Sengkarut Tambang Bebatuan di Manggarai Barat: Beroperasi Tanpa Izin, Ada Dugaan Tebang Pilih dan Pemerasan dalam Penertiban

Sebagian perusahaan berusaha tertib usai jadi sorotan, namun ada aktivis dan wartawan tertentu yang juga menekan pengusaha lalu menawarkan jasa mengurus izin 

Floresa.co- Debu mengepul menyusul truk-truk yang melintas di perempatan Nggorang, sekitar 23 kilometer ke arah timur dari Labuan Bajo. 

Truk-truk itu mengangkut material dari sejumlah perusahaan tambang bebatuan – sebelumnya dikenal sebagai galian C – yang beroperasi di tiga desa di Kecamatan Komodo – Nggorang, Pantar dan Compang Longgo.

CV Flores Jaya Sejati milik Jemy Lasmono Nday, salah satu dari beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah itu.

Menurut pengakuan warga, badan usaha itu menggali material di bantaran Sungai Wae Dongkong di Desa Pantar yang kemudian diolah di sebuah batching plant di persawahan Satar Walang, Desa Compang Longgo.

Saat didatangi Floresa pada awal Mei, tidak ada aktivitas di batching plant itu.

“Untuk sementara batching plant belum beroperasi lagi karena alatnya rusak,” aku seorang warga setempat yang meminta Floresa tidak menyebut namanya.

Sepengetahuannya, CV Flores Jaya Sejati ikut menjual material tambang bebatuan jenis pasir dan batu [sirtu] ke Badan Usaha Milik Negara PT WIKA saat tahun lalu mengerjakan jalan raya dari Labuan Bajo ke arah selatan, Golo Mori.

Di Desa Nggorang, bersebelahan dengan Desa Compang Longgo, sebuah badan usaha lain juga beroperasi, CV Lima Bintang.

Saat didatangi Floresa, tampak truk-truk perusahaan itu mengangkut material sirtu.

Seorang warga berkata, CV Lima Bintang mengeruk sirtu di bantaran Sungai Wae Mese, dekat Nggorang.

Merujuk pada data yang diperoleh Floresa dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [PTSP] Provinsi NTT dan Satuan Polisi Pamong Praja [Satpol PP] – instansi yang biasa dikerahkan untuk penertiban tambang tidak berizin – , CV Flores Jaya Sejati dan CV Lima Bintang tidak termasuk dalam daftar badan usaha yang mengantongi izin, baik eksplorasi maupun produksi.

Ada beberapa badan usaha lain yang juga beroperasi di wilayah Desa Nggorang dan sudah mengantongi izin, termasuk PT Anugerah Nuansa Kasih dan CV JH Group. Sementara di Desa Pantar, terdapat perusahaan tambang PT Wijaya Graha Prima milik Eric Sujono dengan usaha batching plant, asphalt mixing plant dan stone crusher.

Batching plant merupakan fasilitas produksi beton untuk mencampur pasir, air, semen dan agregat lain, sementara asphalt mixing plant mesin atau alat untuk membuat campuran aspal dengan menggabungkan bahan-bahan seperti agregat dan pasir dengan aspal cair. Stone crusher, istilah untuk alat atau mesin pemecah batu.

Hingga Mei 2024, merujuk pada data PTSP Provinsi NTT, terdapat 21 izin tambang bebatuan di Manggarai Barat, 10 di antaranya izin produksi dan 11 izin eksplorasi.

Sepuluh izin produksi itu milik PT Sinar Lembor [satu izin], PT Wae Wake [dua izin], PT Floresco [empat izin], PT Wijaya Graha Prima [satu izin]; PT Karya Adhi Jaya [satu izin]; CV JH Group [satu izin] dan PT Gunung Sari Indah [dua izin].

Salah satu lokasi batching plant dan asphalt mixing plant milik PT Gunung Sari Indah di Kenari, Desa Warloka, Kecamatan Komodo. Tambang bebatuan perusahaan ini berlokasi di dekat jalan dari Labuan Bajo menuju Golo Mori. (Dokumentasi Floresa)

Sementara 11 izin eksplorasi adalah milik PT Sentral Multikon Indi, CV Tiara Mas, PT Harums Wela Modo; CV Marga Mas, PT Menara Armada Pratama, PT Nusantara Toranana Mandiri, CV Logam Bumi Sentosa; CV Padar Nusantara; PT Nucalale Tridaya Prima; PT Anugrah Nuansa Kasih dan CV Mitra Flores. Masing-masing badan usaha memiliki satu izin.

Upaya Penertiban

Polemik terkait izin pertambangan bebatuan di Manggarai Barat menjadi ramai dibicarakan setidaknya sejak tahun lalu, ketika muncul pengaduan dan protes dari kelompok aktivis, baik yang disampaikan langsung ke pemerintah maupun lewat berbagai aksi unjuk rasa.

Lorens Logam dari lembaga Pemantau Keuangan Negara [PKN] merupakan salah satu aktivis yang sering menyuarakan persoalan ini. Sejak 2023, ia mengorganisasi serangkaian aksi unjuk rasa, baik di kantor polisi maupun kantor bupati, mendesak penertiban tambang-tambang tak berizin tersebut.

Diwawancarai Floresa, Lorens mengaku desakan PKN – yang ia klaim memiliki 19 anggota di Manggarai Barat – mendapat respons dari pemerintah.

“Wakil Bupati Yulianus Weng sempat mengagendakan rapat lintas sektor bersama sejumlah pemilik perusahaan tambang,” katanya, merujuk pada sebuah rapat pada 26 Juli 2023.

Acara itu digelar di ruang rapat bupati yang dihadiri sejumlah pemilik badan usaha tambang bebatuan, baik yang berizin maupun tidak berizin. 

Dalam dokumen yang diperlihatkan kepada Floresa, Lorens mencatat 13 perusahaan yang dinyatakan belum memiliki izin hingga Juli 2023. Ia menuding dua dari perusahaan itu kerap memenangi tender suplai material proyek di Labuan Bajo, baik sebagai sub kontraktor maupun sebagai pemborong. 

Dalam pertemuan itu, sejumlah pemilik tambang menandatangani surat pernyataan berisi pengakuan telah melanggar aturan karena melakukan aktivitas operasi, kendati belum mengantongi izin. Mereka juga janji bersedia “menghentikan semua kegiatan pengelolaan atau pengembangan dan penjualan” serta siap diproses hukum apabila terbukti melanggar kesepakatan tersebut. 

Beberapa yang membuat surat pernyataan yang salinannya diperoleh Floresa adalah Direktur CV Logam Bumi Sentosa, Jemmy Lasmono Nday; Direktur CV JH Group, Johanes; dan Direktur CV Tiara Mas, Jhony Royke Maspekeh.

Pasca pertemuan itu, beberapa perusahaan memang mengurus izin produksi. Merujuk pada data PTSP Provinsi NTT, CV JH Group mendapat izin pada 4 Agustus 2023 dan 30 Januari 2024 – untuk dua lokasi berbeda, PT Karya Adhi Jaya pada 6 September 2023 dan 15 Desember 2023 – untuk dua lokasi berbeda, PT Nusa Tora Mandiri pada 7 September 2023 dan PT Mitra Flores pada 3 Januari 2024.

Kepala Satpol PP Manggarai Barat, Yeremias Ontong mengakui bahwa badan usaha yang diadukan Lorens itu umumnya baru mendapatkan izin eksplorasi, namun sudah melakukan aktivitas produksi.

Floresa menanyakan soal CV Flores Jaya Sejati di Desa Pantar, baik kepada Yeremias maupun kepada Lorens. Yeremias mengakui badan usaha tersebut tidak mengantongi izin, namun “selama ini memang tetap beroperasi.” Soal CV Lima Bintang, ia mengaku baru mendengar namanya.

Sementara Lorens mengklaim tidak mengetahui aktivitas CV Flores Jaya Sejati dan CV Lima Bintang. Keduanya memang tidak tercakup dalam daftar perusahaan yang pernah ia laporkan.

Floresa menghubungi Jemy Lasmono Nday, pemilik CV Flores Jaya Sejati dan CV Logam Bumi Santoso pada 14 Mei untuk wawancara, namun ia tidak merespons, kendati pesan yang dikirim via WhatsApp sudah dibaca.

Batching Plant dan Asphalt Mixing Plant

Sengkarut perizinan di Manggarai Barat tidak hanya soal tambang bebatuan, tetapi juga batching plant dan asphalt mixing plant. Berbeda dengan tambang bebatuan yang izinnya diterbitkan provinsi, keduanya oleh pemerintah kabupaten.

Permohonan izin dilakukan melalui Online Single Submission atau OSS, sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.

Sejumlah lokasi batching plant dan asphalt mixing plant yang diterbitkan lewat sistem itu tidak sesuai dengan Kesesuaian Ketentuan Peruntukan Tata Ruang [KKPR].

Menjerite, Kelurahan Wae Kelambu, misalnya masuk zona pergudangan, namun terdapat dua batching plant di wilayah itu, milik PT Wijaya Graha Prima dan CV Flores Jaya Sejati.

Matias, seorang karyawan PT Wijaya Graha Prima berkata kepada Floresa saat ditemui di lokasi, batching plant itu untuk pembangunan jalan Lancang-Pelabuhan Multipurpose yang dikerjakan PT Brantas Abipraya. 

Ia mengaku tiga minggu sebelumnya, Satpol PP, pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan pegawai Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang sempat mengecek lokasi dan mendeteksi dampak aktivitas perusahaan itu.

Matias berkata pengoperasian batching plant itu bersifat sementara, hanya selama satu tahun sesuai dengan jangka waktu pengerjaan proyek.

“Kalau proyek selesai, maka kami akan pindah ke tempat lain,” katanya.

Sekitar 500 meter ke arah selatan, terdapat batching plant lain milik CV Flores Jaya Sejati. Berbeda dengan milik PT Wijaya Graha Prima yang bersifat sementara, batching plant itu bersifat permanen, menurut seorang staf CV Flores Jaya Sejati.

Ia mengaku batching plant yang didirikan tahun lalu itu sudah mengantongi izin.

“Kami membayar pajak ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan beberapa kali dinas mendatangi lokasi untuk mengambil material agar diuji kelayakanya di lab,” katanya kepada Floresa.

Lorens Logam berkata, kendati PT Wijaya Graha Prima dan CV Flores Jaya Sejati telah mengantongi izin, aktivitas keduanya melanggar tata ruang.

“Mestinya tidak boleh ada aktivitas industri di situ,” katanya. “Saya tidak tahu mengapa kedua perusahaan itu mendirikan batching plant di situ, apalagi ada yang permanen.”

Jika kedua perusahaan tersebut tetap melakukan aktivitas di wilayah itu, “kami akan mendorong Satpol PP menertibkannya.”

Floresa mendatangi kantor PT Wijaya Graha Prima di Jalan Pede, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo pada 14 Mei. Namun, seorang staf berkata, direktur perusahaan itu, Eric Sasono sudah beberapa hari tidak berkantor. Staf itu pun tidak melayani permintaan wawancara. Sementara staf lain perusahaan itu yang ditemui di lokasi memberi informasi berbeda bahwa Eric biasanya di kantor. 

Dalam sejumlah upaya penertiban izin tambang di Manggarai Barat, – baik tambang bebatuan maupun batching plant dan asphalt mixing plant – dugaan praktik tebang pilih menyeruak.

Wemmi Sutanto dari PT Anugerah Nuansa Kasih menyoroti penutupan batching plant miliknya di Binongko. Izinnya dicabut Dinas PTSP Manggarai Barat usai dilaporkan oleh PKN.

“Menurut mereka [PTSP], sesuai tata ruang aktivitas [di wilayah] tersebut tidak diperbolehkan,” katanya.

Ia menganggapnya sebagai kejanggalan karena baru diberitahu tidak bisa mendirikan batching plant ketika sudah mendapat izin lewat OSS. 

Ia berkata, semestinya OSS terhubung dengan tata ruang, sehingga saat mengajukan izin, sistem akan menolak jika titik lokasi yang diajukan tidak sesuai dengan tata ruang. 

Kepala Bidang PTSP Manggarai Barat, Teddy Barends berkata, setiap pelaku usaha yang mengajukan permohonan izin OSS, seperti untuk batching plant dan asphalt mixing plant memang ada yang izinnya terbit otomatis karena termasuk jenis usaha tingkat risiko menengah rendah.

Namun, kata dia, tidak semuanya demikian, karena perizinan mesti mendapat validasi dari persyaratan dasar yakni KKPR dan persetujuan lingkungan.

Kendati demikian, Wemmi mempertanyakan tidak adanya penertiban serupa dengan batching plant lain, seperti milik PT Wijaya Graha Prima dan CV Flores Jaya Sejati, yang hingga kini masih beroperasi.

Lokasi batching plant, asphalt mixing plant dan stone crusher PT Anugerah Nuansa Kasih milk Wemmi Sutanto di Desa Nggorang, Kecamatan Komodo. (Dokumentasi Floresa)

Dugaan Praktik Pemerasan

Di sisi lain, penerbitan izin tambang di Manggarai Barat diwarnai dugaan praktik pemerasan. Tudingan mengarah kepada PKN, baik Lorens Logam maupun anggotanya serta oknum wartawan tertentu berbasis di Labuan Bajo.

Sumber Floresa, yang adalah sejumlah pengusaha tambang, mengaku pernah didekati anggota PKN yang meminta untuk mengurus izin agar usaha mereka “tidak diganggu.”

“Permintaan mereka ratusan juta, lalu janjinya aktivitas bisa jalan terus,” kata salah satu sumber.

“Kemungkinan mereka meminta yang sama kepada para semua pengusaha,” tambahnya. 

Ia berkata, “tampaknya ada pengusaha tertentu yang memang akhirnya membayar, sehingga tidak diganggu atau dibiarkan meski mereka juga tidak punya izin.”

Kepada Floresa, Lorens Logam menampik tudingan tersebut. Ia hanya mengakui bahwa ada praktik pemerasan seperti itu, tapi oleh orang dan lembaga tertentu yang mengklaim sebagai anggota PKN.

“Saya memberi ruang kepada pihak manapun untuk melaporkan jika benar [PKN] telah menerima uang dari pengusaha tambang,” katanya.

Lorens tidak memerinci nama orang dan lembaga yang ia sebut mengatasnamakan PKN. Ia hanya menyebut salah satunya lembaga berbasis di Manggarai Timur, juga tidak menyebut nama lembaga tersebut.

“Mereka minta uang Rp200 juta hingga Rp300 juta ke perusahan tambang yang kami segel,” katanya.

Setelah mendapatkan Rp10 hingga Rp20 juta dari pengusaha, katanya, lembaga bersangkutan kembali ke Manggarai Timur. Namun, Lorens tidak merinci badan usaha apa yang memberikan uang itu.

Lorens juga mengakui bahwa PKN juga menawarkan jasa mengurus izin tambang. 

Salah satunya kepada PT. Anugerah Karya Agra Sentosa [AKAS], perusahan tambang yang beraktivitas di Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak.

“Waktu itu kami membuat perjanjian kontrak di mana kami meminta mereka membayar Rp100 juta,” katanya.

Lorens Logam, Ketua Lembaga Pemantau Keuangan Negara (PKN) Manggarai Barat yang kerap mengkritisi aktivitas tambang bebatuan ilegal di Manggarai Barat. (Dokumentasi Floresa)

Namun, klaimnya, penawaran itu atas permintaan staf PT AKAS yang menghubunginya, meminta bantuan untuk mengurus izin tambang bebatuan, batching plant dan asphalt mixing plant dengan mendekati Bupati Edistasius Endi agar mengeluarkan rekomendasi.

Ia berkata, PT AKAS telah mendapat izin dari Pemerintah Desa Golo Ronggot, tetapi belum mendapat rekomendasi dari bupati.

“Atas dasar itu, PT AKAS meminta kami untuk membantu proses perizinan itu,” katanya.

Namun, katanya, kontrak itu kemudian tidak jadi diteken karena PT AKAS meminta bantuan pihak lain untuk mengurus izin.

Lorens menyebut pihak lain yang ikut menawarkan jasa adalah oknum wartawan di Labuan Bajo, tanpa merinci identitas mereka.

Namun, katanya, hingga saat ini PT. AKAS belum mengantongi izin karena belum mendapat rekomendasi dari bupati.

Bagaimanapun, klaim Lorens, advokasi yang selama ini dilakukan PKN bertujuan agar perusahaan-perusahaan tambang “tertib hukum dan administrasi.” 

Ia menyebut hasilnya adalah sejumlah perusahaan mengurus izin produksi pasca jadi sorotan, yang berarti “advokasi kami punya dampak.”

Pengurusan Izin Butuh Ratusan Juta

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara, izin pertambangan berupa Izin Usaha Pertambangan [IUP], Izin Pertambangan Rakyat [IPR], dan Izin Usaha Pertambangan Khusus [IUPK]. Namun, melalui perubahan UU itu dalam UU Nomor 3 Tahun 2020, pemberian izin diperluas lagi, salah satunya Surat Izin Penambangan Batuan [SIPB]. UU itu juga sekaligus mengubah istilah galian C ke tambang bebatuan.

SIPB adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Maksud batuan jenis tertentu atau keperluan tertentu meliputi batuan yang memiliki sifat material lepas berupa tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, kerikil berpasir alami [sirtu], tanah, pasir laut, tanah merah [laterit], tanah liat dan batu gamping.

Permohonan SIPB hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Pertambangan [WUP], dengan luas maksimal 50 hektare, menurut UU itu. Penetapan WUP menjadi landasan penerbitan izin.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Manggarai Barat, Maria Immaculata Etris Babur berkata, izin pertambangan dan minerba bukan kewenangan kabupaten, “tetapi sudah menjadi kewenangan provinsi.”

Hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang mengatur izin pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi.

Dalam peraturan itu, kata dia, juga sudah ada pembagian kewenangan, di mana dinas perizinan kabupaten memiliki kewenangan untuk memberikan izin bagi semua jenis usaha, kecuali izin usaha pertambangan.

Pengurusan izin membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hal yang diduga jadi pemicu masih berjamurnya tambang ilegal.

Wemmi Sutanto berkata, pengurusan izin bisa memakan waktu lebih dari setahun dengan ongkos minimal sebesar Rp200 juta untuk pengurusan dokumen lingkungan seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan [UKL UPL] biaya lainnnya.

“Mungkin karena waktunya lama dan biayanya mahal, makanya ada perusahaan yang belum mengurus izin,” katanya.

Lorens Logam menduga biaya yang mahal membuat beberapa perusahaan enggan mengurus izin. Di sisi lain, kata dia, perusahan-perusahaan itu tidak mempunyai jaminan akan mendapat proyek dari pemerintah.

“Kalau urus izin kilat, biayanya bisa mencapai Rp500 juta,” kata Lorens.

“Sementara tidak semua perusahaan mendapat proyek. Mungkin mereka pikir percuma urus izin kalau toh nanti tidak dapat proyek,” tambahnya.

Sementara Kasatpol PP, Yeremias Ontong menepis anggapan bahwa selama ini pihaknya melakukan penertiban karena ada tekanan pihak lain. 

Ia menyebut melakukan hal demikian karena perintah undang-undang. Ia juga mengklaim upaya penertiban sebetulnya dilakukan semenjak Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat. 

Peraturan daerah itu tidak secara khusus mengatur tambang bebatuan, namun berbicara tentang ketertiban sungai, irigasi dan kolam. Di dalamnya diinstruksikan bahwa setiap aktivitas pengambilan batu maupun pasir di sungai atau di mana saja harus memperoleh izin. 

Namun, perubahan terjadi pasca penerbitan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara, yang mengatur tentang perizinan tambang yang bukan lagi menjadi kewenangan kabupaten, tetapi provinsi.

Karena itu, setiap kali mendapati informasi tentang aktivitas perusahaan yang diduga ilegal, pihaknya hanya melakukan sidak dan memberi imbauan untuk menaati izin.

Kepala Satpol PP Manggarai Barat, Yeremias Ontong. (Dokumentasi Floresa)

Karpet Merah karena Dekat dengan Bupati

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat seharusnya bisa bekerja maksimal untuk melakukan penertiban terhadap perusahaan tidak berizin.

Praktik tambang bebatuan ilegal, kata Lorens Logam, “bukan tanpa sepengetahuan pemerintah” tapi “semacam dibiarkan karena ada kepentingan.”

Ia menuding sejumlah perusahaan tambang yang mendapat izin punya andil dalam memenangkan bupati dan wakil bupati saat Pilkada 2019. 

Lorens juga mencap Bidang Tata Ruang di Dinas Cipta Karya dan Penataan Ruang sebagai lembaga pemerintah yang  “kepala batu” soal perizinan.

Ia mengklaim, begitu ada permohonan izin di suatu lokasi oleh perusahaan yang berafiliasi dengan bupati, maka Bagian Tata Ruang memberikan rekomendasi. Namun, kata dia, jika perusahaan yang tidak berafiliasi dengan bupati, kendati permohonannya pada lokasi yang sama, tidak disetujui.

Ia berkata, sebetulnya ketika petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendatangi Labuan Bajo pada tahun lalu, penertiban juga menyentuh perusahaan tambang bebatuan karena kebocoran pendapatan daerah terbanyak justru dari sana.

Ia menjelaskan, setiap pelaku usaha berbadan hukum perusahaan maupun perorangan wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, sebagai administrasi awal terkait siklus keuangan suatu usaha, baik pengeluaran maupun pendapatan perusahaan. Dasar penarikan pajak, kata dia, dihitung dari seberapa besar pendapatan perusahaan tertentu. 

“Kalau material dari perusahan ilegal ini digunakan pada proyek pemerintah, itu sudah ada mekanisme perhitungannya, tetapi bagaimana kalau digunakan oleh swasta?” katanya 

Floresa mendatangi Kepala Bidang Tata Ruang, Vian Sukut pada 16 Mei untuk meminta tanggapan terhadap sejumlah tudingan Lorens, namun salah satu pegawai berkata ia sedang berada di luar kota. Sementara permintaan tanggapan via WhatsApp disampaikan pada 20 dan 29 Mei tidak direspons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua.

Floresa meminta tanggapan Bupati Edistasius Endi melalui WhatsApp pada 10 Juni, terutama terkait tudingan Lorens soal kedekatannya dengan pengusaha tambang bebatuan tertentu. Ia hanya meminta berkoordinasi dengan Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Dinas Cipta Karya dan Dinas Lingkungan Hidup.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Vinsensius Gande. (Dokumentasi Floresa)

Sementara dalam wawancara sebelumnya dengan Floresa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Vinsensius Gande berkata, untuk tambang bebatuan, dinasnya hanya mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap tambang-tambang yang berizin. 

Sementara aktivitas batching plant dan asphalt mixing plant, Vinsensius berkata hanya mengeluarkan peraturan teknis untuk diuji saat pelaksanaan. Apabila pelaksanaanya memenuhi peraturan teknis itu, kata dia, baru mengeluarkan Surat Layak Operasi.

Laporan ini ditulis oleh Andre Babur dan Herry Kabut.

Editor: Ryan Dagur 

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya