Sambut HUT ke-80 RI, Kaum Muda di Lembata Maknai Kemerdekaan dengan Wujudkan Ruang Inklusif bersama Komunitas Disabilitas

Bertajuk “Tertawa, Berkarya, Merdeka”, kegiatan itu berlangsung pada 15 Agustus

Floresa.co – Kaum muda di Kabupaten Lembata, NTT menggelar permainan dan diskusi untuk menciptakan ruang inklusif, bagian dari upaya memaknai hari ulang tahun kemerdekaan ke-80.

Kegiatan yang diinisiasi LSM Pondok Perubahan itu melibatkan penyandang disabilitas dari Komunitas Tuli Lembata.

Bertajuk “Tertawa, Berkarya, Merdeka” kegiatan digelar di halaman Kantor Dewan Kerajinan Nasional Daerah di Lewoleba pada 15 Agustus.

Kegiatan itu diisi pelatihan bahasa isyarat, aneka perlombaan dan permainan kota imajiner.

Pelatihan bahasa isyarat dipandu oleh Komunitas Tuli Lembata. Mereka terdiri dari enam orang dan melatih pelafalan abjad menggunakan jari dan perkenalkan nama semua peserta.

Permainan kota imajiner berupa mengurai tantangan yang diadaptasi dari isu lokal Lembata seperti pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan perempuan.  

Renya Wahon, koordinator kegiatan dari Pondok Perubahan berkata, “alasan melibatkan Komunitas Tuli Lembata berangkat dari refleksi sekelompok anak muda tentang pentingnya merayakan kemerdekaan secara inklusif dan gembira.”

Ia berkata, kegiatan itu berlangsung “dengan pendekatan egaliter.” 

“Semua peserta hadir dan berpartisipasi aktif tanpa memandang latar belakang, usia, profesi, atau status sosial,” katanya kepada Floresa.

Selain Komunitas Tuli Lembata, hadir juga kaum muda dari Komunitas Langit Jingga Film, Forum Pinggir Jalan, aktivis perempuan dan anak dari LSM Permata, Nimo Tafa Institute dan jurnalis.

Renya mengaku, munculnya ide kegiatan ini “juga tidak terlepas dari minimnya ruang inklusif bagi anak muda Lembata yang telah menghambat munculnya ide-ide kolaboratif dan kreatif.”

Berdasarkan hasil penelitian Pondok Perubahan pada 2024-2025, “68% anak muda berusia 16–30 tahun belum pernah terlibat dalam ruang dialog-kolaboratif yang aman dan inklusif.”

Kondisi ini, kata Renya, terjadi karena “anak muda terfragmentasi oleh pengaruh sekat formal penguasa di segala jenjang.”

“Warga Lembata masih menganggap omongan ‘orang berdasi’ lebih  punya pengaruh ketimbang anak muda,” katanya.

“Mestinya semua sadar, kemerdekaan sejati adalah tentang kesetaraan, kebebasan berekspresi dan perjumpaan antarwarga tanpa batas identitas struktural,” tambahnya.

Komunitas Tuli Lembata saat mengikuti lomba lari karung. (Dokumentasi Floresa)

Usai pelatihan dan permainan selama dua jam, kegiatan dilanjutkan diskusi dengan pertanyaan pemantik “seberapa kuat anak muda merasa merdeka?”

Pertanyaan ini, kata Sintus Lamak selaku moderator, penting “untuk memahami pengaruh lingkungan sosial dan entitas budaya serta agama dalam menentukan kemerdekaan kaum muda di Lembata.”

Denis Lam dan Ety Making yang mewakili Komunitas Tuli Lembata ikut menanggapi pertanyaan tersebut. 

Sembari memperagakan bahasa isyarat yang diterjemahkan Renya, Denis berkata “kemerdekaan adalah ketika ada warga yang bersedia belajar dengan mereka yang berkebutuhan khusus.”

Ia menyebut demikian karena “masih banyak teman dari Komunitas Tuli Lembata yang belum bisa mengerti pembicaraan orang normal.” 

