari jalan-jalan” dan tidak bisa menjadi rujukan untuk pelaksanaan proyek Atadei.
Mereka mengaku hanya disuguhi materi tentang rencana induk atau master plan PLTP Kamojang dan manfaat kelistrikannya, tanpa penjelasan komprehensif terkait dampak positif dan negatif proyek.
Strategi studi banding sebelumnya pernah dilakukan perusahaan PT Sarana Multi Infrastruktur yang memfasilitasi warga dari Wae Sano mengunjungi PLTP Kamojang.
Perusahaan yang berada di bawah Kementerian Keuangan itu semula hendak mengerjakan proyek Wae Sano, namun kemudian diganti PT Geo Dipa Energy.
Hasil studi banding kala itu, justru menguatkan suara penolakan warga.
“Geotermal yang di Kamojang itu kan sudah jadi. Kita tidak tahu saat proses awalnya seperti apa. Di sana topografinya rata, sedangkan kita di sini, topografinya miring. Yang pasti nanti akan terjadi penggusuran,” kata Mathildis Felni, ibu dari Desa Wae Sano.
“Kemudian, apakah yang di Kamojang itu mencerminkan semua geotermal di seluruh Indonesia? Tentu tidak,” tambahnya.
Baik warga Atadei maupun Wae Sano mengatakan studi banding seharusnya difasilitasi oleh perusahaan untuk melihat contoh dampak proyek geotermal yang paling dirasakan oleh warga, misalnya di Mataloko, Kabupaten Ngada yang mengalami kegagalan dan di Ulumbu, Kabupaten Manggarai.
Protes Warga Terus Menguat
Meski pemerintah dan perusahaan mengerahkan beragam cara untuk meloloskan proyek, warga di lokasi-lokasi itu tetap menyatakan protes dan penolakan dalam beberapa tahun belakangan, sama-sama menyoroti dampak buruk proyek tersebut pada keberlangsungan hidup komunitas dan seluruh ruang hidup ekologi mereka.
Regina Tin, ibu 45 tahun dari Wae Sano berkata komunitasnya telah menyatakan sikap secara tegas untuk menolak proyek tersebut karena mengancam keutuhan ruang hidup mereka. Apalagi, katanya, jarak titik pengeboran sangat dekat dengan pemukiman.
Maria Suryanti Jun, warga adat Poco Leok menyatakan hal senada, bahwa komunitasnya menolak memberikan tanah adat warisan leluhur kepada pihak lain, apalagi untuk investasi perusahaan ekstraktif.
“Dalam sejarah Poco Leok dinyatakan bahwa “lingko peang, gendang one,” artinya adalah satu kesatuan dan tak bisa dipisahkan antara hidup kami dengan alam tempat kami mempertahankan hidup,” kata ibu 45 tahun itu dalam sebuah wawancara khusus dengan Floresa.
Tak hanya memprotes pemerintah dan perusahaan, kritik terbuka juga dilakukan warga terhadap otoritas gereja, salah satunya menyebut pernyataan Uskup Siprianus terkait ‘ekologi integral’ kontras dengan sikap Keuskupan Ruteng yang mendukung proyek geotermal.
Pada Juni 2021, warga Wae Sano juga menulis surat terbuka kepada Uskup Sipri, di mana mereka menyebut sikap uskup yang merekomendasikan kelanjutan proyek tersebut kepada Presiden Jokowi sebagai langkah “menggadaikan masa depan umat.”
Sementara Tadeus Sukardin, warga Poco Leok yang mengkritisi Surat Gembala Paskah yang dikeluarkan Sipri pada bulan Maret, menyebut narasi uskup justru kontras dengan pilihan-pilihan sikap yang telah ditunjukkan selama ini, termasuk dalam merespons masalah geotermal yang hendak masuk ke wilayah mereka.
Karena aksi perlawanannya, warga di Poco Leok mengalami represi dan kriminalisasi dari aparat bersenjata, setidaknya sejak Februari hingga akhir tahun 2023.
Berbeda dari proyek geotermal di Wae Sano, Poco Leok, dan yang terbaru di Atadei yang dilawan secara terbuka oleh warga setempat, proyek di Mataloko dan Sokoria tampak seperti berjalan mulus. Perlawanan warga nyaris tidak terdengar.
Kepada Floresa, warga di dua lokasi tersebut mengatakan hal itu bukan karena tidak ada masalah dengan proyek itu, tetapi karena tidak ada yang mau menyampaikan suara mereka.
Warga di Sokoria, misalnya mengisahkan bahwa pada 2020 empat orang Mosalaki Pu’u, tua adat atau mosalaki yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Lio, mengalami manipulasi dan pembohongan saat negosiasi lahan proyek geotermal.
Keempatnya dijemput dengan mobil PT Sokoria Geothermal Indonesia dan dibawa ke markas Komando Distrik Militer Ende, di mana “mereka diminta tanda tangan persetujuan untuk hibahkan tanah.”
“Mereka masuk ruangan yang berbeda-beda. Di dalam ruangan itu, setiap mereka diberi tahu bahwa tiga teman mosalaki yang lain sudah setuju dan tanda tangan,” kata Ludovikus Galu saat ditemui Floresa pada September tahun lalu.
Sementara itu, di Mataloko, Kabupaten Ngada, rumah-rumah warga terletak sekitar 300 meter dari lokasi luapan lumpur dan uap panas yang merupakan dampak kegagalan eksplorasi proyek tersebut sejak dua dekade lalu.
Sementara kegagalan terus berulang, PT PLN kini tengah melakukan pembangunan kembali, di mana titik pengeboran berada sekitar 500 meter dari rumah warga terdekat.
Warga lingkar proyek geotermal Mataloko, yang berjarak 15-18 kilometer dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada itu mengatakan pengerjaan kembali proyek yang telah mengalami kegagalan berulang selama dua dekade terakhir itu tidak didahului sosialisasi yang memadai.
“Tidak pernah diberi tahu [dampaknya]. Mereka hanya bilang ‘kamu senang kalau ini sudah jadi, kamu akan dapat listrik,’” kata Martina Sola, ibu 45 tahun asal Desa Wogo.
Damianus Dowa, 57 tahun, warga lainnya dari desa itu mengatakan “belum pernah ada sosialisasi kepada seluruh masyarakat terkait proyek tersebut, baik pada saat pembangunan awal PLTP tersebut pada awal 2000-an, maupun beberapa waktu belakangan saat dikerjakan kembali.”
Proyek-proyek geotermal, bagian dari Proyek Strategis Nasional, makin gencar di Flores sejak pemerintah menetapkannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
Hingga kini terdapat tiga lokasi PLTP yang telah beroperasi di sepanjang Pulau Flores, yakni Ulumbu di Kabupaten Manggarai yang menghasilkan daya listrik 10 megawatt sejak 2012 dan PLTP Sokoria dengan kapasitas 3 megawatt sejak 2023.
Pemerintah sebelumnya telah menargetkan 16 titik wilayah kerja panas bumi untuk pemenuhan kebutuhan listrik, utama yang berasal dari energi panas bumi pada tahun 2025.
Enam belas titik itu adalah Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.
Editor: Ryan Dagur