Komnas Perempuan Janji Bantu Warga Poco Leok yang Sedang Persoalkan  Proyek Geothermal

Perempuan Poco Leok berharap Komnas Perempuan mengunjungi mereka.

Baca Juga

Floresa.co – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menyatakan mendukung perjuangan warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tengah menghadapi konflik dengan proyek geothermal, salah satu dari proyek strategis nasional.

Hal tersebut disampaikan Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan, dalam audiensi bersama perwakilan kaum perempuan Poco Leok, Kamis, 24 Agustus.

Sebagai lembaga nasional yang mengurus persoalan hak asasi manusia, Komnas Perempuan, kata dia,  “sangat memberikan perhatian” terhadap persoalan yang dihadapi kaum perempuan yang menjadi korban pembangunan.

Audiensi tersebut merupakan tindak lanjut dari pengaduan warga Poco Leok pasca kejadian intimidasi dan tindak kekerasan aparat keamanan saat aktivitas pengadaan lahan untuk proyek itu pada bulan Juni.

Dalam pertemuan yang diadakan secara hybrid itu, tiga belas orang wakil perempuan Poco Leok hadir melalui sambungan aplikasi Zoom dari Rumah Baca Aksara di Ruteng.

Sementara itu, tiga orang pendamping warga, yakni Wiwin Andilolo dari Jaringan Advokasi Tambang [JATAM], Kristianus Jaret dan Hendry Arthur dari organisasi mahasiswa Serikat Pemuda NTT hadir secara langsung di ruang sidang Komnas Perempuan di Jakarta.

Perempuan Poco Leok berkumpul di Rumah Baca Aksara Ruteng saat audiensi virtual dengan Komnas Perempuan pada Kamis, 24 Agustus 2023. (Dokumentasi Floresa)

Cerita Perempuan Poco Leok

Pertemuan  diawali dengan penyampaian kronologi upaya warga Poco Leok melakukan penolakan proyek geothermal, termasuk kasus-kasus intimidasi dan kekerasan aparat dalam beberapa kali aktivitas pemerintah dan perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PL]  di lapangan.

Maria Suryanti Jun, perempuan asal Kampung Mocok mempersoalkan pendekatan PT PLN yang sejak awal tidak menghargai kesatuan adat warga Poco Leok, sebab melakukan aktivitas di lahan ulayat tanpa sepengetahuan Gendang atau Komunitas Kampung Adat.

“Masyarakat tidak tahu, lalu warga tanyakan mereka datang apa. Katanya datang penelitian, membawa alat-alat kamera udara, dan orang kampung tidak tahu itu,” ungkapnya.

Selain survei lokasi titik pengeboran melalui foto udara menggunakan drone, kata dia, tim tersebut juga melanjutkan aktivitas pembuatan tugu bertulis PLTP “untuk penangkapan satelit” dalam lahan ulayat, dekat rumah dan kuburan warga tanpa persetujuan komunitas adat.

Maria Suryanti Jun. (Dokumentasi Floresa)

“Orang kampung tidak tahu, akhirnya lepas saja mereka kerjakan itu. Mereka masuk kebun, gali tanah dan lubang,” lanjutnya.

Maria Teme, perempuan asal Lungar mengatakan proyek geothermal di Poco Leok akan melukai tanah yang secara adat dianggap warga sebagai ibu kandung mereka.

Tanah ini ibu kami, siapa yang tidak marah kalau ibunya dilukai orang?” katanya dalam bahasa daerah Manggarai.

Arti penting tanah, kata dia, menjadi alasan utama para perempuan melakukan penolakan, sebab dari tanah tersebut mereka menghidupi keluarga dengan berkebun, hingga bisa menyekolahkan anak-anak sampai ke perguruan tinggi.

Maria Teme. (Dokumentasi Floresa)

“Hidup kami sehari-hari dari mengais tanah, tanam jagung, padi, ubi, iris tuak dari pohon aren, untuk sekolahkan anak,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Korida Jehanut, yang mempersoalkan penjualan dan sertifikasi tanah ulayat milik Gendang kepada pihak PT PLN.

Ia mengatakan, hal itu menyalahi hukum adat tentang status kepemilikan tanah ulayat oleh keseluruhan komunitas Gendang, bukan secara perorangan.

Sementara itu, Elisabeth Lahus, perempuan lainnya dari Lungar menyampaikan pengalaman yang menjadi korban tindak kekerasan aparat polisi dan Pol PP Kabupaten Manggarai dalam aksi penghadangan terhadap tim PT PLN dan Badan Pertanahan [ATR/BPN] pada 20 Juni..

“Mereka [aparat keamanan] bukannya turun untuk mengamankan, tetapi justeru menginjak-injak kami, melabrak, mendorong, dan menyiram saya dengan air,” ungkapnya.

Ia mengatakan, kekerasan tersebut dilakukan polisi setelah mereka mengatakan menolak pematokan lahan di tanah ulayat karena “takut kehilangan sumber air bersih” akibat pengeboran geothermal.

“Kekerasan tersebut ngeri sekali. Ibu Bibiana sampai pingsan, dan Bapak Kampi dirawat di rumah sakit,” ceritanya, tentang dua warga korban kekerasan.

Ia juga menyampaikan terkait aksi demonstrasi warga di Ruteng pada 9 Agustus, di mana warga menuntut Bupati Manggarai Herybertus G. Nabit untuk mencabut SK Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok, yang dikeluarkan pada 1 Desember 2022.

“Waktu itu, Wakil Bupati [Heribertus Ngabut] berjanji untuk mencabut lambang burung garuda di dadanya jika masih ada aktivitas perusahaan di Poco Leok, tetapi setelah itu tetap saja mereka turun ke lokasi,” ungkapnya.

Elisabeth Lahus. (Dokumentasi Floresa)

Elisabeth pun meminta Komnas Perempuan untuk mengadakan kunjungan lapangan, “untuk melihat dengan mata sendiri kerawanan di Poco Leok”.

“Kami minta Bapak dan Ibu untuk turun ke Poco Leok dan melihat langsung situasi di sana,” ungkapnya.

Hal tersebut, kata dia, mendesak karena kehadiran aparat keamanan yang sangat mengganggu kenyamanan warga.

“Kami mengira polisi datang mengamankan, tapi ternyata datang menginjak-injak kami,” lanjutnya.

Ia juga mengajukan pertanyaan tentang apakah warga memiliki hak untuk melawan proyek strategis nasional yang diadakan oleh pemerintah.

Komitmen Komnas Perempuan

Merespons cerita warga, Bahrul dari Komnas Perempuan mengatakan, ia mengidentifikasi setidaknya tiga bentuk kekerasan yang dialami warga, yakni kekerasan fisik seperti didorong oleh aparat hingga ada yang dirawat di rumah sakit, kekerasan seksual di mana aparat menyentuh organ kewanitaan warga, dan kekerasan atau teror psikologis akibat “penurunan aparat untuk mengawal pekerja dan pejabat” dan adanya “mondar-mandir pegawai tak dikenal di kebun warga.” 

Ia mengatakan, pada prinsipnya  “warga memiliki hak atas hayat hidupnya”, dan karena itu pemerintah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi jika melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga yang berupaya menjaga keselamatan hidupnya.

“Ini bukan soal melawan atau tidak, ini soal warga menyampaikan haknya, karena ini adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi atau undang-undang”, ungkapnya.

Ia juga menekankan bahwa Komnas Perempuan “sangat memberikan perhatian terkait dengan bagaimana para perempuan yang jadi korban pembangunan, alih fungsi lahan adat untuk menjadi proyek strategis nasional, agar hak-haknya terpenuhi, dan terlindungi dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat.”

“Dalam perspektif Komnas Perempuan, pembangunan harus memberikan dampak kesejahteraan terhadap warga di sekitarnya, tidak boleh merugikan atau memberikan dampak negatif,” lanjutnya.

Di akhir pertemuan, Bahrul mengatakan berjanji untuk “mendiskusikan persoalan warga Poco Leok dengan empat belas komisioner lainnya” di Komnas Perempuan. 

Terkait permintaan untuk turun ke lapangan, kata dia, keputusan tersebut tidak dapat diambil tanpa kesepakatan dengan para komisioner lain di lembaga tersebut.

“Kami terus mendukung perjuangan mama-mama, kakak-kakak di sana untuk terus berjuang dalam mempertahankan haknya, dan kami akan terus memantau perkembangan situasi di sana. Silahkan jika ada hal yang baru, bisa disampaikan kepada tim kami,” pungkasnya.

Proyek geothermal Poco Leok, bagian dari proyek strategis nasional, adalah pengembangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi Ulumbu, 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak tahun 2012.

Geothermal Poco Leok ditargetkan pemerintah akan menghasilkan energi listrik 2 x 20 MW, meningkat dari 10 MW di PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi saat ini.

Namun, warga setempat terus melakukan upaya perlawanan.

Selain mengirim surat kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KwF], untuk menghentikan pendanaan proyek itu, mereka juga menulis surat kepada pihak pemerintah dan ATR/BPN Manggarai, juga berbagai aksi pengadangan terhadap aktivitas perusahaan di lokasi-lokasi pengeboran geothermal dan unjuk rasa di berbagai lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.

Pada 17 Agustus, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78, warga Poco Leok mengadakan upacara bertajuk ‘Merdeka Tanpa Geothermal,” di mana mereka tetap menegaskan penolakan terhadap proyek itu.

Selain Poco Leok, beberapa tempat di Flores juga menjadi sasaran proyek geothermal sejak penetapan pulau tersebut sebagai Pulau Geothermal pada 2017, seperti di Wae Sano,  Kabupaten Manggarai Barat dan di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Di lokasi-lokasi ini, warga juga menolak karena titik-titik pengeboran yang berada di dalam ruang hidup mereka, seperti di dekat pemukiman dan lahan pertanian.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini