Floresa.co – Pada 24 Agustus dini hari, Vinsensia Boi Lengari mulai merasakan tanda-tanda akan segera bersalin.
Ia mengalami pembukaan dua, istilah untuk kondisi awal persalinan saat mulut rahim sudah terbuka dua sentimeter. Itulah saat ibu hamil biasanya mulai sering merasakan kontraksi disertai perut mulas dan kram.
Pada pukul 02.15 Wita, keluarga lantas membawa Vin – sapaannya – dengan mobil pikap ke Puskesmas Hadakewa, Kecamatan Lebatukan.
Jarak puskesmas itu dari rumahnya di Tanah Treket, Desa Baopana tujuh kilometer.
Setibanya di sana, kondisinya dinyatakan stabil.
“Menurut bidan yang bertugas saat itu, saya belum bisa langsung direkomendasi untuk dirujuk ke rumah sakit,” katanya kepada Floresa pada 30 Agustus.
Vin bertahan selama 12 jam di puskesmas itu. Ia dipantau setiap empat jam.
Karena pembukaan rahimnya terus meningkat hingga pembukaan ketujuh, namun belum juga ada tanda-tanda segera bersalin, pihak puskesmas memutuskan merujuknya ke rumah sakit.
Pada pukul 14.15, ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Lewoleba, salah satu rumah sakit di Kabupaten Lembata. Dua lainnya adalah rumah sakit milik swasta.
“Saat tiba di rumah sakit, air ketuban pecah persis pada pembukaan kedelapan, yang membuat suami, keluarga, dan tenaga medis cemas,” kata Vin.
Tidak sampai setengah jam di rumah sakit itu, dalam keadaan terbaring, ia mendapat pemberitahuan akan dirujuk ke RSUD Hendrik Fernandez Larantuka.
Ia diberitahu bidan bahwa saat itu tidak ada dokter spesialis kandungan yang bisa menanganinya.
Vin dan keluarganya menuruti anjuran para bidan “karena tidak mau ambil risiko.”
Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur berada di sebelah barat Pulau Lembata.
Untuk bisa sampai ke sana, sarana transportasi satu-satunya adalah kapal laut.
“Beruntung Kapal Ina Maria belum berangkat ketika saat itu diputuskan segera dirujuk,” katanya, menyebut nama kapal utama penghubung dua pulau.
Kedua bidan dari RSUD Lewoleba bersama suami dan seorang kakaknya ikut menjaga dan mendampingi selama berlayar. Mereka menyiapkan peralatan medis jika persalinan darurat terjadi di tengah laut.
Pelayaran ditempuh satu setengah jam dan sempat singgah sebentar di Pelabuhan Waiwerang, Adonara.
Vin berkata selama pelayaran, “perasaan tidak tenang berkecamuk, selalu muncul.”
Ia juga merasa makin sakit karena benturan saat kapal melintasi jalur arus Watowoko antara Lembata dan Adonara yang terkenal sangat kencang.
“Sakitnya luar biasa akibat dihempas gelombang.”
Ia tiba di Pelabuhan Larantuka pukul 17.15 dan langsung dijemput kendaraan dari rumah sakit.
Di rumah sakit itu, ia sudah pembukaan kesembilan.
“Saya meminta untuk dioperasi, mengingat keadaan sakit yang membuat saya tidak tahan,” katanya.
Namun, setelah melewati observasi ulang, bidan menyatakan ia bisa melahirkan normal hingga pembukaan kesepuluh.
“Saya melahirkan anak perempuan dengan kondisi berat 3,5 kilogram,” kata Vin. Itu adalah anak pertamanya.
Ia diberitahu oleh bidan termasuk pasien yang kuat karena “ada pasien rujukan dari Lembata yang penanganannya melalui operasi cesar.”
Jadi Viral
Kisah Vin viral di media sosial pada pekan lalu, dengan sorotan pada minimnya tenaga medis di Lembata sehingga harus keluar pulau untuk mendapat perawatan.
Anastasia Fransiska S. Losor, kakak ipar Vin, adalah orang yang mengunggah informasi peristiwa ini di media sosial, hingga ramai dibicarakan warga Lembata.
Asni, sapaannya, yang bekerja sebagai ibu rumah tangga berkata, viralnya unggahan itu “tidak ada hubungannya dengan menyudutkan siapa-siapa.”
“Apalagi bermaksud mempolitisasi karena sekarang tahun pemilihan kepala daerah,” katanya kepada Floresa.
“Ini bukan soal viral atau tidak,” kata Asni, “saya tidak ada urusan dengan politik atau mendukung paslon tertentu.”
Sebagai warga biasa, ia hanya tidak menginginkan kejadian seperti yang dialami adik iparnya tidak terjadi pada ibu lain di Lembata.
“Syukur adik ipar saya pulang dalam keadaan sehat. Kalau keadaannya tidak baik saat itu, bagaimana? Siapa yang mau bertanggung jawab?” kata Asni.
“Jangan sampai setelah kejadian yang tidak mengenakkan, baru ramai dan viral,” tambahnya.
Ia berkata, Vin bukan satu-satunya ibu hamil asal Lembata yang harus dirujuk ke Larantuka baru-baru ini.
Pada 25 Agustus, saat hendak menjemput Vin di Pelabuhan Lembata, ia mendapati ibu hamil yang juga hendak berangkat ke Larantuka.
Ibu itu, katanya, hendak menumpang Kapal Ina Maria yang berangkat pukul 08.45 Wita.
“Ibu yang berangkat pagi itu keadaannya juga terlihat stabil,” kata Asni.
Ferdy Semara, kapten Kapal Ina Maria membenarkan cerita Asni soal pasien rujukan pada 25 Agustus itu.
“Pagi itu saya mengantar satu pasien yang dirujuk ke Larantuka”, katanya kepada Floresa pada 30 Agustus.
Sementara itu, seorang awak kapal itu yang meminta namanya tidak disebut berkata kepada Floresa, selama Agustus mereka sudah tiga kali mengantar pasien rujukan ke Larantuka.
Pemerintah Akui Keterbatasan Dokter
Direktur RSUD Lewoleba, Yosep Freinademetz Paun mengakui adanya “keterbatasan dokter spesialis kandungan di Kabupaten Lembata,” yang membuat pasien dengan kondisi khusus seperti Vin harus ke Larantuka untuk mendapat pertolongan medis.
Ia berkata, pada waktu persalinan Vin, kedua dokter spesialis kandungan di RSUD Lewoleba “tidak sedang bertugas.”
“Dokter Ina Tukan pada saat itu sedang mengikuti seminar di luar Kabupaten Lembata, sementara Dokter Jimmy Sunur sedang berhalangan karena mengikuti kontestasi politik,” katanya menyebut nama dua dokter spesialis itu.
Jimmy Sunur, yang nama lengkapnya Yeremias Ronaldy Sunur, saat ini mencalonkan diri menjadi menjadi bupati Lembata dalam pilkada November mendatang.
Di sisi lain, Yosep juga berkata, saat ini, Ina Tukan juga sedang proses pengunduran diri dari status sebagai Pegawai Negeri Sipil karena alasan keluarga.
Kondisi ini membuat Lembata tidak akan lagi memiliki dokter spesialis kandungan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata, Geril Huarnoning berkata, untuk mengantisipasi hal ini, pihaknya sedang mencari solusi.
Salah satunya, kata dia, adalah menjajaki kerja sama dengan Universitas Hasanudin Makasar dan Universitas Brawijaya Malang untuk bisa menyediakan tenaga dokter yang akan ditempatkan di Lembata.
Berangkat dari pengalaman anaknya, Pudensia Daten Kiabeni, ibu Vin berkata, sudah saatnya “pemerintah daerah harus buka mata” untuk melihat kebutuhan riil masyarakat.
“Sebagai seorang ibu pasti kasihan sekali,” melihat penderitaan anak seperti Vin, katanya.
“Ke depan, pelayanan di rumah sakit harus lebih baik lagi,” harap Pudensia, sehingga peristiwa seperti yang dialami Vin tidak terjadi pada warga Lembata lainnya.
Editor: Ryan Dagur