BerandaREPORTASEMENDALAMPengukuran Lahan Proyek Geothermal...

Pengukuran Lahan Proyek Geothermal Poco Leok, Flores Dikawal Ketat Aparat, Protes Warga Direspons dengan Represi

Aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP Kabupaten Manggarai diduga melakukan kekerasan fisik saat menghadapi aksi penghadangan oleh warga yang menolak proyek geothermal Poco Leok

Floresa.co – Ketegangan kembali terjadi di sekitar wilayah Lingko Tanggong, lahan ulayat milik warga Kampung Lungar, Poco Leok sejak Selasa, 20 Juni 2023.

Puluhan warga adat dari Kampung Lungar, Tere, Rebak, Racang, Mucu, dan Cako menghadang petugas PT Perusahaan Listrik Negara [PLN], Badan Pertanahan Nasional [BPN], juga kelompok warga pro proyek geothermal yang hendak melakukan pematokan lahan di tanah ulayat tersebut, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai salah satu titik pengeboran yaitu well pad D.

Pantauan Floresa di lapangan, puluhan warga sudah berkumpul di Meter, jalan masuk menuju Lingko Tanggong pada pukul 08.00 Wita  untuk menghadang aktivitas pematokan dan pemasangan pilar di atas lahan ulayat tersebut, juga agar petugas PLN, BPN, dan warga pro yang dimobilisasi dari luar Poco Leok tidak masuk ke lokasi melalui lahan milik mereka.

Warga tersebut kemudian terlibat bentrokan dengan aparat di sekitar lokasi, yang menurut mereka sudah menyalahi prinsip bahwa aktivitas apapun yang berkaitan dengan lingko harus melalui kesepakatan komunitas adat di Mbaru Gendang (rumah adat).

Dalam bentrokan fisik tersebut, tercatat ada empat orang warga perempuan dan lima orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan.

Seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh polisi.

“Kami menghadang mereka supaya tidak lewat di lahan kami ketika hendak mematok lahan untuk geothermal, tetapi kami didorong sampai terjatuh,” ungkap Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar.

“Mereka [polisi] bahkan membantu perusahaan tanam pilar di wilayah lingko dan kami merasa itu adalah pengkhianatan aparat terhadap warga,” tambahnya.

Setelah kejadian itu, Lahus kemudian sempat menggelar aksi protes dengan melepaskan pakaiannya, lalu menutup dadanya dengan jaket.

Ia lalu tampil di bagian depan, menghadang aparat polisi, TNI, dan Pol PP.

Mama Elisabeth Lahus terpaksa melakukan aksi protes dengan telanjang dada untuk menghentikan proses pengukuran lahan untuk proyek geothermal Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

“Kami mau tunjukkan bahwa polisi sudah keterlaluan,” ungkap Wihelmina Sesam, perempuan yang bersama Lahus menjadi korban kekerasan aparat.

Tindakan represif aparat tersebut juga terjadi pada Rabu, 21 Juni, yang menyebabkan belasan warga mengalami sakit fisik, hingga dua orang pingsan dan dilarikan ke Puskesmas Ponggeok, Kecamatan Satar Mese, empat kilometer sebelah barat Poco Leok.

Ponsianus Nogol, warga Gendang Tere, mengatakan, “hari ini kami saksikan sendiri bahwa bukan hanya PLN yang bekerja memasang pilar, tetapi justeru polisi yang paling banyak berperan.”

Pada Rabu pukul 14.00 Wita, Ponsi bersama warga lainnya ikut mengadang mobil polisi yang hendak masuk ke Lingko Tanggong, membawa pilar-pilar yang akan dipasang di sana.

Korida Jehanut, perempuan asal Lungar, mengatakan bahwa polisi yang seharusnya mengamankan situasi malah membiarkan saudara-saudari mereka mengalami kekerasan, juga memfasilitasi pemasangan pilar di lahan ulayat.

Ponsianus mengatakan protes warga tidak hanya bertujuan melarang mereka masuk melalui lahan milik penolak proyek, tetapi juga secara lebih serius berkaitan dengan martabat “Gendang’n one, Lingko’n peang” [keterhubungan antara rumah adat dan tanah ulayat].

Seorang warga memperlihatkan luka di kakinya akibat aksi represif aparat saat menolak pengukuran lahan untuk proyek geothermal Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

“Kalau ada aktivitas di lingko, harus sepengetahuan gendang sebagai komunitas adat, tidak bisa secara sendiri-sendiri”, katanya.

Sementara itu, Paulina Imbut, perempuan asal Kampung Rebak mengatakan, pengerahan aparat keamanan sejak bulan Februari lalu ke wilayah mereka menyebabkan mereka merasa tidak aman, bahkan tidak lagi punya waktu bekerja seperti biasa sebagai petani.

“Kami sudah lupa jadi petani,” katanya. “Setiap kali mau ke kebun, muncul informasi mereka [aparat] akan datang, batal lagi rencana kami bekerja, kami sungguh dijajah.”

PMKRI Kecam Aksi Represif Aparat

Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap warga Poco Leok.

Marsianus Gampu dari bagian gerakan kemasyarakatan PMKRI Ruteng menyatakan, kehadiran aparat keamanan seharusnya menjadi mediator antara pihak yang pro dan kontra proyek itu, “bukan hadir untuk mendukung salah satu pihak yang berpotensi akan menimbulkan konflik baru.”

Sementara itu, Laurensius Lasa, Ketua Presidium PMKRI Ruteng menyoroti SK penetapan lokasi proyek yang diterbitkan oleh Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit.

“Masyarakat yang tolak rencana pengembangan geotermal di Poco Leok menjadi korban atas kebijakan Bupati Manggarai yang tidak memperhatikan kondisi di akar rumput sehingga dengan prematur mengeluarkan SK penetapan lokasi itu,” katanya dalam pernyataan kepada Floresa.

Beberapa perempuan terlibat dalam perdebatan dengan seorang polisi yang mengawal proses pengukuran lahan proyek geothermal Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

Pemerintah Manggarai hari ini, kata dia, “dengan bahagianya melihat masyarakat adat Poco Leok berdarah-darah memperjuangkan kehidupannya sendiri.”

Laurensius Lasa menduga bahwa Pemerintah Kabupaten Manggarai “dengan sengaja menyuruh aparat keamanan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga Poco Leok untuk menyukseskan merencanakan pengembangan geotermal ulumbu di Poco Leok.”

Kepala BPN Manggarai: Ini PSN, Tak Bisa Ditunda Lagi

Sementara itu, Siswo Haryono, Kepala BPN Cabang Kabupaten Manggarai mengatakan, proses pengukuran tanah ini adalah tahapan lanjutan untuk pengerjaan proyek geothermal Poco Leok.

Ia mengatakan ini merupakan Proyek Strategis Nasional [PSN] yang tetap harus jalan meski ada aksi protes.

Proyek ini, yang termuat dalam klaster Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, adalah bagian dari upaya pemerintah memprioritaskan penggunaan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan  sebesar 51 persen.

“[Proyek] ini akan tetap jalan terus karena ini adalah PSN, ndak bisa kami tunggu sampai masalah selesai,” katanya, seperti dilansir Krebadia.com.

Ia mengatakan, “bola ada pada kami” dan “saya selaku kepala BPN yang juga ketua pelaksana tahap tiga punya tanggung jawab agar tahapan ini bisa berialan lancar.”

Ia menjelaskan, pada tahan tiga ini BPN melakukan pengukuran dan mengumumkan data yang ada dalam penentuan lokasi, apa saja yang ada di sana, baik itu tanaman maupun rumah dan lain-lain.

Alasan Penolakan

Proyek geothermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Ini merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu  yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik.

Proyek di Poco Leok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2×20 MW.

Dalam beberapa hari terakhir, PT PLN mengintensifkan upayanya menggolkan proyek itu, termasuk dengan memberikan bantuan babi kepada keluarga-keluarga di Lungar.

Sementara itu,  berita-berita terkait dukungan terhadap proyek itu, termasuk dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, dipublikasi secara serentak dengan narasi sama di berbagai media lokal dan nasional.

Di sisi lain, sebagian warga Poco Leok terus melakukan aksi protes terhadap proyek ini.

Mereka bahkan telah mendatangi lokasi proyek geothermal yang gagal di Mataloko, Kabupaten Ngada, dengan melihat lubang bekas pemboran ditinggalkan, sementara lumpur panas meluap sampai 500 meter hingga 1 km dari titik bor, dekat dengan kampung dan merusak sawah, jagung, ubi jalar dan hasil pangan lain milik warga.

Kekhawatiran terhadap dampak proyek itu bagi kehidupan mereka, termasuk lahan pertanian, juga terhadap bencana yang mungkin timbul seperti dalam kasus di Mataloko itu terus menjadi alasan utama penolakan warga Poco Leok.

Warga terus berjaga di lokasi setidaknya selama kurang lebih dua minggu terakhir, sejak 9 Juni.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga