Pertegas Sikap Tolak Geotermal, Warga Adat Poco Leok Tidak Hadiri Pertemuan Pemerintah Bahas Kelanjutan Proyek

Pertemuan digelar pada 25 Juli, di mana pemerintah menghadirkan PT PLN dan pengamat yang dukung proyek tersebut

Floresa.co – Warga adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur memutuskan tidak meladeni undangan pertemuan dari pemerintah yang membahas kelanjutan proyek geotermal.

Dalam sebuah surat, warga dari sepuluh kampung adat atau gendang di Poco Leok menyatakan “sudah berketetapan hati untuk tidak memberikan persetujuan” terhadap proyek itu.

Karena itu, kata warga, mereka “menolak diskusi dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun.”

Poin lainnya dalam pernyataan itu berkaitan dengan daftar peserta pertemuan yang sebagian besar warga diaspora, yakni yang tinggal di luar kawasan Poco Leok.

“Urusan keselamatan dan lingkungan di Poco Leok tidak bisa diwakilkan oleh siapa saja,” kata warga.

Surat dari warga kampung adat Lungar, Tere, Jong, Rebak, Mocu, Mocok, Mori, Ncamar, Nderu dan Cako itu merespons undangan pertemuan yang digelar Pemerintah Kabupaten Manggarai pada 25 Juli.

Undangan itu dikirim pemerintah kepada warga pada 19 Juli.  Selain warga, elemen yang diundang adalah Camat Satar Mese, Pastor Paroki Ponggeok, Kepala Desa Lungar, Kepala Desa Mocok, Kepala Badan Permusyawaratan Desa Lungar dan Mocok.

Pertemuan itu membahas tindak lanjut proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu unit 5-6. Proyek ini masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini.

Jahang Klaim Pertemuan Untuk “Menyamakan Persepsi”

Pertemuan tetap digelar pada 25 Juli, meski tanpa kehadiran warga.

Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, Fansi Aldus Jahang yang membuka pertemuan tersebut berkata warga diundang “dalam rangka menyamakan pemahaman, menyamakan persepsi tentang rencana pengembangan PLTP Ulumbu.”

Hal tersebut berkaitan dengan beberapa proses yang telah dilakukan sebelumnya, di mana terdapat pro dan kontra di tengah masyarakat.

Ia mengklaim pihaknya telah melakukan beberapa tahap, termasuk sosialisasi yang “dilakukan dengan baik.” 

Karena itu, kata Jahang, pemerintah daerah dan PT PLN “akan tetap intens” melakukan pendekatan kepada warga.

“Bukan tanpa hambatan, ada hambatan, tetapi selesai ketika kita duduk bersama,” katanya.

Ia mengatakan warga yang diundang, baik dari Poco Leok maupun yang tinggal di luar wilayah itu, “akan sama-sama mendengarkan apa kira-kira menjadi dasar, apa dampaknya, apa risiko yang terjelek dari pengembangan ini.”

Ia juga mengklaim PLTP Ulumbu adalah “modal besar yang menjadi asetnya orang Manggarai.”

Karena itu, pemerintah pusat sudah melirik lokasi tersebut sejak lama, berkaitan dengan “potensi yang begitu luar biasa tersimpan di sana” yang “pada saatnya akan membuat rakyat di sebagian besar Flores ini dibantu.”

PLN Klaim Tidak Ada Dampak Buruk PLTP Ulumbu  

Osta Melano, Manajer PT PLN UPP Nusra II yang berbasis di Labuan Bajo mengatakan PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2012 tidak berdampak buruk bagi lingkungan di sekitar.

“Sudah 10 tahun lebih beroperasi, apakah airnya hilang total, tanaman jadi mati atau langsung layu?” katanya.

Ia mengklaim proyek itu juga tidak berdampak buruk bagi perekonomian warga yang mayoritas bertumpu pada pertanian.

Soal kekhawatiran warga terkait dampak buruk geotermal, katanya, “ada kajiannya.”

“Jika nanti ditemukan kandungan sulfur yang ikut terbang, jangankan manusia, seandainya itu membahayakan ternak atau tanaman, pasti PLN tidak akan mengambil risiko itu,” katanya.

Osta menekankan bahwa geotermal masuk kategori green energy atau energi ramah lingkungan, berbeda dari pembangkit listrik yang bersumber dari energi fosil seperti batu bara dan diesel.

Hal lain yang ia sampaikan adalah target PT PLN untuk kemandirian energi di Manggarai, yang saat ini 50 persen pasokannya dari PLTP Ulumbu dan PLTMH Wae Garit di sebelah barat Ruteng, sementara selebihnya masih dari PLTD di Rangko dan Maumere.

Dengan kemandirian energi, katanya, kerusakan pada pembangkit listrik di Maumere atau Labuan Bajo tidak akan berdampak terhadap ketersediaan listrik di Manggarai.

Sementara itu, Denis Goonting, konsultan sosial PT PLN UIP Nusra berkata, sejak era 1970-an terjadi perubahan iklim di seluruh dunia.

“Asalnya dari asap atau karbondioksida dari pabrik,” katanya.

Berbagai dampak perubahan iklim tersebut, kata Denis, mendorong negara-negara di dunia menyikapinya.

Ia juga menyinggung sikap Gereja Katolik, termasuk Paus Fransiskus lewat ensiklik Laudato Si – dokumen gereja tentang bumi sebagai rumah kita bersama yang terbit pada 2015.

“Salah satu pasal dalam Laudato Si adalah tentang energi dan pasal itu menyangkut pembangkitan listrik,” katanya, mengklaim Paus Fransiskus merekomendasikan sumber energi yang ramah lingkungan.

Denis juga berkata pihaknya telah melakukan berbagai proses pendekatan di Poco Leok dan sebanyak 1.473 kepala keluarga atau 86,5 persen mendukung proyek tersebut.

Meski tak dapat memastikan warga yang menolak, ia mengklaim sudah mengetahui gambarannya, yaitu “kira-kira 213 kepala keluarga” atau 12,5 persen.

Sementara pengamat pertambangan Ferdy Hasiman yang diundang PT PLN untuk berbicara dalam forum itu mengatakan dia penolak tambang, tetapi mendukung geotermal karena itu “bukan pertambangan.”

Energi geotermal, kata penulis buku “Monster Tambang” itu adalah energi bersih yang menjadi syarat masuknya berbagai investasi yang membawa kemajuan untuk Flores dan NTT secara umum.

“Kalau tidak ada PLTP, mungkin Pulau Flores tidak dilirik, apalagi dengan investasi pariwisata,” katanya.

Selain Denis, Osta dan Ferdy, pembicara lain pada pertemuan tersebut adalah Sandro Ginting, staf PT PLN UPP Nusra II dan Panca Budi Setiawan dari PT PLN UIP Nusra yang berbasis di Lombok, Nusa Tenggara Barat. 

Sandro mengklaim PLTP pertama di dunia ada di Italia, yang antara lain dimanfaatkan oleh Vatikan.

Ia juga menampilkan gambar-gambar proyek geotermal di berbagai negara lainnya di Eropa.

Sama seperti tiga pembicara lainnya, Sandro menegaskan kembali “keunggulan geotermal” sebagai energi baru terbarukan yang “akan bisa bertahan terus menerus, tidak seperti batu bara.”

“Dia juga sudah pasti ramah lingkungan,” katanya.

Berbagai foto proyek geotermal lainnya juga ditunjukkan Sandro, termasuk pipa-pipa panas bumi di beberapa lokasi yang melewati lahan-lahan pertanian sawah.

Selain itu adalah foto proyek geotermal di Mataloko, Kabupaten Ngada, yang diklaimnya “saat ini sedang pengembangan.”

Ia juga menunjukkan “surat jaminan” dari PT PLN yang telah diberikan kepada semua gendang di Poco Leok, yang salah satunya berisi komitmen perusahaan untuk bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan dan bencana akibat proyek.

Sementara itu, Panca berbicara soal program pembagian keuntungan atau benefit sharing oleh PT PLN terhadap warga Poco Leok, yang mencakup bidang pertanian dan sanitasi.

“Kami punya rencana lima tahun ke depan. Beriringan dengan proyek yang berjalan, program di sampingnya juga harus berjalan, pemberdayaan masyarakat,” katanya.

Sosialisasi di Tengah Perlawanan Warga

Pertemuan itu bagian dari rangkaian upaya pemerintah meloloskan proyek geotermal Poco Leok di tengah penolakan warga.

Dalam sejumlah kesempatan, warga menyatakan proyek itu membahayakan keutuhan ruang hidup dan merampas hak atas tanah ulayat mereka karena sejumlah titik pengeboran atau wellpad di dekat pemukiman dan lahan pertanian.

Penolakan warga dilakukan dengan pengadangan di lapangan, demonstrasi di Ruteng, hingga audiensi dan bersurat kepada lembaga-lembaga pemerintah seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. 

Mereka juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman yang menjadi pendana proyek.

Dalam beberapa waktu terakhir, warga juga merespons proyek ini dengan memajang poster dari karung bekas di pinggir jalan, yang berisi pernyataan sikap penolakan proyek.

Sementara PT PLN mengklaim geotermal tidak berdampak buruk dan kehadirannya berkontribusi bagi masyarakat, dalam salah salah sosialisasi pada 12 Juni, warga di lingkar PLTP Ulumbu mengajukan kesaksian berbeda.

Mereka mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan, mengklaim tidak mendapat manfaat yang signifikan dari PLTP itu.

Mereka antara lain menyebut realisasi sejumlah janji PT PLN sejak tiga dekade lalu itu nol, termasuk soal penyerapan tenaga kerja dan janji memberi beasiswa terhadap warga.

Mereka juga mempertanyakan klaim PT PLN dalam brosur yang dibagikan saat sosialisasi itu bahwa “panas bumi Ulumbu tidak menyebabkan seng berkarat” dan tidak berdampak pada “penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.”

Sirilus Wangkar, seorang guru di Desa Wewo menyebut dua pernyataan itu sangat kontradiktif karena “kenyataannya terjadi pengaratan seng di rumah warga termasuk di sekolah kami.”  

Ia mengingat dua tahun lalu PLN memberikan bantuan kepada 40 kepala keluarga yang seng rumahnya berkarat.

Hal itu, kata dia, menunjukkan “fakta seng cepat berkarat akibat dari proyek geotermal memang benar,” berseberangan dengan klaim dalam brosur itu. 

TS, warga lainnya menyoroti menurunnya produktivitas pertanian pasca PLTP Ulumbu beroperasi.

Ia mengaku sebelum PLTP itu beroperasi, hasil panenan kopinya mencapai 300-400 kilogram dalam sekali panen. 

Namun, kata dia, pascaoperasi PLTP Ulumbu, tanaman kopi miliknya mulai mati dan “hasil panennya tidak mencapai ratusan kilogram.”

“Produktivitas menurun karena pohon dadap yang melindungi kopi juga ikut mati,” ungkapnya.

Klaim PT PLN soal tidak ada dampak buruk geotermal di Flores juga berseberangan dengan fakta di dua lokasi proyek yang pernah diliput Floresa – di Mataloko, Kabupaten Ngada dan Sokoria, Kabupaten Ende.

Di Mataloko, proyek yang dikerjakan sejak lebih dari dua dekade lalu itu gagal berulang kali, dengan lubang-lubang bekas pengeboran kini mengeluarkan lumpur, yang merusak lahan pertanian warga.

Sementara di Sokoria, dampaknya antara lain mata air di dekat kampung mereka mati pasca proyek itu beroperasi. 

Perusahaan sempat mulai mengerjakan proyek air minum bersih usai didesak warga, namun tidak dilanjutkan hingga September 2023 saat Floresa melakukan liputan.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA