Ambil Berkat dari Laut, Keyakinan Orang Lamalera Soal Penangkapan Paus

Meski judul buku Robert Harrison Barnes mengandung kata "hunters" yang berarti “para pemburu,” ia tak sekalipun menyebut “pemburu” untuk nelayan Lamalera pada setiap halaman

Judul buku: Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera; Penulis: Robert Harrison Barnes; Jumlah halaman: xix + 437; Tahun terbit: 1996; Penerbit: Oxford University Press


“Sepiring sinar Matahari itu bernama Lamalera,” tulis antropolog Robert Harrison Barnes dalam Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera.

Secara denotatif, lama berarti piring dan lera untuk Matahari.

Desa nelayan di selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur itu langsung terhubung dengan Laut Sawu “yang luas lagi lembut, sumber dan tujuan hidup warga Lamalera.”

Barnes berpulang pada 6 Juli. 

Selama nyaris lima dekade, profesor emeritus asal Amerika Serikat tersebut meneliti kehidupan masyarakat NTT, yang sebagian besar ia tempuh di Lembata.

Semula ia tak berencana meneliti di Lamalera. 

Pada Juli 1970, Barnes hanya mampir sebentar di Lamalera ketika berjeda dari penelitiannya di Kedang, wilayah pegunungan utara Lembata.

Namun, justru dari persinggahan sejenak itu ia memutuskan untuk kelak meriset di selatan Lembata, pulau yang ia gambarkan “ibarat seekor burung yang melangit.”

Di tengah Laut Sawu, nelayan memperhatikan gerakan seekor paus yang berenang di dekat peledang, perahu tradisional Lamalera
Di tengah Laut Sawu, nelayan memperhatikan gerakan seekor paus yang berenang di dekat peledang, perahu tradisional Lamalera. (Arnold Simanjuntak untuk Floresa)

Bukan Pemburu

“Saya tak mengerti bahasa Lamaholot,” tulis Barnes yang fasih berbahasa Indonesia, mengenang masa awal meriset di Lamalera. 

Bahasa Lamaholot digunakan warga yang tinggal di Flores Timur, Pulau Adonara, Pulau Solor dan wilayah Lembata selain Kedang. 

Meski namanya sama-sama Lamaholot, tetapi warga Lamalera “melafalkannya dengan intonasi tertentu. Seperti kidung.”

Sesuai rekomendasi sejumlah warga Lamalera, Barnes lalu mencari Morfologi Dialek Lamalera, buku yang ditulis Gregorius “Gorys” Keraf pada 1978. 

Di kemudian hari, Barnes mencatat dialek Lamalera hanya mengenal 15 konsonan–mengecualikan c, q, v, w, x, y dan z.

Dialek Lamalera “membedakan dirinya dari pelafalan Lamaholot pada umumnya di tempat lain.”

Lamat-lamat Barnes terbiasa berdialek Lamalera dengan rendah dan tinggi intonasi serupa sedang bersyair.

Secara keseluruhan – sebelum buku ini terbit – ia empat kali datang meriset ke Lamalera, yakni pada 1979, 1982, 1987 dan 1995. Waktu terlamanya di desa tepi laut itu tercatat pada Juli hingga Desember 1982.

Semenjak awal meneliti kehidupan di Lamalera, tulis Barnes, “saya terkesima dengan cara warga menamai dan memahami fase benda-benda langit.”

Terhadap bulan, nelayan Lamalera bahkan menempatkan sebutan khusus, bergantung pada tiap-tiap waktu kemunculan serta fasenya. 

Secara umum di Lamalera, bulan disebut fula. Bulan baru dikenal sebagai fula mitang. Saat bulan penuh tampak pada langit malam, warga akan berseru-seru: “Fula kukar nong!” [Bulan purnama, jangan melaut!]

Ketika pada tujuh tahun silam saya pertama kali datang ke Lamalera, seorang warga Lamalera, Ignasius Praso Beding berkata, “Kami diajarkan gelombang selalu mengikuti pergerakan bulan.”

Bulan purnama diiringi kenaikan permukaan laut. Selain berisiko bagi nelayan yang melaut, air yang meninggi membuat ikan enggan mendekat.

Nasu, sapaannya, merupakan bungsu dari lima bersaudara. Warga memercayakan kedua kakak laki-lakinya–masing-masing Bona Beding dan Lois Beding–sebagai lamafa atau pemimpin perahu penangkapan paus.

Lois Beding (berkaos merah) dan Ignasius Praso Beding (berkaos putih) bersiaga mendaratkan peledang ke tepi perbatasan pasang-surut Lamalera, Pulau Lembata. Foto diambil pada 13 Juni 2022. (Anastasia Ika/Floresa)

Pengetahuan tradisional itulah yang “pada akhirnya membantu nelayan mengetahui waktu paling tepat untuk mengambil berkat dari laut.”

Meski judul bukunya mengandung kata hunters yang dalam bahasa Indonesia berarti “para pemburu,” Barnes tak sekalipun menyebut “pemburu” yang merujuk pada nelayan Lamalera pada setiap halamannya. 

Sebaliknya, ia menggunakan frasa lelaki Lamalera, pemimpin perahu, matros atau awak perahu dan lamafa.

Keyakinannya akan nelayan Lamalera yang bukan pemburu sejalan dengan penegasan Bona, sulung dari dua adik-beradik lamafa

“Mengapa banyak yang menyebut kami pemburu?,” katanya pada tujuh tahun silam, “kami hanya nelayan yang harus mengambil berkat dari laut. Salah satunya ialah paus.”

Bila tak mengambil berkat dari laut, “seluruh desa bisa terkena malapetaka.”

Janji Bertemu di Laut

Laut Sawu merupakan pertemuan antara dua perairan dalam. Masing-masing adalah Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Arusnya kuat dengan dasar laut yang curam.

Pada Mei hingga Oktober, kawanan mamalia laut bermigrasi dari wilayah selatan Australia menuju utara. 

Perlintasan mamalia laut itu–tak terkecuali paus dan lumba-lumba–termasuk perairan Sawu yang dekat dengan pesisir Lamalera.

Di Lamalera yang sebagian besar warganya menganut kepercayaan Katolik, kedatangan paus dan lumba-lumba disambut dengan Misa pembukaan musim melaut. 

Warga menamainya lefa atau janji bertemu di laut. Lefa lumrahnya digelar awal Mei, melibatkan seluruh warga desa. 

Para perempuan Lamalera mendaraskan doa di tepi Laut Sawu. Foto diambil pada 26 April 2017
Para perempuan Lamalera mendaraskan doa di tepi Laut Sawu. Foto diambil pada 26 April 2017. (Arnold Simanjuntak untuk Floresa)

Selepas Misa, para lelaki “bergotong-royong melautkan perahu dari pantai kecil Lamalera,” catat Barnes mengacu pada suatu perbatasan pasang-surut nan sepi yang ditumbuhi pohon asam dan ketapang.

Pantai kecil yang diceritakan Barnes masih memiliki sebutan yang sama ketika saya datang kembali pada Juni 2022. 

Sesudah seharian libur memukat, pertengahan tahun itu Lois Beding mengajak saya melaut. 

“Kita berangkat dari pantai kecil,” kata Lois.

Pantai kecil itu sejuk, dipayungi pohon-pohon asam dan ketapang, persis penggambaran Barnes.

Berjalan paling belakang, Ignasius Praso Beding, adiknya, memikul beberapa gulungan pukat.

Di tengah Laut Sawu, Lois bercerita soal rencana pemerintah daerah selama setidaknya 10 tahun terakhir.

“Pariwisata hendak digalakkan di Lamalera. Kami didorong bikin suvenir dan tanam sayur, tak lagi tangkap paus,” katanya yang disambut Nasu, panggilan Ignasius, “Apa yang bisa ditanam di sini? Yang bisa tumbuh hanya pohon kayu putih.”

Sisi jalan utama dari Lewoleba–ibu kota Kabupaten Lembata–menuju Lamalera memang didominasi pohon kayu putih. Tanahnya tandus dan kemerahan. 

Untuk memperoleh sayur, “warga Lamalera menukar daging paus dengan hasil bumi dari wilayah pegunungan,” tulis Barnes. 

Dua tahun lalu saat saya mengunjungi Lembata, pasar barter digelar setiap Jumat di Pasar Wulandoni–dekat dengan kantor Kecamatan Wulandoni yang menjadi induk administratif Lamalera.

Perempuan Lamalera menjinjing sebakul daging paus yang sudah dikeringkan untuk dibarter dengan sayur dan buah dari wilayah pegunungan Lembata. Foto diambil di pasar barter Wulandoni, Pulau Lembata pada 9 Juni 2022.
Perempuan Lamalera menjinjing sebakul daging paus yang sudah dikeringkan untuk dibarter dengan sayur dan buah dari wilayah pegunungan Lembata. Foto diambil di pasar barter Wulandoni, Pulau Lembata pada 9 Juni 2022. (Anastasia Ika/Floresa)

Dorongan bagi nelayan Lamalera untuk tak lagi menangkap paus seiring seruan pemerhati lingkungan global akan pentingnya merawat kelangsungan mamalia laut itu.

Bona Beding merespons wacana pembangunan di kampung halamannya, berkata “apapun bentuk pembangunannya tak boleh menyisihkan ontologi Lamalera.”

Pada saat yang sama, “kemahiran warga Lamalera, katakanlah sejak mereka bisa berjalan dan berbicara, ialah berenang dan melaut,” tulis Barnes. 

“Pembangunan pariwisata mungkin berhasil di tempat lain,” tulisnya pada catatan pemungkas [postscript] bukunya, “tetapi agak sulit diterapkan di Lamalera.”

Di Lamalera, “warga selalu bercita-cita kembali ke kampung dan melaut setelah mencoba bekerja di tempat-tempat yang sebetulnya asing bagi mereka.”

Bagi Lois, “berkat bagi warga sedesa adanya di laut. Kami harus terus ke sana.”

Hari itu Selasa. Saya berada di atas sebuah peledang, sebutan bagi perahu tradisional Lamalera; melaut bersama adik-beradik Beding. 

Sepanjang subuh hingga selepas jam 12 Wita, hanya terlihat seekor paus berenang di bawah permukaan laut yang berdekatan dengan sisi peledang.

Kami membiarkannya pergi. 

Sementara Laut Sawu tetap tenang, luas dan lembut, seperti digambarkan Barnes. 

Ia menutup bab penangkapan paus dalam bukunya dengan kidung pulang nelayan Lamalera:

Sora taran bala tala lefo rai/Tuba bera rai nai ribu lefo gole/Kide ina-fai tuba bera ra nai// [Kerbau yang bertanduk gading/Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana/Seluruh warga merindukan kehadiranmu. Ayo, segeralah kita ke sana//]

Editor: Ryan Dagur

Literasi Lainnya

Belajar dari Kisah Hidup dan Pemikiran Karl Marx

Pemikiran Marx masih relevan untuk membaca situasi terkini di tengah ekspansi kapitalisme, termasuk di Flores

Memperjuangkan Ruang Hidup Bersama: Apa yang Bisa Warga Flores Pelajari dari Perjuangan di Marinaleda, Spanyol?

Selain kepemimpinan merakyat, Marinaleda juga dibentuk oleh solidaritas yang kuat, komitmen perjuangan dan utopia

Menakar Manfaat Ekowisata bagi Warga Adat di Sekitar Sempadan Taman Wisata Alam Ruteng

Sosiolog menilai ekowisata belum sepenuhnya peka dan bersimpati terhadap kehidupan warga adat

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca