Ferdy Hasiman Dukung Geotermal dan Klaim Negara Dermawan untuk Flores, Warga Poco Leok Ingatkan Pernyataannya Saat Jadi Calon DPD

Menyimak pernyataan Ferdy dan menyandingkannya dengan yang ia sampaikan saat jadi calon anggota DPD, kata seorang warga Poco Leok, apakah “ia memang dasarnya pengkhianat?”

Floresa.co – Warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai menyatakan kekecewaan terhadap Ferdy Hasiman, pengamat tambang yang dihadirkan PT PLN dalam sebuah pertemuan pemerintah baru-baru ini, di mana ia menyatakan dukungan terhadap proyek geotermal dan menyebutnya bagian dari kedermawanan pemerintah yang berinvestasi di Flores.

Warga berkata, pernyataan Ferdy berbeda dengan yang mereka dengar saat ia ke Poco Leok tahun lalu sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah [DPD].

“Ferdy pernah jelaskan kepada kami, masyarakat Poco Leok, bahwa geotermal itu membahayakan warga setempat,” kata Tadeus Sukardin, warga Kampung Lungar, salah satu kampung adat di Poco Leok.

“Ataukah ucapan itu hanya untuk mendapat suara pada saat calon DPD dan memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan politiknya?” tambahnya.

Apa Kata Ferdy Hasiman?

Tadeus merespons pernyataan Ferdy saat jadi pembicara dalam pertemuan di Ruteng pada 25 Juli terkait tindak lanjut proyek geotermal.

Dalam pertemuan yang diadakan Pemerintah Kabupaten Manggarai itu, Ferdy dihadirkan oleh PT PLN, perusahaan pelat merah yang hendak mengerjakan proyek perluasan PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 itu. 

Warga 10 kampung adat di Poco Leok memilih tidak hadir dalam pertemuan itu, sebagai bentuk sikap penolakan terhadap proyek.

PT PLN memperkenalkan Ferdy sebagai orang yang “jauh lebih berkompeten” dan “jauh lebih berpengalaman.”

Dalam paparannya, Ferdy berkata dia penolak tambang, tetapi mendukung geotermal karena itu “bukan pertambangan.”

Energi geotermal, katanya, syarat agar wilayah Flores dan NTT mencapai kemajuan melalui investasi, di antaranya di bidang pariwisata.

“Kalau tidak ada PLTP, mungkin Pulau Flores tidak dilirik, apalagi dengan investasi pariwisata,” katanya.

Dalam kaitan dengan itu, kata dia, negara-negara Eropa yang ingin berinvestasi di kota pariwisata Labuan Bajo akan menarik diri jika listrik masih dihasilkan dari pembangkit bertenaga diesel.

“Jadi, tolong, kita butuh investasi untuk bangun daerah ini. Bapak-bapak yang di daerah ini setengah mati bangun NTT. Kita tidak punya duit,” katanya.

Meski mahal, kata Ferdy, negara melalui PT PLN tetap berani untuk mengambil risiko dalam pengeboran geotermal, termasuk risiko dicitrakan sebagai perusahaan yang negatif.

Ferdy berkata investasi geotermal juga sangat dibutuhkan di Flores demi mencapai kemandirian ekonomi dan energi, agar tidak “tergantung terus pada dunia luar.”

Menyoroti sikap warga yang menolak proyek itu, katanya, “kalau kita tolak terus, sampai kapanpun kita tidak akan mandiri secara ekonomi, secara energi.”

Ia menambahkan, “diskusi dan bertukar pikiran” menjadi sangat penting, termasuk dengan aktivis dan jurnalis, agar semuanya mendengarkan “segudang pengetahuan teknis” dari para ahli geotermal.

Ia juga mengatakan geotermal berbeda jauh dari pertambangan, yang hanya melakukan eksplorasi dan penjualan hasil produksi, tanpa peduli pada keselamatan lingkungan, misalnya keutuhan sumber mata air.

Ferdy juga berkata telah bertemu dengan Uskup Ruteng, Msgr. Siprianus Hormat dan tim di Pusat Pastoral baru-baru ini.

“[Saya] bertemu dengan beberapa romo. Ketika kami bertukar pikiran, mereka semua sepakat bahwa memang ini harus dijelaskan dengan baik ke masyarakat,” katanya.

Ferdy Hasiman saat menjadi pembicara dalam pertemuan pada 25 Juli 2024 di Ruteng. (Dokumentasi Floresa)

Penjajahan dengan Narasi

Menyimak pernyataan Ferdy dan menyandingkannya dengan yang ia sampaikan saat jadi calon anggota DPD, Tadeus Sukardin bertanya-tanya, apakah “ia memang dasarnya pengkhianat?”

Ia berkata, Ferdy seharusnya tidak melihat polemik ini hanya dari kaca mata investor dan pemerintah, tetapi juga dari sisi konsekuensi yang harus diterima warga di lingkar tambang. 

Menurut Tadeus, dalam persoalan ini pemerintah mementingkan investasi dengan mengambil kekayaan alam NTT untuk investor.

Negara “memperkaya orang lain di atas penderitaan warga setempat.”

“Kemajuan NTT bukan semata dari geotermal,” kata Tadeus, “tetapi dari pertanian karena rata-rata orang NTT petani dan peternak.”

Ia menyebut, pernyataan Ferdy dalam pertemuan itu tidak lebih dari sebuah strategi agar “program ini bisa lanjut.”

Yudi Onggal dari kolektif Kawan Muda Poco Leok menyoroti pernyataan Ferdy yang menyebut negara dermawan pada orang Flores sebagai “bertendensi menjajah secara naratif.”

“Dia sedang di posisi sebagai penjajah sebagaimana penguasa yang seolah-olah merasa dirinya seperti juru selamat bagi warga,” katanya.

Ferdy, kata dia, “perlu belajar lagi untuk mengoreksi cara pandangnya terkait pembangunan, bahwa itu bukan sebagai hadiah, tetapi hak warga yang wajib dipenuhi pemerintah atau negara.”

Ia berkata orang Flores memiliki hak untuk memperoleh buah-buah pembangunan, tetapi “bukan buah yang didesain oleh penguasa dan tidak dikehendaki warga.”

“Jadi, mempergunakan sebanyak-banyaknya uang masyarakat untuk kembali menjarah dan merampas ruang hidup masyarakat, oleh Ferdy Hasiman dianggap sebagai tindakan dermawan. Amat disayangkan,” kata Yudi.

Ia juga mengkritisi Ferdy yang juga mendewakan investasi, terutama pariwisata.

“Investasi pariwisata Flores pada umumnya dikuasai oleh segelintir orang, oligarki dan kapitalis global,” katanya, sementara “masyarakat setempat hanya bermain di lingkup kecil, semacam recehan dan tetesan saja.”

“Pernyataan Ferdy justru akan semakin membentangkan karpet merah bagi investor untuk tidak hanya memonopoli pariwisata, tetapi juga akan lebih jauh mengeruk dan mengeksploitasi seluruh sumber daya di Flores,” tambahnya.

Yudi juga menyebut cara pandang Ferdy yang melihat geotermal sebagai daya tarik bagi investor asing untuk berinvestasi di Flores justru “akan semakin meminggirkan warga lokal dari kompetisi investasi yang sangat tidak berimbang.”

Ia melihat gap dalam cara berpikir Ferdy yang “cenderung mengunggulkan geotermal dan energi dibanding aspek-aspek vital lain, seperti aspek ekonomi, sosial dan budaya.”

Padahal “warga penolak justru melihat obsesi pemerintah memaksakan geotermal sebagai malapetaka yang akan mengancam ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.” 

Di Poco Leok, katanya, meski proyek masih dalam tahap eksplorasi “sudah terjadi pelecehan budaya secara masif, perpecahan dan gangguan sosial, disharmonisasi relasi warga yang terpecah dan terganggu secara ekonomi,” apalagi jika proyek sudah berjalan.

Agustinus Sukarno, pemuda Poco Leok lainnya menambahkan, klaim Fery bahwa negara dermawan terhadap orang Flores “sangat keliru.”

“Ia lupa bahwa tugas dan kewajiban negara adalah memberikan pelayanan terhadap warga, termasuk orang Flores,” katanya.

Orang Flores juga adalah bagian dari negara dan membayar pajak “sehingga mempunyai hak untuk menikmati hasil pembangunan.”

Namun, katanya, pembangunan itu bukan “yang menyingkirkan warga dari ruang hidupnya sendiri.”

Ia juga mempersoalkan klaim Ferdy bahwa dengan PLTP orang Eropa akan berinvestasi di Flores. 

“Potensi energi bukan hanya dari panas bumi. Banyak potensinya lain yang belum dimanfaatkan seperti tenaga surya dan tenaga ombak, dibandingkan seluruh Flores ini akan dibor semua,” katanya.

Apalagi, tambahnya, “semua titik geotermal di Flores berada di ruang hidup warga.”

Sukarno berkata, “kami mengenal Ferdy sebelumnya sebagai penulis dan aktivis yang aktif melawan narasi kemajuan ekstraktif versi penguasa, tapi sekarang justeru jadi konsultan PLN.”

Retorika yang Diulang-ulang

Venan Haryanto, seorang pegiat sosial di Flores memberi catatan soal klaim Ferdy bahwa “geotermal penting untuk mendukung investasi pariwisata Labuan Bajo dan Flores.”

“Ini retorika yang selalu saja keluar dari mulut pemerintah untuk menutup-nutupi siapa sebenarnya pihak yang paling diuntungkan dari bisnis pariwisata,” katanya.

Venan, yang kini sedang melakukan penelitian di Flores untuk studi doktoral berkata, “cerita-cerita dari lapangan begitu kuat memperlihatkan sesuatu yang berbeda dari klaim-klaim tersebut.”

“Sudah banyak diketahui publik luas bahwa pariwisata Labuan Bajo misalnya telah menjadi piring nasinya para investor yang memanfaatkan relasi dekatnya dengan pemerintah,” katanya.

Ia menyinggung situasi di Taman Nasional Komodo, di mana perusahaan-perusahaan besar yang juga bagian dari kekuasaan “telah mendapat konsesi di habitat komodo, sesuatu yang tentu sangat berbahaya secara lingkungan.”

“Belum lagi bicara kawasan pantai yang telah banyak dikuasai untuk kepentingan investasi,” katanya.

Data-data ini, kata dia, dengan kuat menunjukkan bahwa proyek pembangunan dirancang untuk “hanya melayani kepentingan investor dan menyisakan krisis sosio-ekonomi dan berdampak buruk secara lingkungan.”

“Usaha warga lokal terus terancam investor besar, kelestarian lingkungan juga terus menjadi taruhan dari pembangunan skala masif,” katanya.

Ia menambahkan, pernyataan Ferdy yang mendelegitimasi situasi warga berhadapan dengan investasi merupakan bagian dari kepongahan dan kecongkatan teknosains terhadap etnosains, yaitu pengetahuan masyarakat lokal berbasis pengalaman dan sejarah mereka.

Ferdy, asal Kabupaten Manggarai Timur, dikenal sebagai pengamat pertambangan. Ia pernah menulis buku berjudul Monster Tambang pada 2014 yang mengkritisi investasi pertambangan di wilayah Flores.

Ia menjadi calon DPD pada pemilu Februari dan tidak terpilih. Ia juga sempat menyatakan akan maju pada pilkada Manggarai Timur, yang kemudian dibatalkan.

Ini merupakan kali kedua Ferdy menyampaikan pernyataan publik mendukung proyek itu, setelah pada Mei lalu pandangannya dikutip dalam rilis PT PLN dan ramai dimuat media lokal dan nasional.

Dalam pernyataannya ketika itu, ia mengklaim proyek geotermal Poco Leok “dipastikan mampu turut menyejahterakan kehidupan masyarakat setempat” karena meningkatnya Pendapatan Asli Daerah.

Dalam pertemuan pada 25 Juli, selain Ferdy, sejumlah pembicara lain dari PT PLN menekankan bahwa proyek itu akan bermanfaat bagi masyarakat dan tidak membawa dampak buruk, termasuk lingkungan.

Proyek geotermal Poco Leok masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini.

Pertemuan 25 Juli bagian dari rangkaian upaya pemerintah meloloskan proyek itu di tengah penolakan warga.

Dalam sejumlah kesempatan, warga menyatakan proyek itu membahayakan keutuhan ruang hidup dan merampas hak atas tanah ulayat mereka karena sejumlah titik pengeboran atau wellpad di dekat pemukiman dan lahan pertanian.

Penolakan warga dilakukan dengan pengadangan di lapangan, demonstrasi di Ruteng, hingga audiensi dan bersurat kepada lembaga-lembaga pemerintah seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. 

Mereka juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman yang menjadi pendana proyek.

Dalam beberapa waktu terakhir, warga juga merespons proyek ini dengan memajang poster dari karung bekas di pinggir jalan, yang berisi pernyataan sikap penolakan.

Klaim PT PLN versus Kesaksian Warga

Sementara PT PLN mengklaim geotermal tidak berdampak buruk dan kehadirannya berkontribusi bagi masyarakat, dalam salah salah sosialisasi pada 12 Juni, warga di lingkar PLTP Ulumbu mengajukan kesaksian berbeda.

Mereka mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan, mengklaim tidak mendapat manfaat yang signifikan dari PLTP itu.

Mereka antara lain menyebut realisasi sejumlah janji PT PLN sejak tiga dekade lalu itu nol, termasuk soal penyerapan tenaga kerja dan janji memberi beasiswa terhadap warga.

Mereka juga mempertanyakan klaim PT PLN dalam brosur yang dibagikan saat sosialisasi itu bahwa “panas bumi Ulumbu tidak menyebabkan seng berkarat” dan tidak berdampak pada “penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.”

Sirilus Wangkar, seorang guru di Desa Wewo menyebut dua pernyataan itu sangat kontradiktif karena “kenyataannya terjadi pengaratan seng di rumah warga termasuk di sekolah kami.”  

Ia mengingat dua tahun lalu PLN memberikan bantuan kepada 40 kepala keluarga yang seng rumahnya berkarat.

Hal itu, kata dia, menunjukkan “fakta seng cepat berkarat akibat dari proyek geotermal memang benar,” berseberangan dengan klaim dalam brosur itu. 

TS, warga lainnya menyoroti menurunnya produktivitas pertanian pasca PLTP Ulumbu beroperasi.

Ia mengaku sebelum PLTP itu beroperasi, petikan kopinya mencapai 300-400 kilogram dalam sekali panen. 

Namun, kata dia, pasca PLTP Ulumbu beroperasi, tanaman kopi miliknya mulai mati dan “hasil panennya tidak mencapai ratusan kilogram.”

“Produktivitas menurun karena pohon dadap yang melindungi kopi juga ikut mati,” ungkapnya.

Klaim PT PLN soal tidak ada dampak buruk geotermal di Flores juga berseberangan dengan fakta di dua lokasi proyek yang pernah diliput Floresa – di Mataloko, Kabupaten Ngada dan Sokoria, Kabupaten Ende.

Di Mataloko, proyek yang dikerjakan sejak lebih dari dua dekade lalu itu gagal berulang kali, dengan lubang-lubang bekas pengeboran kini mengeluarkan lumpur, yang merusak lahan pertanian warga.

Sementara di Sokoria, dampaknya antara lain mata air di dekat kampung mereka mati pasca proyek itu beroperasi. 

Perusahaan sempat mulai mengerjakan proyek air minum bersih usai didesak warga, namun tidak dilanjutkan hingga September 2023 saat Floresa melakukan liputan.

Laporan dikerjakan Anno Susabun, Herry Kabut dan Mikael Jonaldi

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA