Floresa.co – Aktivis di Manggarai Barat mengingatkan pemerintah untuk menyikapi secara serius kasus penyelundupan rusa dari Taman Nasional Komodo [TN Komodo] baru-baru ini.
Selama ini, kata Doni Parera, seorang pegiat sosial, petugas tidak responsif terhadap pengaduan warga tentang perburuan liar di TN Komodo, terutama terhadap rusa.
Kasus penyelundupan 10 ekor rusa dari TN Komodo terungkap setelah Kepolisian Sektor Sape dan Personel Kodim 1608 Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat [NTB] menangkap tiga orang terduga pelaku pada 8 September.
Ketiganya, masing-masing berinisial MS [24], JD [39] dan TF [25] ditangkap di Desa Bugis, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima pada pukul 02.00 Wita.
Mereka merupakan warga Desa Sie, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima.
Kapolsek Sape, AKP Masdidin berkata, penangkapan bermula ketika anggotanya sedang melintas di persimpangan Desa Bugis dan melihat mobil Toyota Avanza warna putih dengan nomor polisi EA 1458 YE yang mencurigakan.
Mobil itu melaju dengan lambat, seolah-olah membawa muatan yang berat, katanya.
Para petugas lalu menghentikan dan memeriksa mobil itu, hingga menemukan 10 ekor rusa yang telah disembelih.
“Mereka mencoba menyamarkan barang bukti dengan cara membungkusnya menggunakan terpal,” katanya.
Masdidin berkata, pihaknya mengamankan para pelaku, 10 ekor rusa, serta kendaraan yang digunakan.
“Para terduga pelaku diserahkan ke Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bima Kota untuk proses hukum lebih lanjut sesuai dengan aturan yang berlaku,” katanya.
Doni Parera menduga, rusa yang diselundupkan itu berasal dari Pulau Rinca, salah satu pulau besar di kawasan TN Komodo.
“Kami sering mendapat laporan warga yang mengaku bertemu dengan pemburu liar atau mendengar letusan senjata di selatan pulau itu,” katanya kepada Floresa pada 11 Sepetmber.
Laporan itu, kata dia, sudah diteruskan kepada petugas Balai Taman Nasional Komodo [BTNK], tetapi “tidak direspons dengan serius,” yang menunjukkan “pengawasan di TN Komodo sangat lemah.”
Doni berkata, selama ini pemburu liar yang menargetkan mangsa komodo itu masuk melalui sisi barat yang berhadapan dengan Selat Sape.
Pengawasan di area itu, katanya, sangat lemah kendati terdapat pos jaga di sana, termasuk terhadap perahu motor yang masuk ke dalam kawasan.
Ia menduga hal itu terjadi karena minimnya petugas dan patroli yang tidak efektif.
Doni mengatakan dengan kasus ini, pengelola TN Komodo wajib dievaluasi karena menempatkan komodo yang merupakan warisan dunia ini dalam masalah.
BTNK, katanya juga mesti membuka diri pada masukan publik “supaya mereka dapat mengenali kelemahan-kelemahannya.”
Kalau tidak ada upaya membenahi kecolongan seperti ini, “maka warisan dunia ini ada dalam bahaya,” katanya.
Ia pun meminta BTNK fokus menjaga kelestarian komodo dan “jangan hanya getol kapling-kapling area dalam kawasan untuk para pebisnis.”
Pernyataannya merujuk pada pemberian izin oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungn Hidup kepada para investor untuk mendirikan hotel dan resor di dalam kawasan TN Komodo. Hal ini telah menjadi sasaran kritikan dari sejumlah pegiat sosial dalam beberapa tahun terakhir.
Sejauh ini terdapat lima perusahaan swasta yang mengantongi izin, lewat skema Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam dan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam. Luas masing-masing izin mencapai ratusan hektare.
Doni meminta BTNK untuk “berkonsentrasi saja pada upaya pelestarian satwa dalam kawasan itu.”
“Jangan lari dari tugas pokok,” katanya.
Floresa meminta tanggapan Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga melalui WhatsApp pada 11 September.
Namun, ia tidak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
Editor: Ryan Dagur