Maria Suryanti Jun: Menentang Geotermal karena Poco Leok Tanah Adat dan Warisan Leluhur Kami

Kelompok perempuan di Poco Leok terlibat aktif dalam gerakan perlawanan menolak proyek geotermal yang diyakini mengancam masa depan hidup dan lingkungan mereka

Floresa.co – Warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai terus berjuang mempertahankan tanah di tengah upaya pemerintah dan perusahaan meloloskan proyek geotermal, salah satu dari Proyek Strategis Nasional di Flores.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] tersebut merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012.

Pemerintah menargetkan energi listrik 2×20 MW di Poco Leok, naik dari 7,5 MW di PLTP Ulumbu saat ini.

Proyek itu mendapat karpet merah usai Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit menerbitkan izin lokasi pada 1 Desember 2022.

Sejak saat itu, warga Poco Leok terlibat dalam berbagai rangkaian aksi protes melawan proyek ini yang didanai Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW].

Kelompok perempuan adalah salah satu yang aktif terlibat. Mereka ikut pertemuan konsolidasi baik di rumah adat maupun dengan jejaring advokasi, pengadangan pegawai perusahaan dan aparat keamanan serta demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

Di antara mereka, Maria Suryanti Jun adalah salah satu orang yang paling getol bersuara.

Herry Kabut dari Floresa mewawancarai mama berusia 45 tahun itu di Kampung Tere beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.

Sejak kapan Mama mendengar proyek geotermal masuk ke Poco Leok? 

Saya mendengar informasi tentang proyek ini pada 2017, tapi waktu itu masih samar-samar. 

Waktu itu ada beberapa tamu masuk ke rumah Kepala Desa Mocok saat itu, Andreas Tagut.

Kami tidak tahu apa hubungan tamu-tamu itu dengan Andreas sehingga bisa masuk ke rumahnya. 

Yang saya tahu, tamu-tamu itu pernah memanggil beberapa warga untuk wawancara tentang pembukaan jalan tani yang lebarnya 16 meter. 

Wawancara itu berujung tanda tangan surat.

Beberapa warga, termasuk keluarga kami, menandatangani surat itu karena mempunyai lahan di dekat jalan itu.

Sejak saat itu, setiap tahun tamu selalu datang ke rumah Andreas. 

Apa yang terjadi setelahnya?

Pada 2018, bersamaan dengan evaluasi “penti” [acara adat syukur panen], dilakukan sosialisasi tentang proyek pengeboran. 

Sosialisasi itu dihadiri kepala desa dan sekretaris desa serta segelintir warga. 

Waktu itu, warga menyatakan tidak setuju.

Beberapa waktu kemudian, sosialisasi tentang rencana pengeboran kembali dilakukan di rumah adat, tetapi tidak semua orang mengikuti sosialisasi itu, termasuk saya.

Kaum perempuan di Desa Lungar, wilayah Poco Leok, Kecamatan Satar Mese bergabung dalam aksi protes menolak proyek geothermal saat menyambut kunjungan Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit pada Senin, 27 Februari 2023. (Dokumentasi Floresa)

Apa saja yang informasi yang disampaikan dalam proses sosialisasi awal tersebut?

Waktu itu belum ada orang yang memberi penjelasan tentang dampak geotermal, hanya informasi tentang pengeboran saja.  Meski begitu, warga tetap tidak setuju.

Selama sosialisasi itu, pegawai PLN memberikan sebuah berkas agar ditandatangani warga. 

Mereka bilang, “kalau tidak setuju, silakan tanda tangan.”

Mendengar itu, warga akhirnya tanda tangan. Warga tidak pernah membaca kop surat itu karena berpikir itu hanya tanda tangan bisa, yaitu bukti kehadiran dalam sosialisasi itu saja.

Warga mulai merasa aneh ketika mereka membawa pulang berkas tanda tangan itu, tanpa memberikan salinannya.

Pasca sosialisasi, apa tindak lanjut dari pihak pemerintah dan perusahan?

Beberapa orang mulai datang hendak melakukan survei. Warga tidak tahu tentang hal-hal yang mereka survei.

Saya dan beberapa warga mulai bertanya-tanya, mereka ini datang apa? Warga yang lain bilang begini, “mereka mau penelitian.” 

Warga tetap tidak tahu tentang tujuan kedatangan mereka.

Beberapa waktu kemudian, beberapa orang juga datang membawa drone. Mereka datang dengan beberapa orang yang “berbaju orange” dan membuat tugu di dekat rumah saya.

Karena penasaran, ibu-ibu mulai bertanya, “mereka ini mau buat apa? Mereka ini datang apa?” 

Warga yang lain bilang begini, “ini adalah anak-anak sekolah yang datang penelitian lagi.”

