Floresa.co – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kupang mulai mengidentifikasi lahan yang telah ditempati warga eks pengungsi Timor-Timur (Tim-Tim) selama lebih dari dua dekade.
Langkah itu merespons desakan warga untuk menerbitkan sertifikat atas lahan di Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur yang mereka tempati sejak 1999.
Beberapa waktu lalu, TNI Angkatan Darat mengklaim lahan itu milik mereka dan warga didesak untuk mengosongkannya.
Dalam kegiatan yang berlangsung pada 1 Juli itu, Kepala BPN Kabupaten Kupang, Ni Wayan Juliati berkata, “kegiatan ini bertujuan untuk mengambil titik-titik koordinat bidang-bidang tanah yang telah ditempati warga sejak lama.”
Kendati demikian, ia menyebut pengukuran itu “bukan untuk penerbitan sertifikat” melainkan sebagai “tahap awal untuk mencocokkan data lapangan dengan arsip BPN.”
“Kalau tanah yang ditempati warga tercatat dalam sertifikat atas nama TNI, maka tidak bisa kami proses,” katanya seperti dikutip dari Suara Flores.
“Tapi kalau itu tanah negara bebas dan warga sudah tinggal lebih dari 20 tahun dengan itikad baik, maka bisa kami kaji untuk pengurusan hak milik, sesuai ketentuan,” tambahnya.
Juliati berkata, “proses ini belum final karena data yang dikumpulkan akan diverifikasi di kantor.”
Ia menghimbau warga agar tidak salah memahami tujuan kegiatan tersebut dan tetap mengikuti proses dengan tenang.
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Kupang, Tonci Tiof berkata, “kehadiran pemerintah bukan untuk menggusur melainkan untuk membuka jalan penyelesaian.”
“Kita cari solusi terbaik. Langkah pertama tentu pastikan dulu status tanah ini,” katanya.
Sementara Lurah Naibonat, Daniel Leo Mangngi berkata, identifikasi lahan ini merupakan tindak lanjut dari aspirasi warga yang sebelumnya telah disampaikan langsung kepada Bupati Kupang, Yosef Lede.
Hasil identifikasi, kata dia, akan diserahkan ke BPN untuk pengecekan lebih lanjut; “apakah bidang-bidang tersebut tergolong tanah negara bebas atau telah bersertifikat atas nama lembaga, seperti TNI.”
“Kalau nanti ternyata tanahnya bersertifikat, ada mekanisme yang harus ditempuh. Tapi kalau itu tanah bebas, tentu akan dibuka kemungkinan proses lanjutan,” katanya.
Letnan Dua Infanteri Agapito X.F dari Kodim 1604/Kupang hadir dalam proses identifikasi lahan itu.
Ia berkata, kehadirannya adalah bagian dari dukungan untuk penyelesaian persoalan secara damai.
“Kami hadir bukan sebagai lawan. Ini perintah dari pimpinan, juga dari kabupaten bupati dan provinsi. Kami ingin bantu masyarakat karena kami juga bagian dari mereka,” kata Agapito.
Ia menambahkan, TNI akan terus berkoordinasi dengan aparat kelurahan, tokoh masyarakat, serta para ketua RT, bagian dari mendampingi proses ini sampai selesai.
Respons Protes Warga
Identifikasi lahan itu dilakukan BPN setelah warga menggelar serangkaian unjuk rasa pada 11 dan 16 Juni di mana mereka memprotes rencana relokasi ke perumahan baru dan menuntut pengakuan hak atas tanah yang telah ditempati selama 27 tahun.
Warga juga menolak klaim TNI Angkatan Darat yang menyebut sebagian wilayah resettlement atau pemukiman Naibonat sebagai aset militer.
Sejumlah kelompok yang terlibat dalam aksi itu merupakan bagian dari Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) NTT. Anggota aliansi mencakup Front Mahasiswa Nasional (FMN), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTT dan Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF).
Dalam unjuk rasa terakhir, sepuluh perwakilan massa aksi beraudiensi di Kantor Gubernur NTT.
Mereka diterima oleh Kepala Dinas Sosial, Kanisius Mau; Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Beny Nahak; Kepala Biro Pemerintahan, Doris Rihi; Kepala SatPol PP Yohan Loban; dan perwakilan Dinas Ketenagakerjaan.

Dalam audiensi itu, Syahrul Sukwan dari AGRA NTT berkata, akar persoalan yang dihadapi warga terletak pada status tanah yang belum jelas, yang “perlu diselesaikan dengan memberikan kepastian kepemilikan kepada mereka yang telah menempatinya.”
Ia menegaskan selama ini warga harus berbagi lahan dengan masyarakat lokal, sambil menanggung berbagai tekanan sosial dan ekonomi yang “tak pernah benar-benar direspons secara serius oleh negara.”
Selain itu, ia juga menyoroti proyek pembangunan 2.100 unit rumah yang disebutnya sebagai “keputusan sepihak.”
Menurutnya, relokasi seharusnya melibatkan proses konsultasi publik, dialog terbuka dan kesepakatan bersama, bukan kebijakan sepihak dari pemerintah.
Ia menuding proyek tersebut dilakukan tanpa masukan dari warga, bahkan para calon penerima rumah pun tidak dilibatkan sejak awal.
“Kalau kita kaji lebih jauh, pembangunannya penuh indikasi korupsi, tidak ada sarana penunjang. Masyarakat ini buruh tani. Ketika dipindahkan ke sana, mereka butuh lahan garapan. Tapi itu tidak ada,” katanya,
Penolakan warga terhadap relokasi, katanya, bukan karena bangunannya tidak layak, melainkan karena mereka tidak menginginkannya.
“Selayak apa pun rumah itu, kalau mereka tidak mau ya jangan dipaksakan. Yang perlu dilakukan adalah berikan kepastian tanah di tempat mereka tinggal sekarang,” kata Syahrul.
Ia juga menyoroti skema pembagian sertifikat melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di kompleks perumahan itu, yang menurutnya tidak memberikan kepastian hukum jangka panjang bagi warga.
Ia menyebut, sebagian besar penerima rumah adalah lanjut usia, namun sertifikat yang diberikan tidak bisa diwariskan.
“Kalau mereka meninggal, maka tidak ada alih waris. Ini mesti diperjelas. Kami khawatir ke depan tanah itu akan kembali ke negara atau dikuasai pihak lain,” katanya.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 19 Tahun 2021, ia menyebut tanah hasil redistribusi dalam TORA bisa dikenai syarat tertentu dan tidak selalu bersifat turun-temurun.
Skema seperti itu, katanya, hanya memberi kepemilikan sementara karena dibatasi oleh sejumlah syarat, termasuk larangan pengalihan hak.
Menurutnya, pembatasan semacam itu bertentangan dengan prinsip keadilan agraria sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
“Kalau mau menyelesaikan masalah ini, skemanya harus diganti ke (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) (PTSL). Dalam PTSL, sertifikat yang diterbitkan adalah hak milik yang bisa diwariskan dan tidak dibatasi oleh waktu atau status sosial,” kata Syahrul.
PTSL merupakan skema legalisasi aset tanah yang dilaksanakan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki masyarakat.
Berbeda dengan TORA, PTSL memungkinkan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa syarat pembatasan penggunaan, pengalihan atau pewarisan.
Program ini mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Merespons pernyataan itu, Kepala Dinas PUPR, Beny Nahak berkata, persoalan kelayakan kompleks perumahan sedang ditindaklanjuti oleh Balai Perumahan dari Kementerian PUPR.
Ia mengaku telah melihat langsung kondisi rumah-rumah tersebut.
“Beberapa lahannya kecil. Untuk lahan pertanian dan peternakan memang agak susah. Awalnya juga sulit karena belum ada sekolah dan puskesmas. Tapi, saya yakin ke depan fasilitas akan dilengkapi,” katanya.
Beny mengklaim pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan Balai Perumahan agar memperbaiki rumah-rumah yang rusak, sembari meminta masyarakat bersabar menunggu tindak lanjut.
Terkait persoalan tanah, kata dia, pihaknya akan berupaya mendorong agar lahan yang ditempati warga bisa mendapatkan kepastian hukum.
Dalam aksi pada 11 Juni, Henry Foord Jebss, pemuda eks Tim-Tim berkata, klaim militer terhadap tanah resettlement adalah bentuk perampasan.
“Tanah yang ditempati warga di Naibonat bukan hasil penyerobotan. Mereka berada di sana karena dimandatkan negara dalam skema penanganan pengungsi sejak 1999,” katanya.
Menurutnya, klaim TNI bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjamin hak rakyat atas tanah yang mereka garap dan tempati dengan sah.
Ia juga menyebut tekanan militer untuk mengosongkan lahan sebagai bentuk intimidasi terhadap warga sipil.
“Negara seharusnya hadir mengakui dan menjamin hak kami, bukan tunduk pada klaim institusi militer,” tegasnya.
Fadly Anetong, Koordinator AGRA NTT, menilai relokasi paksa ini bertentangan dengan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) yang dijamin dalam Deklarasi HAM PBB.
“Relokasi yang dipaksakan adalah bentuk kekerasan kebijakan. Menolak relokasi bukan berarti anti-pembangunan. Justru di situlah letak hak warga: menentukan tanpa tekanan,” katanya.
Dalam audiensi usai unjuk rasa, Wakil Bupati Kupang, Aurum Titu Eki menyatakan pemerintah tidak bisa mengambil keputusan tergesa-gesa.
Ia menyebut, kunci persoalan terletak pada kejelasan status hak atas tanah.
“Kita jangan dulu bicara relokasi. Kalau status tanah sudah jelas, masalah lain akan ikut terselesaikan,” katanya.
Editor: Herry Kabut