Floresa.co – Ratusan warga eks pengungsi Timor-Timur (Tim-Tim) yang kini menetap di pemukiman atau resettlement Naibonat, menggelar unjuk rasa di Kantor Bupati Kupang pada 11 Juni, memprotes rencana relokasi ke perumahan baru.
Mereka juga memprotes klaim sepihak atas lahan pemukiman tersebut oleh TNI Angkatan Darat.
Warga tersebut tergabung dalam Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB) NTT, yang juga beranggotakan aktivis dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTT dan Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF).
Mereka menuntut adanya “dialog terbuka yang partisipatif” serta “solusi yang adil dan berpihak pada rakyat” dalam penyelesaian konflik lahan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Pantauan Floresa di lokasi, para peserta aksi membentangkan sejumlah spanduk bertuliskan: “Lawan Klaim TNI-AD atas Tanah Rakyat Eks Tim-Tim,” “Relokasi Bukan Solusi” serta “Pemerintahan Prabowo-Gibran Segera Memberikan Pengakuan Hak Milik atas Tanah kepada Rakyat Eks Tim-Tim di Camp Naibonat yang Sudah Ditempati Selama 27 Tahun”.
Henry Foord Jebss, pemuda eks Tim-Tim yang menjadi koordinator umum aksi, berkata dalam orasinya bahwa situasi yang dihadapi warga mencerminkan “praktik perampasan dan monopoli tanah oleh negara melalui institusi seperti TNI.”
“Tanah yang ditempati warga di Naibonat bukan hasil penyerobotan,” katanya.
“Mereka berada di sana karena dimandatkan oleh negara dalam skema penanganan pengungsi sejak 1999. Tetapi hari ini, klaim TNI-AD atas tanah itu justru berbenturan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjamin hak rakyat atas tanah yang mereka garap dan tempati secara sah,” lanjutnya.
Menurutnya, tindakan TNI yang mendesak pengosongan lahan merupakan bentuk “intervensi dan teror terhadap warga sipil.”
Upaya TNI, kata dia, bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam UUPA bahwa “tanah pada dasarnya untuk rakyat, dan negara seharusnya hanya bertindak sebagai fasilitator.”
Terkait rencana relokasi, Henry menyebut, klaim pemerintah bahwa hal itu sejalan dengan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak dapat dibenarkan.
Ia menjelaskan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, TORA bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah oleh masyarakat, terutama yang telah menempati tanah secara turun-temurun.
“TORA seharusnya menyasar redistribusi lahan yang sudah dikuasai dan dimanfaatkan rakyat, bukan memindahkan mereka ke tanah eks HGU yang tidak produktif dan rawan bencana,” kata Henry.
Menurutnya, kebijakan tersebut justru melahirkan kontradiksi baru karena tidak menyentuh akar masalah, yakni pengakuan hak atas tanah yang telah ditempati warga selama puluhan tahun.
Ia juga mengkritik proyek pembangunan 2.100 unit rumah relokasi di Burung Unta, Desa Camplong Dua dan Desa Kuamasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang yang disebut-sebut “bermasalah.”
Proyek itu, katanya, tidak hanya dikerjakan tanpa partisipasi warga, tetapi juga “terindikasi korupsi.”
“Warga dipaksa menempati rumah-rumah yang belum layak huni. Ini bukan solusi, ini bentuk pengabaian terhadap hak dasar warga atas tanah dan tempat tinggal yang aman,” katanya.
Hal lainnya yang disoroti Henry adalah agenda pemerintahan Prabowo-Gibran yang menggembar-gemborkan swasembada pangan.
“Bagaimana mungkin bicara swasembada pangan sementara rakyat kecil seperti petani eks Tim-Tim justru diusir dari tanah yang menjadi sumber penghidupannya?” kata Henry.
Karena itu, ia berkata, warga bersikeras menolak relokasi dan berkomitmen bertahan di permukiman mereka di Kamp Naibonat.
“Tanah itu milik kami. Kami tinggal di situ sejak 27 tahun lalu bukan secara ilegal. Negara harus hadir mengakui dan menjamin hak kami, bukan justru tunduk pada klaim institusi militer,” katanya.
Audiensi Bersama Pemda
Usai menunggu selama satu jam di depan kantor bupati, massa diterima untuk beraudiensi dengan Wakil Bupati Kupang, Aurum Titu Eki pada pada pukul 10.45 Wita.
Ia didampingi Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah, Marthen Rahakbauw yang menjadi moderator, serta jajaran pegawai lainnya.
Henry berkata, kehadiran mereka bertujuan mempertanyakan “sikap Pemerintah Kabupaten Kupang terhadap klaim kepemilikan lahan oleh TNI di kawasan Naibonat.”
“Mengapa sampai hari ini pemerintah tidak pernah menyatakan sikap tegas atas klaim itu, padahal masyarakat terus dihadapkan dengan intimidasi dari pihak TNI?” tanyanya.
Menurutnya, penderitaan warga selama 27 tahun seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah, bukan justru dibiarkan berlarut tanpa kepastian.
Asten Bait, Ketua IKIF menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kupang “harus segera mengakui hak kepemilikan tanah bagi warga eks Timor-Timur di Naibonat.”
Sementara Syahrul Sukwan, anggota AGRA NTT, menyoroti intimidasi terhadap warga eks Tim-Tim yang menurutnya bukan sekadar isu, tetapi “realitas yang terus berlangsung setiap hari.”
“Menurut pengakuan warga, mereka didesak segera mengosongkan lahan. Bahkan ketika mereka menanam jagung dan pisang, tanaman itu ditebang habis,” katanya.
Ia mendesak pemerintah mengambil sikap tegas, bukan lagi bersembunyi di balik “alasan birokratis.”
“Kami tidak tertarik pada dalih bahwa ini wewenangnya ATR/BPN (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional). Faktanya, warga berada di bawah yurisdiksi Kabupaten Kupang, maka tanggung jawab politik dan kemanusiaan atas perlindungan hak hidup mereka ada di tangan pemerintah daerah,” katanya.
“Setelah 27 tahun tinggal di sini dan menjadi warga negara Indonesia, mengapa mereka masih diposisikan sebagai pihak luar?”, lanjutnya, menyebut perlakuan pemerintah “tidak setara, dan terus-menerus menunda hak warga.”
Terkait rencana relokasi, Syahrul menilai pendekatan yang dilakukan pemerintah melanggar prinsip dasar perlindungan hak warga.
Ia merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang mensyaratkan adanya konsultasi publik dalam setiap tahapan relokasi, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
“Yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Warga tidak pernah diajak bicara, hanya diberi keputusan sepihak. Ini sangat mencederai asas partisipasi,” tegasnya.
“Mereka datang ke sini bukan karena kehendak pribadi, tapi dijanjikan ruang hidup yang layak oleh negara. Tapi hingga hari ini, yang mereka dapat justru intimidasi dan pengabaian,” kata Fadly Anetong, Koordinator AGRA NTT.
Mengacu pada prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) yang ditegaskan dalam Deklarasi HAM PBB, Fadly berkata “relokasi yang dipaksakan adalah bentuk kekerasan kebijakan.”
Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan hak fundamental masyarakat untuk menentukan sendiri apakah mereka menerima atau menolak suatu proyek yang berdampak pada tanah, wilayah, dan sumber daya mereka.
FPIC menuntut agar keputusan diambil tanpa tekanan, setelah masyarakat memperoleh informasi yang lengkap dan dalam waktu yang cukup, sebelum dimulainya kegiatan apa pun.
“Menolak relokasi bukan berarti anti pembangunan. Justru di situlah letak hak warga, mereka berhak menentukan tanpa tekanan,” katanya.

Respons Pemda
Menanggapi pernyataan Fadli, Marthen Rahakbauw berkata bahwa pemerintah menerima semua masukan dari massa aksi.
Namun, ia mengklaim, penyelesaian persoalan tanah dan relokasi tidak bisa dilakukan secara instan.
“Kami tidak bisa menyelesaikan ini dalam waktu beberapa hari. Kita akan lakukan kajian terlebih dahulu,” katanya.
Ia juga menyinggung pembangunan 2.100 unit rumah sebagai “bukti perhatian pemerintah terhadap warga.”
Namun pernyataan Marthen langsung disanggah Syahrul yang mempertanyakan pelibatan warga dalam proyek itu.
“Saya paham bahwa kita perlu duduk bersama, melibatkan banyak pihak untuk mencari jalan keluar. Tapi apakah pembangunan rumah itu hasil dari pembahasan bersama? Apakah masyarakat pernah dilibatkan?” katanya.
“Perkataan bapak justru membantah pernyataan bapak sendiri,” lanjutnya.
Senada dengan Marthen, Wakil Bupati Aurum Titu Eki menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengambil keputusan secara tergesa-gesa.
Ia menekankan bahwa status tanah adalah “pokok persoalan yang perlu dikaji secara historis dan hukum.”
“Kita jangan dulu bicara relokasi. Kuncinya ada pada soal hak atas tanah. Kalau itu sudah jelas, masalah-masalah lain pasti juga akan terselesaikan,” katanya.
Aurum juga mengakui pemerintah tidak siap menghadapi aksi tersebut.
“Saya sendiri tadi pagi kaget, tiba-tiba sudah ada rombongan datang. Pak Bupati tidak bisa hadir karena sedang mengikuti kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya.
Ia mengklaim, sebagai wakil bupati, dirinya hanya bisa menampung aspirasi dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan langsung.
Merespons Aurum, Syahrul meminta kepastian waktu dan jaminan soal tindak lanjut penyelesaian.
“Kalau memang butuh pengkajian dan melibatkan banyak pihak, proses itu kapan mulai berlangsung? Kami butuh bayangan, dan warga butuh jaminan,” katanya.
Menutup pertemuan, Aurum menyampaikan bahwa aspirasi warga akan dikaji lebih lanjut.
“Secepatnya kami akan memberikan informasi dan akan mengundang kembali perwakilan masyarakat untuk membahasnya bersama,” katanya.
Konflik Menahun
Konflik di Timor-Timur — sekarang bernama Republik Demokratik Timor Leste — bermula pada 1975, ketika Indonesia melancarkan invasi militer ke wilayah yang saat itu sedang bersiap menjadi negara merdeka usai ditinggalkan oleh penjajah Portugis.
Invasi itu menandai awal masa pendudukan militer yang berlangsung selama lebih dari dua dekade, di mana tercatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang menewaskan puluhan ribu warga sipil.
Puncak konflik terjadi pada 1999, saat Perserikatan Bangsa-Bangsa memfasilitasi sebuah jajak pendapat (referendum) yang memberikan kesempatan kepada rakyat Timor-Timur untuk menentukan masa depan politik mereka: tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka sebagai negara sendiri. Mayoritas—sekitar 78,5%—memilih merdeka.
Keputusan ini memicu kekerasan luas yang dilakukan milisi pro-integrasi dengan dukungan militer Indonesia. Pembunuhan, pembakaran, dan pengusiran massal terjadi secara sistematis, menyebabkan sekitar 250 ribu orang melarikan diri ke wilayah Indonesia di Timor Barat, termasuk ke Kabupaten Kupang.
Merespons krisis kemanusiaan itu, lembaga PBB yakni UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan didukung oleh pendanaan dari beberapa negara, termasuk Jepang, membangun tempat penampungan dan ‘pemukiman kembali’ bagi para pengungsi.
Pemukiman kembali atau resettlement adalah proses pemindahan sukarela pengungsi ke tempat baru yang aman dan permanen, biasanya ditujukan untuk kelompok yang tidak dapat kembali ke daerah asalnya dan tidak dapat menetap secara permanen di tempat pengungsian sementara.
Selain Naibonat, lokasi pemukiman kembali lainnya di Kabupaten Kupang adalah Noelbaki dan Oebelo.
Sementara di Naibonat, warga eks Tim-Tim membangun rumah, membuka lahan pertanian dan menjalani hidup baru di dua titik utama yaitu Sombra dan Empat Air.
Namun, kehidupan yang mereka bangun selama lebih dari dua dekade kini terancam. Tanah yang mereka tempati sejak tahun 1999 diklaim sebagai aset milik TNI Angkatan Darat.
Henry Foord Jebss berkata, warga diminta mengosongkan lahan, tanpa pernah diberi kejelasan soal status hak atas tanah tersebut.
Padahal, menurut Henry, sebagian besar warga merupakan “korban konflik yang sejak awal ditampung secara legal dalam skema penanganan pengungsi internasional.”
“Ironisnya, mereka kini menghadapi tekanan dari institusi yang dulu menjadi bagian dari konflik di masa lalu,” katanya.
Editor: Anno Susabun