Karena semakin penasaran, kami akhirnya memberanikan diri bertanya tentang tugu yang mereka buat. 

Kami tanya, “ini mau buat apa?” Mereka bilang begini, “mau buat penangkapan satelit.”

Di tugu itu, terdapat tulisan “PLTP Ulumbu.” Kami memang sempat membaca tulisan itu, tetapi kami percaya saja kalau itu adalah alat penangkapan satelit.

Belakangan, kami sadar bahwa ternyata tugu itu titik pilar.

Sejak saat itu, dari tahun ke tahun, mereka datang terus ke sini. Kami tetap tidak tahu secara persis tujuan kedatangan mereka. Yang kami tahu mereka datang survei.

Ketika warga tanya, mereka tidak pernah transparan. Mereka tidak pernah melakukan sosialisasi tentang dampak buruk dan dampak positif pengeboran itu.  

Pada 2020, beberapa orang kembali datang membawa alat pengeboran tanpa sepengetahuan warga karena mengetahui bahwa kami tidak setuju dengan pengeboran itu.

Mereka membawa alat pengeboran itu pada malam hari dan masuk ke kampung melintasi Kali Wae Wara dan kebun-kebun kami untuk melakukan pengeboran di Lingko Rame.

Mereka menyewa beberapa warga agar pengeboran itu berjalan aman. 

Warga-warga itu dijadikan sebagai penjaga dan masing-masing dibayar Rp100.000 per malam.

Belakangan, warga mengetahui bahwa mereka sudah dua malam berada di kampung kami dan melakukan pengeboran di Lingko Rame.

Warga mengetahui informasi itu karena sempat mengintip aktivitas penjaga malam itu.

Untuk memastikan kebenaran informasi itu, suatu hari warga pura-pura menyelenggarakan bakti sosial di dekat lokasi pengeboran itu. 

Kami sepakat memukul gong dan meminta semua warga ikut kegiatan itu. 

Kami berpapasan dengan petugas proyek geotermal di sebuah jembatan. 

Waktu itu, warga mengusir dan menyuruh mereka angkat kaki dari kampung.

Mereka tidak mengindahkan suruhan itu dan malah tetap pergi ke Lingko Rame untuk melanjutkan pengeboran. Karena itu warga menyusul mereka ke situ.

Sesampai di situ, warga langsung mencabut, mengikat, dan membawa semua alat pengeboran ke rumah adat.

Warga baru tahu kalau mereka sudah melakukan pengeboran sedalam 25 meter.

Apa tindakan warga usai membatalkan aktivitas pengeboran itu?

Sesampai di rumah adat, warga membuat ritus adat untuk memberitahukan kepada leluhur tentang pengeboran itu.

Dalam ritus adat itu, tetua adat bilang begini kepada leluhur kami: “Inilah alat yang mau merusak tanah perjuanganmu dulu. Saat ini, kami meminta kalian sendiri yang mengantar pulang barang-barang ini supaya alat ini tidak merusak tanah perjuangan kalian dulu.”

Menurut kami, tanah di wilayah Poco Leok adalah tanah adat dan merupakan hasil perjuangan leluhur. 

Oleh karena itu, kami meminta leluhur untuk mengantar pulang barang-barang itu sehingga tidak menghancurkan wilayah Poco Leok. 

Sebenarnya ada beberapa alat yang ditahan warga. Kelompok bapak-bapak bilang, alat-alat ini tidak boleh dibawa pulang, harus kita tahan.

Namun, pegawai perusahan bilang, “ini bukan alat kami. Ini alat mahal milik perusahaan.”

Akhirnya, waktu itu, kami buat pernyataan lisan saja kepada mereka agar tidak boleh kembali menginjakkan kaki di wilayah Poco Leok.

“Bawa pulang ke perusahaan barang ini. Kasih tahu ketua atau manajer perusahaannya tidak boleh datang ke Poco Leok. Bawa barang ini karena ini wilayah adat. Tanah di Poco Leok tidak bisa dipilar oleh pemerintah dan tidak boleh diganggu gugat oleh perusahaan,” begitu kata kami.

Apa saja kekhawatiran dan pertimbangan Mama sehingga menolak proyek ini?

Kami mempertahankan hak hidup kami di wilayah Poco Leok. 

Kami juga mempertahankan tanah leluhur kami yaitu tanah adat yang tidak bisa dihilangkan oleh siapapun, termasuk pemerintah dan perusahaan. 

Dalam sejarah Poco Leok dinyatakan bahwa “lingko peang, gendang one,” artinya adalah satu kesatuan dan tak bisa dipisahkan antara hidup kami dengan alam tempat kami mempertahankan hidup.

