Judul kajian: Ecotourism and Environmental Conservation in Western Flores: Who Benefits?; Penulis: Maribeth Erb; Jumlah halaman: 18; Tahun terbit: 2014; Penerbit: Jurnal Antropologi Indonesia, Juli 2014
Ketika Josep Jelahat dan Maribeth Erb menyambangi kantor Taman Wisata Alam [TWA] di Ruteng, Manggarai pada 24 tahun silam, mereka diberi data-data sempadan hutan lindung itu disertai catatan: tapal batasnya tak menyimpang dari peninggalan Belanda.
Josep merupakan sosiolog di Universitas Nusa Cendana, Kupang. Sementara Maribeth merupakan Associate Professor di Departemen Antropologi dan Sosiologi di National University of Singapore.
Sehabis melawat ke kantor TWA Ruteng pada Agustus 2000, keduanya mengunjungi tiga kampung di Manggarai Timur.
Ros, Careng dan Tangkul–nama ketiga kampung itu–tercakup dalam Kecamatan Lamba Leda Timur.
Di tiga kampung itu mereka berbicara dengan warga adat yang tinggal bersisian sempadan TWA Ruteng.
Kepada kedua sosiolog, warga mengaku tapal batas terbaru TWA Ruteng berbeda dengan sempadan berbentuk batu bertumpuk yang ditetapkan pada masa kolonial Belanda.
Tapal batas terbaru TWA Ruteng–yang berulang kali direvisi semenjak penjajahan Belanda–kian mendekati perkebunan kopi warga.
Kedua sosiolog beranggapan perbedaan pandangan soal sempadan inilah yang “memicu kontestasi menahun terkait tanah di sekitar TWA Ruteng.”
Sempadan Mana yang Betul?
Pada 1980-an, “pemerintah kemari untuk mengganti susunan batu dengan hanjuang,” kata Jon Fransiskus Basiru ketika ditemui Floresa pada September 2023.
Jon merupakan seorang tetua adat di Lembah Colol, sentra perkebunan kopi rakyat di Manggarai Timur.
Andong atau hanjuang [Cordyline fruticosa] termasuk tanaman berbatang tunggal dengan sedikit atau bahkan tanpa cabang.
Keajekan batang yang tak bercabang ke berbagai sisi kerap menjadikan hanjuang sebagai pembatas antarkebun pada kontur lereng dengan jalur-jalur menyerong.
Selepas 1980-an, kata Jon, pemerintah beberapa kali membetulkan sempadan.
Namun, “pembetulan tapal batas terus menggerus lahan kopi warga.”
Pengungkapan Jon sejalan temuan Maribeth dalam studi bertajuk Ecotourism and Environmental Conservation in Western Flores: Who Benefits?
Warga yang tinggal bersisian dengan sempadan TWA Ruteng, tulis Maribeth, “mengaku sempadan terbaru TWA Ruteng turut mencomot 50% dari keseluruhan luas lahan perkebunan warga.”
Kepada Maribeth dan Josep, “warga juga mengeluhkan tanah leluhur yang diambil alih pemerintah lewat TWA Ruteng.”
Sejumlah warga Kampung Ros sempat mengajak kedua sosiolog ke puncak suatu bukit. Di sana mereka mencari-cari penanda batas peninggalan Belanda dan “kami menemukannya.”
Di dekat puncak bukit itu “kami melihat banyak hanjuang tumbuh serupa pagar pengitar, menandai permukiman yang telah ditinggalkan.”
Menuruni bukit melalui jalan setapak, mereka akhirnya “menemukan sempadan terbaru yang bersemen, jauh di bawah lereng.”
Beri Bantuan, Dikriminalisasi
Sebagai sosiolog, Maribeth banyak meneliti kehidupan warga adat, keterhubungan mereka dengan alam dan bagaimana “rencana konservasi terpadu” rupanya tak banyak melibatkan masyarakat–yang semestinya menjadi penerima manfaat utama dari setiap programnya.
Dalam studi terkait TWA Ruteng yang diterbitkan Juli 2014 itu, ia menyisipkan sejumlah kecemasan yang, baginya, mesti ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan.
Beberapa “kekhawatiran dalam penelitian kami,” tulis Maribeth, terkait “minimnya keterlibatan warga adat setempat dalam pengelolaan hutan lindung.”
Mengadaptasi kajian Randall Kramer yang bertajuk The Economics of the Siberut and Ruteng Protected Areas pada 1995, Maribeth kembali mengingatkan delapan poin pengingat ekonom lingkungan asal Amerika Serikat itu.
Salah satu poin pengingat Randall terkait jasa ekosistem yang, menurut temuan Maribeth, “belum memberikan manfaat bagi penghidupan warga setempat di tengah-tengah pengurangan lahan disertai pertambahan populasi.”
Maribeth tak memungkiri sejumlah warga yang berjaga di pintu masuk TWA Ruteng dan pengunjung membayar tiket ke mereka.
Namun, mereka tak fasih berbahasa Inggris. Sementara tak ada informasi dan pemandu yang tersedia di hutan lindung itu.
Walaupun jumlah wisatawan asing mungkin sekali bertambah, “kami khawatir tetap tak akan meningkatkan manfaat bagi warga lokal.”
Sementara itu, para ahli, konsultan dan perwakilan kantor pemerintah datang ke kampung-kampung sekitar TWA Ruteng, tulisnya, “dan meyakinkan penduduk setempat bahwa mereka lah yang paling memahami hutan.”
Mereka lalu duduk-duduk di rumah warga, mendengarkan cerita tentang khasiat tanaman hutan. “Tetapi mereka tak sekalipun menginjakkan kaki di hutan,” tulisnya.
“Apakah warga menerima kompensasi atas pengetahuan yang telah mereka bagikan ke para ‘pengunjung’ itu?,” kata Maribeth separuh bertanya.
“Tidak. Bersamaan dengan bantuan yang mereka berikan, warga lain justru dikriminalisasi,” tulisnya.
Pada saat yang sama, banyak warga yang tak mengerti alasan lahan kopi mereka diambil alih dan akhirnya tercakup dalam TWA Ruteng.
Berdasarkan temuan Maribeth yang berkeliling ke lahan kopi di sekitar TWA Ruteng, “kawasan itu, selain ditumbuhi kopi sejak zaman kolonial Belanda, hanya disesaki rumput-rumputan. Bukannya hutan dengan keanekaragaman hayati.”
Korupsi
Dalam studinya, Maribeth juga menyoroti praktik korupsi di TWA Ruteng.
Bahkan sebelum TWA Ruteng dibentuk pada awal 1990-an, tulisnya, “sudah banyak tuduhan akan ‘transaksi kotor’ di TWA Ruteng.”
Salah satunya turut melibatkan Frans Dula Burhan, mantan bupati Manggarai pada 1978-1984 dan terpilih kembali pada 1984-1989.
Ia “rupanya pernah memberikan hak kepada seorang pengusaha asal Pulau Jawa guna menebang pohon dan menggantinya dengan kopi di sekitar Danau Rana Mese.”
Danau Rana Mese tercakup dalam kawasan TWA Ruteng.
Warga sekitar danau memprotes Frans Dula lantaran menyerahkan tanah tersebut kepada orang dari luar pulau. Sebagai bentuk protes, mereka lalu mencuri kopi yang mulai berbuah di sekitar Rana Mese.
Kasus penyerahan pengelolaan di sekitar Danau Rana Mese beranjak menjadi tuntutan hukum yang turut menyeret Frans Dula.
Maribeth mencatat penduduk desa sekitar mempunyai banyak keluhan tentang bagaimana pejabat korup menghancurkan hutan.
Namun, warga desa justru yang “selalu disalahkan.”
Harapan akan Ekowisata Sejati
Hasil riset Maribeth memang terbit 10 tahun silam. Kendati begitu, keberadaan kajian tersebut masih relevan dengan sengketa lahan menahun di kawasan TWA Ruteng.
Mikael Ane, seorang warga Ngkiong di Desa Ngkiong Dora, Lamba Leda Timur dibebaskan Mahkamah Agung pada 6 Mei.
Ia sebelumnya divonis penjara lantaran dianggap membangun rumah di kawasan TWA Ruteng–putusan yang, oleh pendamping hukumnya, dinilai sebagai kriminalisasi terhadap warga adat.
Menyimpulkan hasil risetnya di sekitar TWA Ruteng, Maribeth “mengamati ekowisata yang tampaknya digunakan sebagai strategi untuk mencabut hak warga adat atas tanah leluhur.”
Meski wacana ekowisata “tampaknya bersimpati dan peka terhadap cara hidup tradisional,” tulisnya, “belum ada bukti yang mengarah ke keduanya.”
Ia berharap penelitian lanjutan–entah siapapun kelak menuliskannya–akan mampu mengungkap kebenaran atas sempadan sekaligus menumbuhkan ekowisata sejati yang bermanfaat bagi warga adat di sekitar TWA Ruteng.
Editor: Ryan Dagur