Tanpa Konfirmasi, Media Tuding Imam Katolik Provokator Tolak Proyek Geothermal Poco Leok

Tidak ada upaya konfirmasi kepada Pastor Simon Suban Tukan, SVD yang menjadi sasaran tudingan

Floresa.co – Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Koordinator Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC-SVD) Ruteng telah menjadi sasaran serangan lewat pemberitaan di media yang menudingnya sebagai provokator hingga dalang di balik aksi protes telanjang kaum perempuan terhadap proyek geothermal.

Dalam laporan di dua media itu, Pastor Simon, yang mengaku tidak pernah dimintai konfirmasi, juga dianggap sebagai pemecah belah masyarakat.

Serangan terbaru terhadap imam itu muncul dalam berita Infopertama.com pada 25 Juli.

Media itu menulis berita dengan judul “Demi Konten Tolak Geothermal Poco Leok, Diduga Pastor Katolik di Manggarai Suruh Wanita Telanjang.”

Artikel itu menyebut bahwa  semua aksi protes menolak proyek itu “adalah desain seorang pastor Katolik, Pater Simon Suban Tukan, SVD.”

Tangkapan layar berita di media Inforpertama.com

Media itu juga mengutip pernyataan Raimundus Wajong, seorang warga pendukung proyek itu bahwa Pastor Simon “merekrut warga Poco Leok untuk menolak proyek.”

Pekan lalu, sebuah media lainnya, Suaranusantara.co juga merilis berita yang menuding imam itu “memprovokasi warga untuk menolak proyek itu” dan “merusak tatanan hidup warga Poco Leok”

Berita itu juga mengutip pernyataan Raimundus Wajong.

Pastor Simon mengatakan kepada Floresa pada 27 Juli bahwa hingga kini tidak ada upaya konfirmasi dari media yang mempublikasi berita itu, meskipun namanya ditulis secara eksplisit dalam laporan mereka.

Pastor Simon mengatakan, serangan lewat media terhadapnya tampak terjadi karena baru-baru ini ia mengunjungi warga yang menjadi sasaran kekerasan aparat saat aksi protes bulan lalu, di mana beberapa di antaranya luka-luka dan salah satu di antaranya terpaksa dirawat di rumah sakit.

Pastor Simon mengatakan, ia memilih tidak merespons serangan lewat pemberitaan itu, “biarkan waktu dan masyarakat yang menjawabnya.”

Dalam wawancara dengan Floresa terkait komentarnya yang menyerang Pastor Simon, Raimundus Wajong beralasan bahwa sejak sosialisasi awal oleh pemerintah dan perusahaan pada tahun 2017 hingga tahap survei lokasi pengeboran, “tidak ada satupun warga atau pihak yang menolak” proyek Poco Leok.

“Waktu antara survei dan ukur lahan lokasi titik geothermal masuklah JPIC-SVD Ruteng di Lungar dan sejak itulah mulai ada pihak yang menolak,” klaimnya.

Lungar adalah salah satu dari 14 kampung adat yang masuk wilayah Poco Leok.

Raimundus mengatakan Pastor Simon “sering membuat rapat di Aula Gereja Katolik Stasi Lungar untuk menolak proyek geothermal.”

Raimundus saat ini berdomisili di Wae Koe, wilayah di luar Poco Leok yang berjarak sekitar 10 km ke arah barat.

Ia pernah memimpin aksi unjuk rasa di Lungar yang mendatangkan warga dari sekitar wilayah Poco Leok pada 16 Juni, menyatakan sikap mendukung proyek itu.

Pastor Simon menampik tudingan bahwa warga menolak proyek itu karena pengaruh lembaganya.

“Warga tolak bukan karena pendampingan [kami], tetapi penolakan itu mereka suarakan jauh sebelumnya,” katanya.

Ia juga mengatakan, keterlibatan aktif JPIC-SVD mendampingi warga  terjadi sejak pertengahan tahun lalu saat warga mendatangi lembaganya meminta bantuan.

Pada Januari 2023, kata dia, perwakilan warga dari 10 kampung kembali mendatangi lembaganya, lalu menyampaikan permintaan tertulis lewat surat pada bulan berikutnya.

Tadeus Sukardin, seorang warga Poco Leok, membenarkan pengakuan Pastor Simon, bahwa mereka yang berinisiatif meminta bantuan lembaga gereja dan beberapa lembaga swadaya masyarakat sipil.

Serangan di Tengah Suara Penolakan

Pemberitaan dua media itu muncul di tengah upaya intensif pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] menindaklanjuti proyek geothermal Poco Leok, namun warga setempat terus menentangnya.

Warga setidaknya sudah sepuluh kali melakukan aksi protes, baik melalui audiensi dengan pemerintah maupun pengadangan terhadap aktivitas perusahaan dan pemerintah di tanah ulayat yang menjadi lokasi pengeboran.

Pada 5 Juli, warga Poco Leok mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional di Ruteng untuk beraudiensi sekaligus menyerahkan surat yang menyatakan keberatan terhadap aktivitas perusahaan, yang menurut mereka tanpa konsultasi dan komunikasi dengan tokoh adat dan warga

Mereka juga mendatangi kantor dewan setempat, meminta intervensi agar proyek itu dihentikan.

Pada hari itu, mereka juga mengirim surat resmi kepada pendana proyek tersebut Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW),  menjelaskan argumentasi penolakan. Beberapa di antaranya adalah menolak eksploitasi atas ruang hidup, proses-proses proyek yang tidak melibatkan warga dan adanya represi oleh aparat keamanan.

Proyek tersebut, bagian dari proyek strategis nasional, adalah perluasan dari pembangkit listrik di Ulumbu, tiga kilometer arah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak 2012.  Proyek di Poco Leok menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan Ulumbu saat ini.

Bukan Pertama Kali Menargetkan Lembaga Gereja

Lembaga Gereja Katolik, bergabung bersama jaringan lembaga masyarakat sipil lainnya, seperti Jaringan Advokasi Tambang, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Cabang NTT dan Sunspirit for Justice and Peace membantu warga menyuarakan protes terhadap proyek itu.

Sebelum serangan yang menyasar Pastor Simon, pada tahun lalu PT PLN sempat diprotes karena mencatut nama lembaga-lembaga gereja untuk meloloskan proyek tersebut.

Pencatutan itu terdapat dalam sebuah booklet yang dibagikan PLN kepada warga saat sosialisasi di Gereja Katolik Stasi Lungar. PLN menulis telah melakukan “pendekatan dan konsultasi kepada tokoh dan pemangku kepentingan.”

Pemangku kepentingan disebut eksplisit, termasuk JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC-OFM, JPIC-SVD dan rektor Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng.

Di bagian lain booklet itu, PLN juga menyatakan bahwa geothermal didukung oleh Vatikan melalui  Laudato si, ensiklik yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada 2015 tentang sikap gereja terhadap isu lingkungan hidup.

Booklet itu mencantumkan kutipan teks Laudato si yang secara sengaja menambahkan kata panas bumi/geothermal, berbeda dari versi aslinya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA