Floresa.co – Warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur memasang poster dari karung bekas berisi pernyataan penolakan, merespons langkah perusahaan dan pemerintah memulai penetapan lokasi tahap II proyek geotermal.
Poster-poster tersebut berisi tulisan “Tolak Geotermal”, “Kami Menolak Geotermal Poco Leok”, dan “Kami Siap Lawan Geotermal.”
Mereka memajangnya di sisi kiri dan kanan jalan mulai dari tanah ulayat di Lingko Ndajang, salah satu jalur masuk ke Poco Leok yang terletak sekitar satu kilometer di sebelah utara Kampung Lungar.
Di tengah hujan, mereka menggunakan payung, jas hujan dan mantel memajang poster-poster itu yang diikat pada pohon.
Korida Jehanut, seorang ibu berkata aksi itu merupakan bentuk protes terhadap klaim di tengah rencana implementasi tahap kedua proyek ini bahwa hanya sedikit warga yang belum menerima proyek ini.
“Kami yang datang hari ini, adalah warga Gendang Lungar. Ada 40-an kepala keluarga yang hadir, belum termasuk sepuluh gendang lainnya yang juga bersikukuh menolak,” katanya.
Aksi warga pada 8 Juni ini sebagai tanggapan atas langkah PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] dan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang akan memulai implementasi Penetapan Lokasi Tahap II, langkah terbaru upaya meloloskan salah satu proyek strategis nasional bidang energi ini.
Penetapan lokasi baru mengacu pada Surat Keputusan Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit Nomor 137 tahun 2024 tentang Pembentukan Tim Persiapan dan Sekretariat Tim Persiapan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu Unit 5-6 [2 x 20 MW] Wellpad H, I, J, dan Access Road di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Surat itu ditandatangani Nabit pada 21 Maret, namun baru diketahui warga baru-baru ini.
Informasi yang diperoleh Floresa, sosialisasi awal, tanda mulainya tahap dua, akan digelar pada 12 Juni di Aula Paroki Ponggeok, dengan peserta warga dari Desa Wewo dan sekitarnya.
Aloysius Antal, warga adat Suku Laking, Gendang Rebak – yang wilayahnya menjadi salah satu target tahap II – menegaskan ia dan anggota lain suku tersebut “tidak mau ada pemboran” di lahan ulayat.
“Lokasi itu di Sano,” katanya merujuk pada nama lahan ulayat sukunya, “kami tidak mau ada pemboran di situ.”
Yudi Onggal, seorang pemuda Poco Leok yang selama ini terlibat aktif dalam gerakan penolakan mempersoalkan langkah pemerintah dan PT PLN di tengah penolakan masif warga.
Ia menyebut langkah tersebut “kebablasan,” karena “mereka dengan semena-mena melakukan perencanaan di wilayah yang warganya sendiri tidak menerima proyek.”
“Selama ini selalu ada penolakan di mana pun titik bor mau dibuat oleh PLN. Namun, mereka seolah-olah tidak tahu, lalu membuat rencana selanjutnya,” katanya kepada Floresa pada 10 Juni.
Rencana baru tersebut berpotensi meningkatkan eskalasi konflik dan kekerasan seperti sebelumnya yang “tentu saja sudah tidak sesuai dengan asas-asas pembangunan berkeadilan bagi masyarakat,” kata Yudi.
Tiga Titik Pengeboran Baru
Tahap dua ini menargetkan empat lokasi pembangunan, terdiri atas tiga titik pengeboran [wellpad] dan satu access road atau jalan akses menuju wellpad.
Semua lokasi tersebut berada di wilayah ulayat atau lingko dari beberapa gendang atau kampung adat.
Dalam sebuah dokumen yang diperoleh Floresa, tiga titik tersebut adalah Wellpad H dan Wellpad I di lahan milik Gendang Rebak dan Suku Laking Gendang Rebak, Desa Lungar dan Wellpad J di lahan milik Gendang Lale, Desa Wewo.
Sementara Desa Lungar berada di wilayah Poco Leok, Desa Wewo berada di sekitar lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu, sekitar tiga kilometer sebelah barat Poco Leok.
Luas lahan wellpad tersebut adalah 2,195 hektare untuk Wellpad H, dan 2,087 hektare untuk Wellpad I.
Jalan akses menuju wellpad juga berada di lahan ulayat milik Kampung Rebak.
Realisasi tahap II ini mencakup sejumlah langkah, termasuk pengadaan tanah,” yang berlangsung dalam tiga tahap, yakni konsultasi publik yang “dilakukan secara dialogis,” penetapan lokasi pembangunan, dan pengumuman penetapan lokasi pembangunan.
Tim persiapan pengadaan tanah disebut bertugas melakukan “pemberitahuan rencana pembangunan,” “sosialisasi pengadaan tanah,” “identifikasi dan pendataan awal lokasi,” “konsultasi publik,” dan “menyiapkan surat penetapan lokasi.”
Tugas lainnya adalah “mengumumkan penetapan lokasi wellpad H, I, J, dan access road” dan “melakukan tugas yang terkait pengadaan tanah.”
Selain itu adalah “menginventarisasi masalah yang timbul dalam pengadaan tanah,” “melakukan pertemuan atau klarifikasi masalah,” dan “mengupayakan penyelesaian masalah.”
Tim tersebut terdiri atas Bupati, Wakil Bupati, Kapolres Manggarai, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai, dan Komandan Kodim 1612 Manggarai sebagai pengarah.
Sekretaris Daerah Fansialdus Jahang bertindak sebagai penanggung jawab, Asisten Perekonomian dan Pembangunan sebagai ketua, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat sebagai wakil, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah sebagai sekretaris, dan jajaran kepala dinas, kepala badan dan kepala bagian sebagai anggota tim.
Anggota tim lainnya adalah Camat Satar Mese dan empat kepala desa dari wilayah sekitar PLTP Ulumbu dan Poco Leok, yakni Kepala Desa Wewo, Kepala Desa Mocok, Kepala Desa Lungar, dan Kepala Desa Ponggeok.
Pemetaan Dukungan terhadap Proyek
Selain berisi rencana pengadaan tanah dan penetapan lokasi proyek, dokumen resmi PT PLN juga menampilkan “pemetaan dukungan geotermal wilayah jalan Desa Mocok-Lungar.”
Perusahaan tersebut mengklaim terdapat 602 kepala keluarga di dua desa itu yang mendukung proyek, sementara 33 sisanya disebut “belum mendukung.”
Metode pendekatan dalam meningkatkan dukungan masyarakat, kata perusahaan itu, dilakukan secara persuasif melalui dialog dan wawancara personal dan kelompok “dengan memahami budaya, adat masyarakat.”
Selain itu juga dibuat secara kolaboratif antarinstansi, lembaga adat, lembaga agama dan tokoh masyarakat.
Dalam hal penyelesaian konflik, PT PLN mengatakan akan menggunakan pendekatan berbasis adat.
Perusahaan itu juga mengklaim akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam program pengembangan dan pemberdayaan.
Warga Bantah Klaim Perusahaan dan Pemerintah
Tadeus Sukardin, warga asal Kampung Lungar mengingatkan bahwa ada “masalah sebelumnya yang belum selesai” antara warga adat dengan pemerintah dan perusahaan, yakni penolakan terhadap penetapan lokasi tahap pertama.
“Warga tidak memberi lahannya. Di luar itu, warga yang lahannya tidak berada persis di titik pengeboran juga tetap aktif menolak geotermal atas alasan keselamatan ruang hidup,” katanya.
Terkait klaim PT PLN yang menyebut mayoritas warga mendukung proyek, ia menyatakan sebaliknya.
“Sembilan puluh persen warga tidak akan menerima proyek pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok,” katanya.
Ia menyebut klaim PT PLN sebagai “data yang bukan hanya salah, tetapi sangat salah, karena tidak sesuai dengan fakta.”
“Data itu bisa dimanipulasi, bisa direkayasa, tetapi fakta, Anda tidak bisa geser itu,” kata Tadeus.
Ia juga mempersoalkan pilihan kata perusahaan yang menyebut sebagian kecil warga “belum mendukung” proyek, sebab faktanya warga “tidak mendukung geotermal.”
“Kalau belum mendukung, itu berarti orang belum paham, tetapi orang Poco Leok sudah memahami bagaimana geotermal itu,” katanya.
Yudi Onggal menambahkan, klaim PT PLN yang menyebut mayoritas penduduk Poco Leok mendukung geotermal sebagai ”bohong.”
“Faktanya adalah, dari 14 gendang, ada 11 gendang yang tegas menolak, sisanya mendukung, tetapi juga tidak mewakili semua warga gendang tersebut,” lanjutnya.
Namun, ia menambahkan, persoalannya “bukan soal mayoritas atau minoritas.”
“Ini soal hak kami warga Poco Leok atas ruang hidup yang aman dari ancaman kerusakan,” katanya.
Tadeus menambahkan, pernyataan PT PLN dan Pemda Manggarai yang menyebut akan melakukan pendekatan persuasif dan berbasis budaya “sudah terlambat.”
“Pada kasus sebelumnya, dalam penetapan lokasi Wellpad D, E, dan F, mereka memakai cara kekerasan. Mereka juga tidak melakukan musyawarah,” katanya.
“Geotermal ini sudah buat masyarakat tidak nyaman,” tambahnya.
Proyek Strategis Nasional di Flores
Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari proyek strategis nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011.
Proyek PLTP Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga dari belasan kampung adat telah berkali-kali menyatakan sikap penolakan dengan beragam cara, mulai dari pengadangan di lapangan, demonstrasi di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, hingga audiensi dan bersurat kepada lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Selain itu, warga juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman yang menjadi pendana proyek.
Persiapan penetapan lokasi tahap kedua saat ini dilakukan sebagai lanjutan dari penetapan lokasi tahap pertama pada tahun lalu, yang diprotes warga dengan beberapa kali aksi di lapangan, yang direspons dengan kekerasan oleh aparat keamanan.
Saat ini, warga juga tengah merespons rencana PT PLN dan pemerintah dengan memasang spanduk-spanduk dari karung bekas di beberapa titik, yang berisi pernyataan sikap penolakan proyek.
Editor: Ryan Dagur