Floresa.co – Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Manggarai merevisi surat edaran yang mewajibkan orang tua murid melampirkan bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai syarat dalam proses penerimaan murid baru.
“Setelah sidang di DPRD kemarin, kita sudah lakukan perubahan surat tersebut,” ujar Kepala Dinas PPO, Wensislaus Sedan kepada Floresa pada 2 Juli.
Perubahan tersebut, tambahnya, sudah didistribusikan ke semua satuan pendidikan di Kabupaten Manggarai.
Wensislaus juga mengirimkan Surat Edaran terbaru yang ditetapkan pada 30 Juni itu, merevisi surat sebelumnya pada 24 Juni.
Edaran terbaru ini menegaskan bahwa Instruksi Bupati Manggarai Nomor 2 Tahun 2025 sebagai rujukan Surat Edaran sebelumnya tentang kewajiban melampirkan bukti pelunasan PBB dalam penerimaan murid baru tidak dimaksudkan untuk membatasi atau menghilangkan hak anak dalam memperoleh pendidikan.
Karena itu, demikian isi edaran terbaru itu, bukti pelunasan PBB-P2 “tetap diminta kepada orang tua atau wali siswa bagi anak-anak yang telah diterima dalam satuan pendidikan.”
“Bagi orang tua/wali siswa yang belum dapat menunjukkan bukti pelunasan PBB P2, akan dibuatkan komitmen antara orang tua/wali siswa dengan kepala satuan pendidikan yang menyatakan kesiapan akan menunjukkan bukti pelunasan PBB P2 pada akhir tahun kalender (Bulan Desember),” tulis Surat Edaran terbaru itu.
Dalam surat itu juga disebutkan bahwa “Kepala Satuan Pendidikan tidak diperkenankan untuk menginformasikan/mempublikasikan kewajiban menunjukkan bukti pelunasan PBB-P2 orang tua/wali siswa yang belum kepada siswa.”
“Komunikasi berkaitan bukti pelunasan hanya antara orang tua/wali siswa dan pihak sekolah,” tulis surat itu.

Dinas PPO juga mewajibkan guru pendamping satuan pendidikan untuk memantau, memastikan serta mengingatkan para kepala satuan pendidikan terhadap pelaksanaan instruksi bupati dan secara berkala melaporkan kepada Wensislaus.
“Pelaksanaan instruksi bupati tersebut merupakan bentuk kerja sama/kolaborasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajiban membayar PBB-P2,” tulis surat edaran yang ditandatangani oleh Yohanes E. A. Ndahur, yang mengatasnamakan Wensislaus.
Surat Edaran sebelumnya hanya terdiri atas dua poin.
Pada poin pertama disebutkan bahwa penerimaan murid baru pada TK, SD dan SMP tahun pelajaran 2025/2026, wajib melampirkan bukti pelunasan PBB-P2.
Sementara poin kedua menyatakan bahwa kewajiban pada poin pertama “merupakan upaya bersama /kolaborasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat” dalam membayar PBB-P2 sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah.”
Ditentang Masyarakat
Sejumlah warga Kabupaten Manggarai di Ruteng, yang diwawancara Floresa menolak kebijakan Dinas PPO itu.
Menurut mereka, pembayaran PBB-P2 memang merupakan kewajiban orang tua, tapi tidak boleh dikaitkan dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan.
“Kami ini masyarakat dengan ekonomi pas-pasan. Kami bayar uang sekolah anak dengan biaya yang cukup tinggi, lalu sekarang pemerintah terapkan aturan ini,” ujar Benediktus Loe (40) kepada Floresa pada 1 Juli.
Pria yang memiliki empat anak yang masih sekolah itu berkata, pendidikan merupakan hak anak.
Karena itu, tak boleh dibatasi oleh pemenuhan kewajiban orang tua untuk membayar pajak.
“Kami memang bayar pajak, tetapi kadang terlambat karena banyak tanggungan, termasuk kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak,” ujar pria yang berprofesi sebagai tukang ojek itu.
Anselmus Anjelo (45), seorang ayah dua anak yang juga berprofesi sebagai tukang ojek menyatakan penolakan terhadap aturan itu yang dibuat tanpa sosialisasi.
“Pemerintah seharusnya tidak serta-merta mengeluarkan aturan tersebut. Kami sangat kaget dengan aturan seperti ini,” katanya.
Anselmus khawatir kebijakan ini membuat anak-anaknya tidak bisa mengenyam pendidikan.
“Jangan sampai karena tunggakan itu anak-anak tidak bisa sekolah,” katanya.

Fransiska Emen (47), seorang ibu dua anak usia sekolah yang tinggal di rumah kontrakan dan bekerja sebagai pedagang bensin eceran juga keberatan dengan aturan tersebut.
“Kalau kami pergi mendaftarkan anak, kami harus pakai surat pajak milik orang lain?”, tanyanya.
Fransiska berkata, pendaftaran anak ke sekolah dengan melampirkan bukti pelunasan pembayaran PBB “sangat menyulitkan kami.”
“Kalau masyarakat tidak setuju dengan aturan tersebut, sebaiknya hapus saja aturan itu. Jangan buat kami tambah susah,” katanya.
Imakulata Nganu (43), seorang ibu dua anak usia sekolah yang bekerja sebagai penjual gorengan di Pasar Inpres Ruteng juga mengaku keberatan.
“Aturan ini sangat memberatkan, apalagi kalau punya banyak tanah, tentu sangat kewalahan untuk melunasi pajaknya,” katanya.
Imakulata berkata, masyarakat Manggarai selain harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga memiliki banyak kewajiban terkait adat.

Imakulata mengatakan pajak memang merupakan kewajiban warga negara, tetapi “jangan dikaitkan dengan pendidikan anak.”
“Penghasilan kami setiap hari tidak cukup (untuk memenuhi kebutuhan), apalagi kami yang modal kecil dan harus pinjam uang koperasi,” katanya.
“Harga barang juga naik terus. Minyak goreng, minyak tanah, tepung, semuanya naik,” tambahnya.
Ia pun mengaku pasrah. “Mau bagaimana lagi? Aturan itu dibuat oleh pemerintah. Kami hanya bisa berdoa agar diberi kesehatan,” katanya.
Warga lainnya, Anselmus Anggur (58) menyatakan, membayar pajak adalah “tanggung jawab kami sebagai orang tua.”
“Jangan dibebankan ke anak-anak sekolah yang bahkan tidak tahu menahu soal aturan tersebut,” kata pria yang bekerja sebagai pedagang tembakau di Pasar Inpres Ruteng.
“Seharusnya prioritaskan anak masuk sekolah dulu. Kalau soal pajak, itu bisa belakangan,” tambah Anggur.
Konstantinus Lukas (47), seorang pedagang barang di Pasar Inpres Ruteng khawatir kebijakan ini menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan.
“Jangan sampai ada orang tua yang belum melunasi pajaknya, lalu anaknya tidak bisa sekolah,” katanya.
Editor: Petrus Dabu