“Karena kondisi ini, terkadang kami secara kelompok tidak betah kalau ada yang enggan bicara menggunakan bahasa isyarat,” kata Denis. 

Senada Denis, Ety Making berkata, “banyak warga dan komunitas anak muda di Lembata belum mau berbicara menggunakan bahasa isyarat.

Karena itu, ia berharap “semakin banyak ruang inklusif bagi Komunitas Tuli Lembata untuk melatih siapa saja yang mau berbicara dengan bahasa isyarat.” 

Mempertegas pernyatan Denys dan Ety, Eman Krova, Direktur Nimo Tafa Institute menyebut kemerdekaan adalah “ketika setiap warga merasa nyaman dengan lingkungan sosial.”

Wujudnya, kata Eman, misalnya dalam “kesanggupan mengkritisi berbagai kebijakan yang merugikan warga dan lingkungan.”

“Kalau sanggup berdinamika dengan lingkungan berarti menunjukkan kualitas kemerdekaan kita yang sesungguhnya. Sebaliknya, ketiadaan daya kritis dan kemerdekaan adalah bentuk penjajahan baru,” katanya.

Andri Atagoran, jurnalis TVRI, menyebut “merdeka berarti sanggup melepaskan diri dari aturan yang kaku dan terikat.” 

Menurutnya, “puncak kemerdekaan itu ketika ada orang yang sanggup mengekspresikan diri dan mengikuti aturan dengan sadar dan bukan karena paksaan.”

Idealnya sebuah negara yang merdeka, kata Andri, “ketika tak ada lagi aparat penegak hukum.”

“Menurut saya, kemerdekaan itu seperti kita hidup di hutan di mana kita tidak merugikan orang lain, dan orang lain tidak merugikan kita,” katanya.

“Selama masih ada aturan yang kaku dan aparat penegak hukum, maka negara itu belum merdeka,” tambah Andri.

Komunitas Tuli Lembata berpose bersama usai diskusi yang digelar oleh LSM Pondok Perubahan. (Dokumentasi Floresa)

Maria Loka, Direktur LSM Permata yang fokus menangani isu perempuan dan anak korban kekerasan seksual menyebut “kemerdekaan dalam konteks penegakkan hukum seharusnya berwujud hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

“Kalau penegakkan hukum jelas di Indonesia, saya kira para korban pelecehan seksual dapat dengan merdeka menyatakan sikap perlawanan mereka,” kata Maria.

Sementara bagi Dominikus Karangora, jurnalis Nttmediaexpress, “makna kemerdekaan masih bersifat paradoks” karena “kemerdekaan selalu rentan dipengaruhi oleh pola struktur hirarki kekuasaan yang diwariskan bangsa kolonial.” 

Ia menyebut salah satu warisan kolonial adalah kebiasaan praktik pengalungan dan penyambutan resmi para pejabat daerah.

“Pengglorifikasian pejabat berlebihan seperti ini akibat langsung dari ketidakmerdekaan warga yang terus melanggengkan warisan kolonialisme,” katanya.

“Kebiasaan masyarakat yang mau menunduk dan ‘menyembah’ para penguasa itu sebentuk kegagalan membaca praktik kolonialisme baru. Kita tidak akan merdeka kalau pola semacam ini tetap dipertahankan,” tambah Domi.

Suaiban Rahim dari Komunitas Pinggir Jalan, sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang literasi berkata, praktik kolonialisme juga nyata melalui pengrusakan lingkungan oleh korporasi, termasuk perusahaan asing.

“Kemerdekaan macam apa, jika warganya ditekan perusahaan asing berlabel menjaga lingkungan? Omong kosong semua itu”, kata Aiban. 

Kegiatan yang berlangsung selama dua jam itu berakhir pada pukul 08.30 malam.

Saat menutupnya, Renya berharap, “kegiatan inklusif ini dapat memperkuat hubungan dan kolaborasi jangka panjang antarteman sejawat dan komunitas anak muda di Lembata.”

“Kita optimis, ruang kemerdekaan seperti ini terawat terus di hari-hari mendatang,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA