Floresa.co – Gerimis belum sepenuhnya reda saat sekelompok warga Kampung Adat atau Gendang Lungar di Poco Leok, Kabupaten Manggarai mendatangi lahan ulayat atau Lingko Ndajang pada 24 Juni.
Lingko itu berada satu kilometer di sebelah utara wilayah Poco Leok.
Satu persatu kendaraan warga bermunculan di tengah guyuran hujan.
Di lingko yang berada di dekat Kampung Ndajang, anak kampung Gendang Lungar itu, mereka memasang poster yang dibuat dari karung plastik dengan tulisan perpaduan cat warna merah dan hitam: “Tanah ini sudah dikembalikan ke Gendang Lungar.”
Sejak pukul 10.00 Wita, warga di bawah komando Tua Gendang, Mathias Jingkar memenuhi sisi lingko itu di pinggir jalan raya Ruteng-Poco Leok, membersihkan bagian yang akan dipajang poster.
Sebagian lain mempersiapkan poster di beberapa lahan yang sudah ditentukan dalam kesepakatan pertemuan di rumah adat atau gendang.
Satu per satu poster pun dipajang.
Tulisan dalam poster-poster itu berbeda dengan tulisan yang dalam beberapa waktu terakhir dipasang di sejumlah ruas jalan di Poco Leok. Poster-poster lain hanya bertuliskan ‘Tolak Geotermal Poco Leok.’
Reaksi atas Rencana PT PLN
Aksi warga merespons upaya PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] Persero yang kini sedang melakukan pengembangan kebun hortikultura di Lingko Ndajang.
Sebelumnya PT PLN membuka satu bidang lahan di lingko itu, hal yang menurut warga bagian dari taktik meloloskan proyek geotermal. Kebun hortikultura lainnya juga telah dibuka di beberapa lokasi lain.
Beberapa hari sebelumnya, warga mendengar informasi soal rencana PLN itu membuka kebun baru di Lingko Ndajang.
Klorida Jehanut, seorang ibu warga Gendang Lungar berkata, ia mendapat informasi ada dua lahan baru yang hendak dibuka untuk kebun dampingan PLN.
Ia berkata, pemanfaatan lahan di lingko itu dengan penggarap lahan tidak pernah dikonfirmasikan ke gendang, yang dalam konteks budaya Manggarai adalah “pemilik sah dari lahan tersebut.”
“Mereka tidak pernah mendatangi gendang. Semua dikerjakan secara diam-diam. Kesepakatan selalu terjadi di luar gendang,” kata Tua Gendang Mathias Jingkar.
Karena itu, katanya, warga gendang bersepakat untuk membawa kasus ini ke dalam mekanisme adat.
Hal itu dimulai pada 19 Juni 2024, di mana warga mendatangi lokasi beramai-ramai, lalu mencegat para penggarap lahan dan para pekerja yang sedang hiruk-pikuk menyiapkan lahan untuk kebun hortikultura itu.
“Kami memutuskan untuk datang ke lokasi, lalu meminta mereka berhenti karena tidak pernah diberitahukan ke gendang,” kata Mathias.
Ia berkata, pemasangan poster pada 24 Juni adalah buah dari kesepakatan bersama warga di rumah adat Gendang Lungar pada malam sebelumnya.
Di Gendang Lungar, katanya, warga memiliki kebiasaan bahwa setiap persoalan diselesaikan dengan musyawarah adat yang dikenal sebagai lonto leok.
Keputusan pemasangan poster, katanya, adalah hasil diskusi dan pertimbangan bersama seluruh warga gendang yang hadir.
“Ini adalah keputusan gendang, menindak setiap warga gendang yang melanggar ketentuan tentang lahan di lingko milik gendang,” kata Mathias.
Dalam pertemuan pada 23 Juni malam, tua adat Gendang Lungar mengundang warga penggarap lahan yang hendak dijadikan kebun hortikultura.
Sebagaimana biasanya ketika hendak menggelar pertemuan adat, tua gendang menabuh gong, tanda akan digelarnya lonto leok. Gong dibunyikan tiga kali , namun warga penggarap lahan tidak kunjung datang.
Hal itu membuat warga mendesak tua gendang untuk memanggil penggarap lahan. Dua peserta lonto leok kemudian diperintahkan untuk menyambangi rumah tiap warga itu, mendesak mereka agar hadir.
Namun, hingga tiga jam kemudian, mereka tidak hadir. Salah seorang di antaranya memberitahu kepada utusan rumah adat; “Ami gereng wali kaut: Kami tunggu hasil musyawarahnya saja.”
Tua Gendang Lungar Mathias Jingkar bersama tokoh adat lainnya Heribertus Jebatu mengunjungi penggarap lahan pada 24 Juni pagi, memberi tahu hasil lonto leok itu.