Dalam aturan adat, kalau misalnya kami mau jual tanah, maka kami hanya diperbolehkan menjualnya kepada orang yang ada di dalam wilayah Poco Leok. 

Kami tidak boleh menjual tanah dengan orang dari luar. 

Kalau kami menyerahkan tanah kepada perusahaan, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, tetapi juga adat istiadat kami.

Kami tidak mau adat-adat kami yang diwariskan leluhur diganggu oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan perusahaan. 

Kami hanya mempertahankan itu.

Kami juga tidak mau kekurangan air seperti di daerah lain. Apalagi air yang kami konsumsi bersumber dari mata air yang bersih. 

Kami sudah terbiasa mengakses air dengan mudah di mana air masuk ke dalam rumah masing-masing warga.

Hal lain yang paling dikhawatirkan dari pengeboran ini adalah kami kehilangan sumber-sumber ekonomi. 

Waktu Ulumbu masih alami [sebelum pengeboran PLTP], tanaman kami berbuah lebat, hasilnya berton-ton. Kopi misalnya berbuah sangat lebat karena pohon dadap yang melindunginya masih bisa hidup.

Namun, sejak PLTP beroperasi pada 2012, pohon dadap mulai mati dan berdampak pada penurunan produktivitas pertanian warga.

Perekonomian warga menurun secara drastis. Sekarang, kopi hanya cukup untuk minum saja, sudah tidak ada yang bisa dijual.

Dari situlah kami tahu dampak negatif PLTP Ulumbu. Kami belajar langsung di situ dan tidak perlu menonton di Youtube atau media sosial lainnya.

Untuk apa kami belajar pengalaman orang lain? Kami belajar langsung di daerah kami sendiri.

Kalau dampak PLTP Ulumbu saja menyebar sampai ke sini, apalagi kalau nanti pengeboran itu dilakukan di wilayah Poco Leok. Otomatis warga akan kehilangan sumber-sumber ekonomi.

Selain itu, pegawai PLN yang melakukan survei mengganggu dan melecehkan ibu-ibu yang pergi ke kebun secara verbal.

Saya dan satu ibu lainnya telah menjadi korban pelecehan verbal itu.

Dalam perjuangan menentang proyek ini, apa saja yang Mama lakukan?

Kami selalu melakukan pertemuan di rumah adat. Intensitas pertemuan itu meningkat pasca penerbitan SK Bupati Manggarai pada 2021. 

Pertemuan itu kami lakukan karena pemerintah sudah tidak mendengar suara penolakan kami. 

Dalam pertemuan itu, kami mendiskusikan cara melawan proyek yang sarat dengan manipulasi dan tipu daya ini.

Saya selalu mengikuti pertemuan-pertemuan itu sehingga saya bisa mengetahui rencana-rencana warga dalam melawan proyek ini.

Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa dimanapun titik pengeboran panas bumi itu, kami harus menghadangnya. 

Karena walaupun pengeboran geothermal bukan di tempat kami, tetapi kami akan mengalami dampak negatifnya. 

Atas dasar itu, warga sepuluh gendang di Poco Leok akhirnya bersepakat untuk bekerja sama untuk melawan proyek ini.

Menurut kami, ini adalah proyek sombong karena mengabaikan orang yang tinggal di lereng bukit. 

Itu yang kami tolak sekarang. Di manapun titik pengeborannya di Poco Leok, kami tidak setuju.

Apalagi bentuk keterlibatan lain dalam menentang proyek ini?

Saya pernah mengikuti demonstrasi di Simpang Lungar dan di Ruteng. Saat demonstrasi di Ruteng, saya menyampaikan orasi. 

Bahkan di dalam kantor bupati, saya menyampaikan beberapa hal tentang penolakan warga terhadap proyek geotermal kepada wakil bupati, Heribertus Ngabut. [Saat aksi pada 9 Agustus 2023 itu mereka diterima wakil bupati]

Apa yang Mama sampaikan saat itu?

Pertama, kami sudah lama menolak proyek ini dan kami pikir suara penolakan kami sudah sampai di kantor bupati. Ternyata suara penolakan tidak pernah sampai ke sini. 

Kedua, menurut sejarah leluhur kami, tanah di wilayah Poco Leok tidak bisa dipilar oleh pemerintah karena punya pilar tersendiri yang disebut lodok [Sistem pembagian ahan komunal milik sebuah kampung yang dibuat menyerupai jaring laba-laba raksasa].

Berapa orang mempunyai lahan di dalam pilar itu. Pilar itu sudah dibuat ritual adat  di mana ia merupakan satu kesatuan dan tak bisa dipisahkan. Hidup kami ada di dalam itu. 

Ketiga, kami tidak mau mengurangi debit air di Poco Leok. Kami mempunyai sumber mata air yang banyak dan kami tidak mau mengurangi debit air itu.

Keempat, kehadiran proyek geotermal mengancam kaum perempuan karena karyawan-karyawannya mengganggu ibu-ibu yang pergi ke kebun.

Kelima, di manapun titik pengeborannya, selagi itu dilakukan di Poco Leok, kami tetap tolak. Kami mempertahankan hak hidup dan kami takut akan dampaknya. 

Kalaupun orang lain menjual tanah untuk pemboran itu, kami akan tetap menjadi korban. 

Sampai kapanpun, kami tidak setuju dengan proyek ini. Saat ini, kami datang untuk menuntut pencabutan SK penetapan lokasi geotermal yang tidak sah itu.

Menurut kami, SK itu tidak sah, meski menurut pemerintah SK itu sah. 

Bagaimana tanggapan Mama terhadap klaim bahwa geotermal energi bersih dan ramah lingkungan?

Kami tidak setuju. Kami belajar dari dulu dampaknya. Kami pikir begini, kenapa mereka tidak sosialisasi tentang dampak negatifnya?

Mereka pasti sadar kalau warga tidak akan setuju dengan proyek itu kalau mengetahui dampaknya. 

Pemerintah dan perusahaan pasti tidak tahu kalau sekarang warga sudah pintar karena kami belajar sendiri dampaknya. 

Kami tidak mau belajar dari orang lain. Selama ini, kami sudah pergi ke lokasi-lokasi petambangan dan geotermal yang proyeknya mangkrak, seperti di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Kami sudah lihat di situ. Kami mewawancarai warga di situ dan ternyata masalahnya sama. Warga Poco Leok sudah dari dulu tahu dampak negatifnya. 

Tetapi, pertanyaan kami, Kok kami sebagai masyarakat tahu dampak negatif dan positifnya, masa perusahaan geotermal dan pemerintah tidak tahu? Apakah mereka tidak tahu ini dampak negatifnya? Mungkin pemerintah dan perusahaan hanya mengetahui dampak positifnya sehingga mereka memaksa agar proyek ini masuk di daerah kami.

Kami menolak karena kami tahu dampak positif dan negatifnya. Jangan hanya berpikir tentang dampak positifnya, pikir juga dampak negatifnya. 

Mama Maria Suryanti Jun mengenakan baju merah berada di barisan paling depan dalam demonstrasi di Ruteng pada 9 Agustus 2022, menentang proyek geotermal Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

Selama ini hidup Mama seperti apa? Bagaimana kedekatan Mama dengan tanah?

Tanah tempat kami bekerja merupakan warisan leluhur. Kami hanya menjaga tanah leluhur kami.

Mayoritas warga di wilayah ini adalah petani, termasuk saya. Petani mencari makan di tanah. Rata-rata warga di Poco Leok menanam kopi.

Saya menanam berbagai tanaman di kebun seperti kopi, kemiri, kakao, vanili. 

Namun, sejak PLTP Ulumbu mulai beroperasi, banyak tanaman yang mati. Kalaupun ada yang bertahan, maka kami harus merawatnya dengan teknik tertentu.

Dulu, kami tanam-tanam saja vanili, tapi hasilnya melimpah. Sekarang, vanili bisa bertahan kalau dirawat dengan cara-cara tertentu. Kopi juga banyak yang mati dan tidak berbuah lebat. 

Dulu, kami biasa menjual kopi sampai 150 kg. Sekarang, syukur kalau hasilnya sampai 20-an kg bahkan hasilnya hanya belasan kg dan hanya cukup untuk diminum.

Itulah yang membuat kami sakit hati sekarang. Kalau pengeboran panas bumi berlangsung di sini, maka secara otomatis kami akan kehilangan sumber-sumber ekonomi.

Bagaimana Mama merespons anggapan bahwa mama dan warga lainnya di sini menolak geotermal karena hasutan dan pengaruh dari orang lain? 

Penolakkan saya terhadap geotermal datang dari diri sendiri karena saya tahu dampaknya.

Saya juga pernah berbicara dengan teman-teman tentang sikap penolakan mereka terhadap geotermal.

Mereka bilang penolakan kami terhadap geothermal datang dari diri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh orang lain.

Memang ada juga lembaga-lembaga yang membantu kami, baik lembaga Gereja Katolik, seperti JPIC-SVD, JPIC-OFM maupun lembaga lainnya, seperti Sunspirit for Justice and Peace, Jaringan Advokasi Tambang dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Kami meminta bantuan mereka, “tolong lindungi kami yang menolak proyek ini karena pemerintah sudah tidak mendengar kami lagi. Pemerintah hanya mendengar segelintir orang yang menerima proyek ini saja.” 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya