Floresa.co – Warga Poco Leok mengajukan gugatan terhadap Bupati Kabupaten Manggarai, Herybertus G.L. Nabit terkait dugaan intimidasi dan pelanggaran hukum saat dirinya memimpin massa tandingan mengadang aksi unjuk rasa pada awal bulan lalu.
Langkah ini, yang ditempuh dengan pengajuan surat keberatan administratif merupakan bentuk protes terhadap respons Nabit yang dinilai emosional dan tidak mencerminkan sikap seorang kepala daerah terhadap warga yang menyampaikan aspirasi.
Surat keberatan itu diajukan oleh pemohon Agustinus Tuju (53), salah satu warga Poco Leok. Ia didampingi tim hukum dari Koalisi Advokasi Poco Leok yang selama ini aktif mendampingi warga dalam berbagai upaya protes terkait proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 di wilayah mereka.
“Surat tersebut diajukan agar bupati menyadari betul tugas dan kewajibannya sebagai kepala daerah yang dipilih warga, utamanya melindungi dan mensejahterakan seluruh warga di Kabupaten Manggarai, termasuk Poco Leok. Ini tidak boleh terjadi lagi,” kata Jimmy Z. Ginting, salah satu kuasa hukum.
Jimmy berkata, sebagaimana telah marak di pemberitaan, pada 5 Juni, warga Poco Leok yang menolak rencana proyek geotermal melakukan aksi damai ke Kantor Bupati Manggarai.
“Di tengah orasi, Bupati Manggarai terlihat memarahi warga dan memimpin sekelompok massa tandingan melakukan tindakan represif kepada mereka,” katanya.
Akibatnya, kata dia, tiga mobil yang berisi massa aksi terpaksa diamankan ke Kantor Polres Manggarai untuk menghindari hal-hal buruk yang dapat terjadi.
“Sebagaimana dapat dibaca di media, alasan Bupati bertindak seperti itu karena merasa tersinggung atas orasi warga yang menyinggung dirinya,” katanya.
Ia berkata, warga, khususnya klien kami, merasa trauma dan tidak menyangka Bupati Nabit dapat melakukan tindakan kekerasan dan ancaman.
“Pada hari kejadian, beliau adalah bupati, bukan atas nama pribadi,” katanya.

Yulianto B. Nggali Mara, kuasa hukum lainnya, berkata surat keberatan administratif merupakan sebuah langkah formil dan awal dari proses peradilan di ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Para pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pejabat pemerintahan wajib mengirimkan surat keberatan kepada pejabat yang melakukan tindakan tersebut sebelum masuk ke ranah persidangan (sengketa) di pengadilan,” katanya.
Di dalam Hukum Tata Usaha Negara, kata Yulianto, dikenal istilah tindakan faktual (feitelijke handeling) pejabat pemerintahan.
“Apabila Bupati Manggarai tidak memberikan respons atau tidak menggubris surat kami, maka akan ada upaya lanjutan, yaitu banding administrasi kepada atasan beliau yaitu Presiden c.q Menteri Dalam Negeri dan dapat ke pengadilan,” katanya.
Selain aspek administrasi, tindakan Nabit juga dinilai berpotensi melanggar hukum pidana.
Kuasa hukum lainnya, Judianto Simanjuntak mengatakan, intimidasi oleh Nabit juga dapat dikatakan sebagai tindakan kejahatan dalam hukum pidana sesuai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Ancamannya adalah pidana penjara paling lama satu tahun.
“Upaya pengajuan surat keberatan administrasi tersebut menjadi langkah edukasi bagi setiap kepala daerah dan pejabat pemerintahan agar berhati-hati dan bijaksana dalam merespons setiap bentuk aksi protes warga yang sebenarnya telah diakomodir atau dijamin oleh peraturan perundang-undangan sebagai wujud kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum,” katanya.
Judianto juga berkata, setiap warga negara memiliki hak untuk berdemonstrasi, terlebih apabila sudah sesuai prosedur penyampaian pendapat di muka umum, dan “mestinya menjadi pelajaran bagi setiap pemimpin daerah agar tidak melakukan kekerasan dan ancaman kepada warganya.”
Editor: Anno Susabun