Heribertus berkata, warga penggarap “mengaku salah dan menyesali tindakannya.”
“Mereka terima keputusan forum lonto leok,” katanya.
Tadeus Sukardin, warga Gendang Lungar lainnya berkata, sekalipun keputusan itu dibuat tanpa kehadiran warga terkait, hasil forum lonto leok tetap sah karena “telah melalui tata cara yang biasa dilakukan sebelumnya.”
“Ini adalah kebiasaan kami bertahun-tahun. Kami telah undang semua warga untuk musyawarah,” katanya.
Ia berkata, menabuh gong tiga kali adalah tanda undangan adat resmi, yang diperkuat oleh undangan langsung lewat dua utusan.
Aparat Sempat Datang
Selepas makan siang usai aksi pada 24 Juni, dua orang aparat berseragam polisi dan satu lagi yang berpakaian sipil mendatangi warga di Ndajang. Dua orang berseragam kepolisian teridentifikasi merupakan Bhabinkamtibmas Desa Lungar dan Desa Mocok.
Sementara salah satunya memasuki rumah warga, dua lainnya berjaga-jaga di halaman.
Warga yang sedang beristirahat dan ibu-ibu yang sedang berada di dapur segera bergabung di ruang tamu, menyambut kehadiran mereka.
“Saya mendapat laporan warga yang disampaikan ke Polres [Manggarai] bahwa di sini ada keributan,” kata aparat itu.
Namun warga membantah hal itu, beramai-ramai merespons bahwa “Itu tidak benar.”
Di hadapan aparat, Tua Gendang Mathias Jingkar menjelaskan kronologi kegiatan hari itu.
“Kami hanya datang untuk jaga wilayah gendang. Kami sudah sepakat, tidak boleh ada kegiatan yang menyangkut geotermal,” katanya.
Ia juga berkata, kehadiran proyek geotermal memperparah situasi warga yang kian memanas akhir-akhir ini.
Ibu lainnya menambahkan, “untuk seterusnya kami tidak akan izinkan program hortikultura di lingko ini.”
Ketika aparat itu menanyakan respon jika kebun itu diolah untuk kepentingan pribadi, warga berkata “tidak akan mempersoalkannya.”
Warga berargumen, sebelumnya mereka tidak pernah membatasi orang untuk bekerja di lahannya.
“Namanya bekerja untuk hidup, tetapi kami akan tolak pekerjaan yang merusak banyak orang,” kata seorang warga.
“Kami tidak mempersoalkan pekerjaan mereka. Kami hanya mau hidup, sebagaimana mereka,“ tambah warga lainnya.
Lahan Dikembalikan Jika untuk Diolah Sendiri
Tua Gendang Mathias Jingkar berkata, pihaknya tidak mempermasalahkan jika lahan itu diolah untuk kepentingan warga sendiri, tanpa libatkan PT PLN.
“Silahkan kalian garap. Kami tidak larang. Tapi kalau ada orang asing, apalagi bawa kepentingan geotermal, kalian akan berhadapan dengan kami,” katanya.
Ia juga berkata, warga tidak membenci kegiatan pertanian atau pengembangan hortikultura, namun mewaspadai agenda terselubung yang hendak dijalankan melalui program-program pemberdayaan.
Apalagi, kata Mathias, program itu muncul bersamaan dengan masifnya upaya pemerintah dan PT PLN mengeksploitasi Poco Leok untuk proyek geotermal.
Tadeus Sukardin menambahkan, untuk sementara Gendang Lungar mengamankan beberapa bidang lahan yang saat ini sedang bermasalah.
“Jadi, gendang sudah putuskan, tanah yang sudah diberikan para penggarap untuk program PLN akan disita dan dikembalikan kepada gendang,” katanya.
Ia menjelaskan, pihak gendang tidak pernah melarang orang untuk menggarap, “asalkan betul-betul untuk kepentingan pribadi dan tidak boleh memboncengi kepentingan pihak lain.”
“Kita tidak pernah cegat mereka dulu. Mereka tanam kopi, jahe, dan lain-lain, tetapi ketika mereka bawa nama PLN, berarti ada maksud lain,” katanya.
Timotius Minggar, salah satu generasi muda Gendang Lungar menyambut baik keputusan gendang karena “akan menjadi pelajaran bagi generasi muda” yang akan mewariskan adab masyarakat setempat.
“Itu bagus sekali supaya kita yang masih muda tahu menghargai gendang dan apapun yang berada di bawah kekuasaannya,” katanya.
“Kita bukan pemilik di sini, kita hanya penggarap,” tambahnya.
Tokoh adat Gendang Lungar lainnya, Aleksander Gehat menambahkan, ini “langkah yang baik untuk menegakkan kembali posisi dan supremasi lembaga gendang atas warganya.”
“Tanah adalah warisan. Tanah lingko bukan milik pribadi. Jadi tidak boleh diserahkan seenaknya saja kepada pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan gendang,” katanya.
Di Tengah Upaya Loloskan Geotermal
Poco Leok, yang mencakup 14 kampung adat di Kecamatan Satar Mese, sedang menjadi sasaran proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011. PLTP itu berlokasi di Desa Wewo, tiga kilometer arah barat Poco Leok.
Proyek Perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Sejumlah titik pengeboran [wellpad] yang direncanakan PT PLN berada di dekat pemukiman dan lahan pertanian warga.
Warga telah berkali-kali menyatakan penolakan dengan beragam cara, mulai dari pengadangan di lapangan, demonstrasi di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, hingga audiensi dan bersurat kepada lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Mereka juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman yang menjadi pendana proyek.
Sejumlah aksi protes warga di lapangan kerap direspons dengan kekerasan oleh aparat keamanan.
Dalam beberapa waktu terakhir, warga juga merespons proyek ini dengan memajang poster dari karung bekas di beberapa titik, yang berisi pernyataan sikap penolakan proyek.
Sementara itu, pemerintah dan PT PLN terus melakukan upaya meloloskan proyek itu. Baru-baru ini pemerintah dan PT PLN melakukan sosialisasi untuk tahap dua, dengan target membuka wellpad baru dan jalan akses ke wellpad tersebut.
Dalam sosialisasi pada 12 Juni di Aula Paroki St. Arnoldus Janssen Ponggeok untuk penetapan lokasi tahap dua itu yang dihadiri warga Desa Wewo dan Ponggeok, warga mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan, mengklaim tidak mendapat manfaat yang signifikan dari kehadiran PLTP Ulumbu.
Mereka menyebut realisasi sejumlah janji PT PLN sejak tiga dekade lalu itu nol, termasuk soal penyerapan tenaga kerja dan memberi beasiswa terhadap warga.
Petrus Mada Ragat, warga Desa Wewo berkata, “kami tidak pernah menolak pembangunan sepanjang membawa dampak positif bagi masyarakat,” namun selama ini kehadiran PLTP Ulumbu tidak memberikan dampak yang signifikan.
Ia mengingat ketika pertama kali disosialisasikan pada 1990, PT PLN mengklaim PLTP Ulumbu “akan membawa keberuntungan bagi warga” dan “akan mengurangi angka pengangguran di Desa Wewo.”
“Tapi, buktinya, sekarang yang bekerja di sana adalah orang dari luar yang berasal dari Ende, Kupang, Bima, dan Jawa. Kami hanya jadi penonton,” katanya di hadapan pemerintah dan perwakilan PT PLN.
Petrus, yang pernah menjabat Kepala Desa Wewo periode 2016-2022, juga mengaku pernah menyampaikan ke PLN agar “membantu anak-anak kami untuk mendapatkan beasiswa.”
Merespons hal itu, kata dia, PLN memintanya menulis semua nama para pelajar di desanya.
Waktu itu Petrus mengusulkan nama 565 anak calon penerima beasiswa, namun “sampai detik ini, nol, tidak ada sama sekali yang dapat beasiswa,” katanya.
TS, inisial warga yang meminta Floresa tak menyebut namanya bercerita empat orang anaknya memilih merantau ke Kalimantan karena tak ada lagi lapangan kerja di desanya.
Mirisnya, kata dia, anak-anaknya justru merantau setelah PLTP Ulumbu mulai beroperasi.
Warga yang bekerja di sana, kata dia, umumnya merupakan “orang-orang yang punya kedekatan dengan PLN.”
“Ini berarti penyerapan tenaga kerja yang dijanjikan PLN tidak terbukti. Kalau benar ada penyerapan tenaga kerja, tidak mungkin anak-anak saya cari kerja di tempat lain,” katanya.
Bondan Gustaman, Manajer Perizinan dan Komunikasi PT PLN [Persero] UIP Nusra, merespons protes warga, dengan berkata proses penyerapan tenaga kerja tidak lagi berbasis pada klaim sebelumnya saat melakukan sosialisasi PLTP Ulumbu tahap satu.
Perekrutan tenaga kerja untuk selanjutnya, kata dia, akan disesuaikan dengan keahlian di bidangnya.
“Untuk program beasiswa, kami akan mengusulkannya ke PLN pusat,” katanya.
Sementara sejumlah janji usai kehadiran PLTP Ulumbu itu diingkari, kini PT PLN melakukan sejumlah program pemberdayaan, di tengah upaya perluasan ke Poco Leok. Selain mengembangkan kebun holtikultura, PT PLN juga melakukan sejumlah program lainnya, seperti pembagian anakan babi kepada kelompok warga tertentu.
Laporan ini dikerjakan oleh Komunitas Pemuda Poco Leok bersama Tim Floresa
Editor: Ryan Dagur