Kasus Rabies di NTT: Korban Terus Berjatuhan, Penanganan Masih Morat-marit

Selain tingkat vaksinasi yang masih rendah, penanganan pasca-insiden masih buruk. Diperlukan langkah gegas semua pihak.

Floresa.co – “Saya sudah lupa semuanya,” kata-kata pertama Getrudis saat berusaha menceritakan tentang anak bungsunya yang empat bulan lalu meninggal karena virus rabies.

Ia jeda sejenak, sebelum melanjutkan, “Kalau saya ingat…”

Getrudis tiba-tiba terdiam. Air mata langsung mengalir di pipinya. Ia memutuskan tidak mau melanjutkan cerita.

Floresa menemui Getrudis di rumahnya di Kampung Lurut-Tilir, Desa Benteng Riwu, Manggarai Timur, NTT pada Kamis, 27 Juli.

Ia tengah sibuk merapikan tanaman yang menjadi pagar di depan rumahnya.

Seorang ibu, tetangganya, memberi tahu Floresa bahwa Getrudis memang berubah drastis selama beberapa bulan ini.

“Dia sepertinya sudah tidak betah di dalam rumah. Dia sekarang lebih sibuk dengan pekerjaan di luar rumah,” katanya.

“Padahal, dulu dia jarang keluar rumah karena sibuk urus mertuanya yang sudah tua.”

Getrudis, kata dia, tidak lagi seceria dulu. Ia lebih sering terlihat murung dan menangis.

“Kami sangat prihatin dengan kondisinya. Tetapi, kami juga tidak tahu harus berbuat apa,” katanya.

Meninggal Terinfeksi Rabies

Grace, putri Getrudis meninggal pada 19 April karena terinfeksi rabies, virus mematikan yang menyebar ke manusia dari air liur hewan yang terinfeksi, seperti anjing.

Nyawanya tidak bisa tertolong, diduga akibat kurangnya pemahaman keluarga tentang penyakit tersebut dan minimnya penanganan medis.

Gadis kecil kelas IV Sekolah Dasar itu digigit anjing pada Rabu, 8 Maret, saat ia tengah bermain di rumah teman sekampungnya.

“Saat dia sementara jalan, tiba-tiba anjing peliharaan keluarga temannya melompat dan menggigit lehernya,” cerita Aloysius Kasman, paman Grace, yang sempat ikut memberi pertolongan pertama.

“Waktu itu, saya langsung cuci lukanya pakai air hangat dengan detergen,” kata Loys, sapaannya.

“Belakangan baru kami tahu ternyata harus dicuci di air mengalir.”

Loys mengatakan, beberapa jam setelah luka gigitan anjing itu dibersihkan, keluarga membawa Grace ke Puskesmas Tilir.

“Petugas kesehatan tidak menyuntik vaksin anti-rabies. Alasan mereka waktu itu karena tidak ada stok,” katanya.

“Petugas hanya bersihkan lukanya dengan alkohol.”

Menurut petugas medis, kata dia, “gigitan anjing itu tidak apa-apa,” hal yang kemudian membuat keluarga “tidak mencari vaksin di Puskesmas lain atau rumah sakit.”

“Tiga kali saya tanya, bagaimana dengan Grace ini, jawabannya tetap sama, ‘tidak apa-apa,’” katanya.

Selama sekitar sebulan setelah kasus gigitan itu, Grace terlihat biasa-biasa saja. Ia tetap ke sekolah dan bermain bersama teman-temannya.

Namun, situasi berubah ketika pada 18 April ia mengalami demam. Grace tidak mau minum air dan menghindari cahaya matahari.

Ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Ben Mboi Ruteng di Kabupaten Manggarai, berjarak sekitar 60 kilometer arah barat Tilir.

Grace dibawa menggunakan sepeda motor menuju rumah sakit itu.

“Di atas motor, dia berontak terus,” ujar Loys.

Hasil pemeriksaan di rumah sakit, Grace positif terinfeksi rabies. Nyawanya tidak tertolong. Ia meninggal keesokan harinya.

Floresa sudah berupaya mengonfirmasi Kepala Puskesmas Tilir, Martinus Jamun dan dr. Surip Tintin, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur terkait kasus Grace.

Pesan konfirmasi yang dikirim kepada keduanya melalui aplikasi WhatsApp sudah dibaca, tetapi tidak ditanggapi.

Kasus Jamak

Grace bukan satu-satunya korban meninggal tahun ini di NTT karena rabies, penyakit dengan gejala umum seperti demam, sakit kepala, kelebihan air liur, kejang otot, kelumpuhan, dan kebingungan mental.

Pada 25 Mei, seorang anak usia delapan tahun asal Desa Poco Ri’i, tetangga desa Grace, juga meninggal karena rabies di RSUD Borong, Manggarai Timur.

Anak perempuan itu digigit anjing peliharaan keluarganya pada 10 Mei. Keluarga tidak langsung membawanya ke fasilitas kesehatan. Ia baru dibawa ke rumah sakit setelah keluar busa dari mulutnya.

Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Sikka pada 27 Juli.

Korban merupakan seorang anak perempuan berusia enam tahun. Ia mengembuskan napas terakhirnya di RSUD Tc. Hillers Maumere sekitar pukul 05.12 Wita.

Korban digigit anjing peliharaan keluarganya pada Juni.

“Karena [anjingnya] jinak, makanya adik sering gendong. Mungkin karena gemas pada anjing kecil, dia peluk terlalu kuat sehingga anjing kesakitan dan gigit di paha dan wajahnya,” kata Servasius Yosbin, kakak korban.

Ia mengatakan setelah gigitan itu, keluarga hanya melakukan pertolongan pertama dengan mencuci luka di air mengalir menggunakan sabun selama 15 menit.

“Waktu itu motor saya rusak jadi tidak sempat antar ke Puskesmas,” katanya kepada Floresa.

Keluarga baru mengantar korban ke Puskesmas untuk mendapatkan vaksin pada 21 Juli setelah mendengar kabar bahwa ada yang meninggal karena rabies di desa tetangga.

Namun, pada Rabu, 26 Juli 2023, korban mengalami demam, gelisah, dan nyeri ketika minum air. Korban juga sempat mengalami muntah-muntah.

Keluarga kembali mengantar korban ke Puskesmas dan kemudian dirujuk ke RSUD Tc. Hillers Maumere.

Korban dinyatakan positif terinfeksi rabies dan meninggal keesokan harinya.

Data yang dihimpun Floresa, sejak Januari hingga Juli tahun ini, total 13 warga NTT meninggal karena rabies.

Korban terbanyak, 6 orang, di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS], disusul Sikka 3 orang, Ende dan Manggarai Timur masing-masing 2 orang.

Nyaris semua korban meninggal itu adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Jumlah ini meningkat dari 9 kematian yang tercatat selama 2022.

Pengendalian Belum Maksimal

Secara nasional, kasus gigitan anjing rabies dan korban tewas terus mengalami peningkatan. Tahun 2022, jumlah penularan rabies mencapai 104.229 kasus dengan 102 kematian, naik dari 57.257 kasus dengan 62 kematian pada 2021. 

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, sepanjang Januari-April 2023 terdapat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies.

Dari jumlah itu, 3.437 kasus gigitan terjadi NTT, yang menempatkannya sebagai provinsi dengan jumlah kasus gigitan terbesar kedua setelah Bali.

Hingga Juni, jumlah kasus gigitan di NTT tercatat 5.940 kasus atau meningkat hampir dua kali lipat, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi NTT. 

Kendati kasus gigitan terus meningkat, vaksinasi dan penertiban hewan penular rabies seperti anjing belum maksimal.

Di Kabupaten Manggarai Timur, masih ada wilayah atau desa yang sudah terkonfirmasi ada kasus positif rabies, tetapi hingga kini belum dilakukan vaksinasi dan penertiban hewan penular rabies.

Pantauan Floresa, anjing tampak masih berkeliaran bebas di Borong, ibu kota Manggarai Timur, kendati dua kelurahan di wilayah kota itu terkonfirmasi memiliki kasus positif rabies.

Menurut kesaksian warga, banyak di antara anjing yang berkeliaran itu belum divaksin.

Beberapa ekor anjing berkerliaran di Desa Gurung Liwut, wilayah kota Borong. (Dokumentasi Floresa)

Rofinus Gurundu, Kepala Bidang Pengendalian Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Manggarai Timur mengatakan sejauh ini, pihaknya baru melakukan vaksinasi hewan penular rabies di dua desa yang memiliki kasus meninggal karena rabies dan tujuh desa sekitarnya.

Total anjing yang divaksin, kata dia, 1.900 ekor. Jumlah tersebut jauh dari total populasi anjing yang terdata oleh Dinas Peternakan yakni sebanyak 48.364 ekor.

“Vaksinasi hanya dilakukan pada ternak anjing yang sudah ditertibkan, artinya sudah diikat atau dikandangkan,” katanya kepada Floresa, sembari menambahkan bahwa pengadaan vaksin dan penyelenggaraan vaksinasi tersebut menggunakan dana Bantuan Tidak Terduga [BTT].

Sedangkan di beberapa desa dan kelurahan lain yang juga ada kasus positif rabies termasuk di kota Borong, kata dia, pihaknya belum melakukan vaksinasi karena belum mengusulkan anggaran dan keterbatasan stok vaksin.

“Di kelurahan Pota, Ranaloba dan Kota Ndora yang juga ada kasus gigitan, spesimen otak anjingnya sudah kami ambil dan kirim ke Balai Besar Veteriner [BBVet] Denpasar dan hasilnya positif,” ujarnya.

“Artinya sudah ada indikasi rabies,” tambahnya.

Ia mengatakan, “ke depan kami mencoba [mengusulkan] lagi, apakah bisa dana BTT ini kita tambah lagi, supaya bisa lakukan vaksinasi di desa atau kelurahan yang positif itu.”

Keluhan keterbatasan stok vaksin untuk hewan penular rabies juga diutarakan oleh Abidin, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Manggarai Barat.

“Posisi per hari ini, stok vaksin sudah berkurang,” katanya pada 26 Juli.

“Sehingga langkah kami,” katanya, “minta tambahan anggaran ke daerah untuk belanja vaksin dan operasional petugas.”

Untuk belanja vaksin tersebut, kata dia, biasanya memakai dana APBD tingkat dua di level kabupaten.

“Kemarin-kemarin ada bantuan dari APBD 1 [provinsi], tetapi sampai sekarang, jatah kami belum dikirim. Informasinya kami dapat 1.000 dosis vaksin,” ujarnya.

Abidin mengatakan, saat ini, ada dua kecamatan di kabupaten itu yang sudah dinyatakan sebagai wilayah positif rabies, yakni Kecamatan Komodo dan Kecamatan Lembor Selatan.

“Kasus gigitan yang kami data sebanyak 410. Sedangkan dari sampel yang dikirim ke Balai Besar Veteriner Denpasar dari kasus gigitan ini, yang positif sebanyak lima kasus,” katanya.

“[Untuk] penanganan yang kami lakukan, saya menginstruksikan ke petugas saya supaya Kecamatan Komodo ini terlayani vaksin semua,” ujarnya.

Pihaknya, kata dia, memprioritaskan vaksinasi di Kecamatan Komodo, karena merupakan pusat pariwisata di NTT.

“Kalau menyebar informasi rabies ini, pasti mengganggu pariwisata,” ujarnya.

Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan lain, katanya, kita tetap lakukan vaksin pada anjing, dan saat ini sudah 68,53 persen atau 7.985 dari total populasi anjing di Manggarai Barat yang sudah divaksin.

“Kalau ikut trend standar untuk mencapai kekebalan kelompok, pencapaian vaksin itu harus 70 persen dari total populasi hewan penular rabies. Kita tinggal sedikit lagi,” katanya.

Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Peternakan Provinsi NTT, tidak menampik soal kekurangan stok vaksin hewan penular rabies di NTT.

Selama 26 tahun endemi rabies, “kekebalan kelompok tak pernah terbentuk di NTT,” kata Melky kepada Floresa.

Padahal, kata dia, kekebalan kelompok [herd immunity] terjadi ketika mayoritas populasi mampu mengembangkan kekebalan terhadap penyakit menular. Kekebalan kelompok dapat mengurangi kemungkinan penularan suatu penyakit antarmanusia.

Sejumlah ahli epidemiologi meyakini kekebalan kelompok sebesar 70 persen dari total populasi mampu menurunkan kerentanan terhadap penyakit menular tertentu, termasuk rabies, katanya.

Salah satu penyebab sulitnya mencapai 70 persen kekebalan kelompok dalam kasus rabies di NTT, lanjut Melky, “karena masalah kesehatan hewan bukan program prioritas nasional.”

Apalagi, tambahnya, “kesehatan hewan merupakan sub-sektor pertanian.”

Ia menyebutkan setidaknya tiga program prioritas nasional: kesehatan manusia, pendidikan dan infrastruktur.

Tak tercakupnya kesehatan hewan dalam program prioritas nasional memicu “jumlah stok vaksin rabies yang tak berbanding lurus dengan jumlah anjing di Flores dan Lembata.”

Flores dan Lembata merupakan dua pulau endemi rabies di NTT sejak kasusnya pertama kali terdeteksi pada 1997. Menurut Melky, tahun ini pemerintah pusat menyediakan 108.000 stok vaksin rabies untuk kedua pulau tersebut.

Sementara, terdapat sekitar 350.000 ekor anjing yang hidup di sembilan kabupaten di Flores dan Lembata.

Melky mengatakan, tahun ini, rabies juga sudah mewabah di Pulau Timor yang sebelumnya nyaris tak ada kasus.

Deteksi akan kasus-kasus baru rabies di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Timor “diduga kuat merupakan hasil transmisi lewat laut.”

Mungkin sekali “anjing-anjing itu diberangkatkan dari pulau yang dekat dengan Pulau Timor. Kalau bukan Flores, ya, Lembata,” katanya.

Padahal, kata dia, “kami sebetulnya sudah memaksimalkan kontrol di semua pintu, baik darat dan laut.”

Khusus di setiap pelabuhan, “kami memiliki kantor karantina pertanian,” kata Melky.

Keberadaan kantor karantina pertanian di pelabuhan menjadi krusial di NTT lantaran “lalu lintas laut antarpulau sangat tinggi.”

Namun, “tetap saja penumpang kerap membawa anjing ke atas feri.”

Ia mencatat anjing-anjing berpindah antarpulau melalui laut, setelah sebelumnya diberi obat mabuk perjalanan. Ditaruh di dalam kardus-kardus berlabel mi instan.

Abidin mengatakan, kendala lain yang membuat kekebalan kelompok sulit tercapai adalah faktor pemahaman masyarakat.

Banyak masyarakat tidak mau anjing peliharaan mereka divaksin dengan “alasan bermacam-macam.”

“[Alasan] tidak bisa dipegang. Bahkan ada pemilik yang sembunyikan anjingnya,” kata Abidin.

Masyarakat beranggapan bahwa vaksinasi “membunuh anjing.”

“[Padahal] sebenarnya dengan vaksin, bisa mengatasi kejadian-kejadian rabies itu,”

Alasan lain, kata dia, masyarakat tidak mau anjing divaksin karena untuk urusan adat.

Beberapa ekor anjing sedang bermain-main di halaman kampung Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, NTT. (Dokumentasi Floresa)

Semua Pihak Harus Turun Tangan

Imran Pambudi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan [Kemenkes] mengatakan cakupan wilayah endemis rabies di NTT semakin meluas.

Pulau Timor yang dulunya masih bebas rabies, kata dia, kini sudah menjadi endemis rabies.

Kemenkes menetapkan dua kabupaten di NTT, masing-masing Sikka di Pulau Flores dan Timor Tengah Selatan di Timor berstatus daerah dengan kejadian luar biasa [KLB] rabies.

Kini, kata dia, hanya Pulau Sumba yang masih bebas rabies.

“Jadi, di sini perlu adanya pembatasan lalu lintas hewan. Karena bagaimana ceritanya dulu enggak ada hewan yang rabies di Pulau Timor, tetapi sekarang ada? Berarti kan ada yang memasukkan itu. Ya, mungkin dari Flores, bisa dari Bali,” ujar Imran kepada Floresa pada 25 Juli.

Dengan kondisi penyebaran rabies yang meluas ini, Imran mengatakan semua pihak di NTT mesti turun tangan.

Dari sisi kesehatan hewan, kata dia, tentu saja menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian [Kementan] dan dinas terkait di daerah.

Sementara dari sisi kesehatan manusia, jelas Imran, Kemenkes dan dinas kesehatan di daerah juga harus memastikan masyarakat di NTT tahu tanda-tanda hewan yang terinfeksi rabies.

“Kemudian, bagaimana cara penanganannya. Itu penting dilakukan,” ujarnya.

Imran mengatakan Kemenkes selalu menganggarkan dana untuk pengadaan vaksin setiap tahun. Tetapi, menurut dia, yang paling penting adalah pencegahan dari sisi kesehatan hewan yang dialokasikan Kementan.

“Karena kalau kita [Kemenkes], disediakan berapa pun [vaksin] kalau anjing menggigitnya banyak, ya habis terus. Jadi memang harusnya yang menganggarkan lebih stabil, dari sisi sektor hewannya,” ujarnya.

Dari sisi kesehatan manusia, Imran mengatakan, apabila terjadi gigitan oleh hewan penular rabies, segeralah mendatangi fasilitas kesehatan terdekat.

Ia mengakui tidak semua Puskesmas menyediakan vaksin. Biasanya, bila di suatu Puskesmas tidak tersedia vaksin, maka akan dirujuk ke Puskesmas terdekat lainnya.

“Kalau semua ada, kemudian nanti ternyata tidak ada kasus, kan terbuang percuma,” ujarnya.

Tetapi Imran juga mengingatkan bahwa suntikan vaksin tidak mempan apabila pasien juga terlambat mendatangi fasilitas kesehatan.

Itulah yang menyebabkan masih ada kasus kematian, seperti yang terjadi di Manggarai Timur.

Imran mengatakan kasus kematian terjadi bukan karena tak ditangani oleh pihak Puskesmas.

“Jadi, datangnya sudah dalam kondisi korbannya itu sudah ada gejala, seperti aerofobia, hidrofobia dan fotofobia. Kalau sudah kayak gitu, sudah divaksin pun enggak akan bisa, karena dia sudah menyerang ke otak,” katanya.

Rosis Adir, Ika Anastasia, Maria Margaretha Holo dan Jefry Dain berkolaborasi mengerjakan laporan ini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini