Ikhtiar Wujudkan Lingkungan Kerja yang Aman, Floresa Rilis Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Gender

Penyusunan pedoman ini didukung oleh AMSI

Floresa.co – Floresa menerbitkan pedoman pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual berbasis gender, bagian dari upaya menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi semua anggota tim.

Pedoman Floresa untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Gender ini diterbitkan pada 13 September, setelah disusun selama sebulan lebih.

Penyusunan pedoman yang didukung oleh Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI] melibatkan tim khusus internal Floresa, dengan koordinator Anastasia Ika bersama anggota Herry Kabut, Maria Margaretha Holo dan Anjany Podangsa.

Selama penyusunan, mereka didampingi secara intens oleh Nita Roshita, konsultan Gender, Equality, Diversity and Inclusion AMSI.

Isi pedoman antara lain mencakup komitmen Floresa untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan serta diskriminasi; pernyataan perlindungan terhadap semua anggota tim; definisi jenis-jenis kekerasan seksual, mekanisme pengaduan dan alur penanganan kasus.

Pedoman juga mengatur bentuk tindakan disipliner bagi pelaku serta dukungan terhadap korban.

Pedoman ini disahkan setelah ditinjau dan disetujui Ryan Dagur, pemimpin umum Floresa, yang juga ikut menulis kata pengantar.

Ryan berkata, pedoman ini merupakan wujud dari komitmen Floresa yang sejak berdiri pada 2014 memiliki perhatian pada isu kekerasan seksual, selain pada prinsip inklusivitas dan perlakuan setara terhadap semua anggota tim dari latar belakang apapun. 

Selama ini, kata dia, komitmen itu tidak diatur secara rinci, tetapi dirumuskan secara umum saja karena keterbatasan sumber daya yang bisa menyusun pedoman yang lebih operasional.

Dalam setidaknya dua tahun terakhir, katanya, keinginan adanya pedoman khusus tentang perilaku, termasuk yang terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, kian dirasa mendesak.

Hal ini berangkat dari sejumlah faktor, seperti tren peningkatan kasus kekerasan seksual yang sering ditulis Floresa, termasuk yang pernah dialami anggota tim.

Pedoman ini, katanya, merupakan ikhtiar bersama untuk bergandengan tangan memastikan bahwa ruang kerja Floresa bebas dari praktik kekerasan seksual, lewat berbagai upaya pencegahan.

“Kalaupun kemudian ada kasus, pedoman ini juga menyediakan mekanisme yang akan menjadi pegangan dalam penanganan,” katanya.

Floresa, katanya, menegaskan komitmen nol toleransi terhadap semua bentuk kekerasan seksual.

Karenanya, pedoman ini juga dipublikasi di web Floresa sehingga semua pihak yang terhubung dengan anggota tim, termasuk narasumber, bisa mengetahui dan memahami komitmen ini.

Sementara itu, Anastasia Ika berkata, penyusunan pedoman ini didahului serangkaian sesi, termasuk berbagi pengalaman antara anggota tim penyusun sehingga isinya sesuai dengan kebutuhan internal Floresa

“Kami mempersilakan pihak lain, termasuk teman-teman media lain di NTT, jika hendak mengadopsi pedoman ini sebagai bagian dari upaya bersama mencegah terjadinya kekerasan seksual, setidak-tidaknya di ruang redaksi dan lokasi peliputan,” katanya.

Fenomena Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis

Floresa, satu-satunya media dari NTT, terpilih sebagai bagian dari  10 media anggota AMSI yang ikut dalam program penyusunan pedoman ini.

Media-media lainnya adalah Seputarpapua.com [Papua], Bincangperempuan.com [Bengkulu], Harapanrakyat.com [Jawa Barat], Beritamusi.co.id [Sumatera Selatan], Kalesang.id [Maluku Utara], Insidelombok.id [Nusa Tenggara Barat], Liputan6.com [Jakarta], Tirto.id [Jakarta] dan Beritajatim.com [Jawa Timur].

Berbicara dalam pertemuan virtual pada 11 September, puncak dari rangkaian penyusunan pedoman, Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika berharap kesepuluh media ini dapat menjadi contoh dalam standarisasi inklusivitas dan kesetaraan gender bagi industri media.

Hal ini, kata dia, terefleksikan tidak hanya dalam pekerjaan, melainkan juga produk, bisnis media yang sehat dan kualitas konten yang lebih baik.

“Ini sesuai dengan mantra AMSI untuk mendorong bisnis media yang sehat dengan kualitas berita yang lebih baik,” katanya.

Inisiatif AMSI juga muncul di tengah tren peningkatan kasus kekerasan seksual, termasuk yang dialami para jurnalis.

Riset “Potret Suram Jurnalis Korban Kekerasan Seksual” oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media pada 2023 menemukan 82,6 persen dari 852 responden pernah mengalami satu atau lebih kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka, baik di ranah daring maupun luring. 

Kekerasan tersebut menimbulkan dampak psikologis dan profesional, menurut laporan itu.

Dampak psikologis antara lain rasa cemas, takut dan gelisah, terutama jika ada kegiatan atau peristiwa yang mengingatkan mereka pada peristiwa kekerasan yang pernah dialami, juga rasa tidak percaya terhadap orang lain. 

Sementara dampak profesional adalah lebih berhati-hati ketika melakukan liputan yang mengingatkan pada kekerasan seksual yang dialami, hingga memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor. 

AMSI sebelumnya juga sudah melakukan riset yang secara khusus menilik kebijakan dan pengalaman kesetaraan gender serta kekerasan berbasis gender di perusahaan media. Riset itu berujung pada pembuatan Modul SOP Kekerasan Berbasis Gender Online [KBGO] untuk Perusahaan Media.

Pedoman Floresa antara lain merujuk pada hasil riset dan modul tersebut. 

Dalam program ini, AMSI juga melibatkan Forum Pengada Layanan yang fokus membantu perempuan korban kekerasan. Forum ini memiliki jejaring 87 lembaga pengada layanan di 26 wilayah di Indonesia.

Novita Sari dari Sekretariat Nasional FPL berkata, selama ini mereka “bertanya-tanya bagaimana caranya berjejaring dengan teman-teman media” dalam merespons kasus-kasus kekerasan berbasis gender.

“Senang sekali FPL dilibatkan dalam kegiatan ini karena bertemu dengan orang-orang yang memiliki semangat dan niat yang sama dalam mencegah dan menangani kekerasan berbasis gender,” katanya, sembari mengungkapkan dukungan dan kesediaannya untuk menjadi mitra media dalam implementasi pedoman.

Mewakili tim penyusun pedoman, Anastasia Ika berterima kasih pada AMSI dan khususnya Nita Roshita yang mendampingi proses perumusan.

“Nita telah membantu kami menemukan jawaban atas beragam pertanyaan terkait pedoman ini, dan selalu menyediakan waktu bagi kami ketika membutuhkan pendampingan di luar sesi mentoring,” katanya.

Nita Roshita, konsultan Gender, Equality, Diversity and Inclusion AMSI. (Dokumentasi AMSI)

Suster Herdiana Randut, SSpS, seorang biarawati Katolik dan koordinator Puan Floresta Bicara, komunitas yang fokus pada diseminasi pengetahuan kritis tentang isu gender di NTT “mengapresiasi langkah bagus Floresa menyusun pedoman ini.”

“Pedoman ini sangat sesuai konteks dengan kita di NTT dan Flores pada khususnya, di mana banyak sekali kasus kekerasan seksual berbasis gender,” katanya.

Pada tahun 2022, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi NTT menerima 287 laporan kekerasan berbasis gender. Sementara lembaga advokasi LBH APIK NTT, salah satu mitra FPL, mencatat peningkatan jumlah kasus yang mereka terima, dari 36 kasus pada 2021 menjadi 71 pada 2022.

Ryan Dagur berkata, pedoman ini merupakan sebuah dokumen yang hidup dan isinya memiliki keterbatasan. 

“Karena itu, kami siap menerima saran dan masukan untuk perbaikan dan akan terus mengevaluasinya, termasuk melakukan pengembangan pada masa mendatang,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA