Gregorius Jeramu: Kendati Telah Bebas, Saya Merasa Seperti Tetap Dipenjara

Lepas dari jeruji besi lima bulan lalu karena tidak bersalah, Gregorius Jeramu masih menanti itikad negara memulihkan harkat dan martabatnya

Floresa.co – Dijebloskan ke dalam jeruji besi selama setahun lebih, lalu dibebaskan karena dinyatakan tidak bersalah, itulah yang terjadi pada Gregorius Jeramu, seorang kakek di Kabupaten Manggarai Timur, korban dugaan praktik muslihat dalam penegakan hukum.

Goris – sapaannya – meninggalkan penjara pada 8 Desember 2023. 

Kendati kini sudah mendiami kembali rumahnya di Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong dan menjalani rutinitas sebagai petani, kakek berusia 64 tahun ini masih bertanya-tanya; mengapa ia yang harus dijebloskan ke penjara dalam kasus Terminal Kembur, sementara mereka yang berkuasa masih melenggang bebas dan apa upaya negara untuk memulihkan harkat dan martabatnya.

Kejaksaan Negeri Manggarai menahannya pada 28 Oktober 2022 setelah menjadi tersangka lantaran menjual tanah lokasi pembangunan terminal itu tanpa mengantongi sertifikat – hal yang memicu pertanyaan banyak pihak terkait logika penegakan hukum dan alasan jaksa mengalihkan perhatian kasus ini pada pengadaan lahan dari sebelumnya pembangunan terminal.

Gregorius dipenjara bersama Benediktus Aristo Moa – pegawai Dinas Perhubungan Manggarai Timur – yang mengurus pembelian tanah terminal. 

Keduanya divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi –  berbasis di Kupang – dan dinyatakan merugikan negara setara harga tanah, Rp402 juta, kendati putusan itu dianulasi oleh Mahkamah Agung, kecuali untuk Artisto yang kasasinya ditolak. 

Sementara Goris sudah bebas, kejaksaan masih juga ingkar janji mengusut kasus pembangunan terminal yang terbengkalai, kendati sempat sesumbar akan menindaklanjutinya usai kasus pengadaan lahan tuntas – hal yang memicu pertanyaan tentang integritas lembaga itu di tengah sejumlah dugaan permainan dalam kasus ini, diduga untuk melindungi pejabat tertentu.

Gregorius Jeramu bersama Sofia Nimul, istrinya saat berbicara kepada Floresa pada 15 April 2024 sembari menatap ke arah terminal bermasalah yang membuatnya masuk bui. (Andre Babur/Floresa)

Semenjak ditahan hingga bebas, Goris belum pernah berbicara di ruang publik. Pada 15 April, Andre Babur dari Floresa menemuinya di kebun, tak jauh dari lokasi terminal itu, saat ia sedang bekerja bersama istrinya, Sofia Nimul. Goris bercerita tentang awal mula kasus ini, pengalamannya selama di penjara dan harapannya kini untuk negara.

Berikut petikannya:

Bagaimana kisah awal sehingga tanah yang menjadi lokasi terminal itu menjadi milik Bapak?

Pada 1980 tanah ini diwariskan kepada saya oleh orang tua kandung. Bukan hanya kepada saya, tetapi juga kepada saudara saya yang lain. Itulah mengapa di sekitar lahan terminal ini sebagian besar tanah-tanah lainnya milik saudara saya.  

Seperti apa prosesnya hingga menjual tanah itu kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur?

Pada 2012, Yosep Soni, salah satu staf di Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai Timur, menanyakan apakah saya punya tanah yang hendak dijual. 

Saya kemudian menunjukan bidang tanah yang saat ini sudah jadi lokasi terminal itu. 

Setelah melihatnya, Soni berkata akan melaporkannya dulu ke Dinas Perhubungan. 

Ia berkata ketika itu bahwa pemerintah hendak mencari tanah untuk terminal.

Karena untuk bangun terminal, saya berpikir, ini bagus  untuk kepentingan banyak orang.

Berikutnya Soni datang lagi ditemani Aristo untuk survei tanah tersebut.

Tak lama setelah disurvei, datanglah Gaspar Nanggar, Kepala Bidang Perhubungan Darat saat itu [kini Gaspar menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Manggarai Timur] untuk negosiasi harga secara adat Manggarai. 

Ia didampingi Soni dan Aristo, membawa sebotol bir. 

Berapa harga yang disepakati waktu itu?

Saya menawarkan Rp650 juta, meskipun dalam dakwaan saat persidangan disebutkan bahwa saya menawarkan dengan harga 625 juta. 

Gaspar Nanggar lalu memberi tawaran Rp400 juta. 

Karena demi kepentingan bersama, saya tidak keberatan dengan permintaan itu. 

Kesepakatannya waktu itu adalah Rp402 juta karena ditambah dengan pajak. 

Gaspar kala itu meminta agar pembayarannya dilakukan dua kali, yakni 2012 dan 2013, dengan alasan kas daerah tidak cukup sehingga tidak bisa dibayar sekalian.

Setelah itu Soni menghantar saya ke Borong untuk mengurus rekening. 

Setelah rekening jadi, ia datang lagi mengonfirmasi bahwa pembayaran tahap satu Rp280 juta lebih sudah ditransfer, sedangkan sisanya dibayar pada 2013. 

Bersama Istrinya, Gregorius tengah membersihkan kebunnya yang hanya terpaut sekitar 15 meter dari Terminal Kembur pada 15 April 2024. (Andre Babur/Floresa)

Bagaimana prosesnya sehingga Bapak diseret dalam kasus ini?

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 28 Oktober 2022, saya berkali-kali dipanggil kejaksaan untuk memberi keterangan sebagai saksi. 

Sejak pemeriksaan awal,  kejaksaan memang mengusut dugaan korupsi pengadaan tanahnya, bukan pembangunan gedungnya.

Hal itu saya ketahui setelah berulang kali kejaksaan menanyakan sertifikat atau alas hak tanah tersebut.

Saya menjawab bahwa tanah itu adalah tanah ulayat yang diperoleh melalui warisan dari orang tua kandung. 

Dari awal saya diperiksa oleh tiga jaksa, salah satunya adalah orang Manggarai. Nama-namanya sudah lupa, tapi kalau lihat wajahnya, pasti saya ingat. 

Dua jaksa lainnya begitu ngotot, seolah-olah memaksa  bahwa saya harus bersalah dalam kasus tersebut. 

Karena merasa tidak bersalah, sejak awal saya tidak pernah berpikir akan menjadi tersangka.

Kepala Seksi Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Manggarai, Daniel Merdeka Sitorus, yang menjadi penuntut umum dalam kasus Gregorius Jeramu. (Dokumentasi Floresa)

Apa saja pertanyaan jaksa yang masih diingat?

Jaksa misalnya sempat tanya, kenapa pembayaran lahannya dilakukan dua kali?

 Saya katakan, itu atas kesepakatan dengan Gaspar Nanggar. 

Jaksa tanya lagi “apakah kenal dengan Fansi Jahang?” [Fansi adalah Kepala Dinas Perhubungan Manggarai Timur saat pembelian lahan, kini ia Sekretaris Daerah Manggarai].

Saya bilang, “Fansi Jahang hanya sekali datang ke rumah bawa kuitansi jual beli untuk ditandatangani pada 2013 ketika semua pembayarannya selesai.”

“Kuitansinya banyak atau sedikit?” tanya jaksa lagi. 

Saya bilang “banyak.”

“Kemungkinan di situ bapak salah karena hanya baca kuitansi di bagian atasnya saja,” kata jaksa.

Saya jawab, “memang betul hanya baca bagian atasnya saja, kemudian langsung tanda tangan.”

Jaksa juga mempersoalkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan karena alamat tanah terminal itu berada di Kelurahan Rana Loba. 

Saya bilang, betul alamatnya di Kelurahan Rana Loba karena pada 2010 Kembur baru memekarkan diri menjadi Kelurahan Satar Peot. Pada tahun 2012 sampai hari ini, segala administrasi masih beralamat di Rana Loba. 

Alasan jaksa waktu itu, saya menjual tanah negara tanpa sertifikat.

Saya sempat tanya ke jaksa “lalu kenapa pemerintah membeli tanah yang tidak ada sertifikat. Berarti pemerintah sengaja.” 

Padahal, bukan hanya saya yang jual tanah tanpa sertifikat. 

Tetapi, apapun  yang saya katakan di depan jaksa, tidak akan ditanggapi. 

Gregorius Jeramu didamping staf Kejari Manggarai pada 28 Oktober 2022 saat hendak ditahan usai penetapan statusnya sebagai tersangka kasus pengadaan lahan Terminal Kembur, Kabupaten Manggarai Timur. (Dokumentasi Floresa)

Apa yang terjadi setelah ditetapkan sebagai tersangka?

Pada saat saya ditetapkan sebagai tersangka, sekitar tujuh orang pegawai dari Dinas Perhubungan Manggarai Timur juga berada di kejaksaan.

Mereka berkumpul di ruang tunggu sebelum seorang jaksa datang menyuruh mereka pulang, kecuali saya dan Aristo. 

Saat itulah saya mulai cemas dan bertanya-tanya, ada apa dengan kami berdua. 

Begitu jaksa memakaikan kami rompi tahanan, saya menangis dan mulai sadar bahwa kami sudah ditipu oleh orang-orang pintar dan kaya.  

Saya merasa seperti dibunuh ketika ditetapkan sebagai tersangka.

Lebih baik dihukum karena melakukan pembunuhan daripada dipenjara karena menjual tanah sendiri yang diperoleh dari warisan.

Seorang jaksa mengambil tisu dan membersihkan air mata saya.  Dia berbisik, “Bapak yang sabar, kami melakukannya sesuai undang-undang.”

Dalam hati saya bertanya “beginikah undang-undang di negara ini?”

Bagi saya, undang-undang itu tidak salah, hanya orang-orang yang menjalankannya tidak benar.

Apakah tahu bahwa keluarga dan sejumlah elemen masyarakat berjuang supaya saat itu Bapak dibebaskan dari kasus ini?

Yah, saya mendengar itu dari cerita teman-teman dalam tahanan di Polres Manggarai. Mereka mendukung dan meyakinkan bahwa dalam kasus itu saya tidak bersalah. 

Mereka bilang “Semoga Bapak Goris cepat bebas. Kenapa banyak orang dukung bapak, tentu karena benar.”

Bahkan mereka juga ikut mengecam perilaku kejaksaan karena menahan saya. 

Ada lebih dari tiga puluh tahanan waktu itu. Mereka menyambut saya dengan pelukan, sembari menyayangkan sikap kejaksaan.

Warga menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kejaksaan Negeri Manggarai di Ruteng pada Senin, 7 November, memprotes penetapan tersangka Gregorius Jeramu. (Dokumentasi Floresa)

Bagaimana kesan selama mengikuti serangkaian persidangan di pengadilan?

Ada 28 saksi yang hadir di pengadilan, semuanya menyatakan saya tidak bersalah, tetapi percuma. 

Semua keterangan saksi tidak didengarkan oleh hakim, termasuk keterangan saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dalam salah satu kesempatan sidang, saya berkata kepada hakim, “Yang mulia, saya orang bodoh dan miskin. Sekarang saya sudah dibunuh oleh pemerintah. Kalau memang saya bersalah karena menjual tanah tanpa sertifikat, kenapa pemerintah membeli tanah yang tidak memenuhi syarat hukum?”

Saat itu saya melihat hakim mengelus-elus dada. Melihat tingkah hakim seperti itu, saya berharap hakim sadar dan semoga menjatuhi hukuman yang ringan. 

Namun, harapan itu tidak ada gunanya.

Menurut saya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu mereka hanya mengikuti saja keterangan dari kejaksaan.

Seperti apa situasi di dalam penjara di Kupang?

Saya berada di dalam satu ruangan yang terdiri dari empat belas orang, semuanya berusia lebih dari 60 tahun. Kami ditempatkan di kamar khusus lansia. 

Karena agama kami berbeda-beda, ibadatnya pun bergantian. Namun, kalau teman-teman beragama Kristen Protestan berdoa, kami juga ikut, begitupun sebaliknya. 

Teman-teman memanggil saya Romo Goris, karena saya dipercayakan untuk memimpin ibadat.

Saya kadang diberi uang oleh teman satu kamar, katanya, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memimpin mereka beribadat.

Kalau saya yang pimpin doa, terkadang ada teman-teman yang sampai menangis. 

Dari kepala rutan sampai bawahannya tahu bahwa dalam kasus ini saya dijerat.

Saat pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, mereka bilang, “mudah-mudahan bapak diputuskan bebas.”

Mereka berkata ikut bingung dengan penegakan hukum dalam kasus saya, karena sebetulnya begitu banyak tanah-tanah yang dijual tanpa ada sertifikat, seperti yang saya lakukan dengan tanah terminal.

Seperti apa situasi saat mendengar putusan Mahkamah Agung?

Saya tahu tentang putusan itu dari petugas rutan. Dia bilang “Bapak Goris, selamat sudah bebas.” Saya dipanggil kepala rutan. Ia langsung peluk. 

Awalnya saya tidak percaya, tetapi satu per satu tahanan mulai menjabat tangan saya, sambil ucapkan selamat. Mereka berkata saya telah bebas dari jeratan hukum. Teman-teman tahanan senang dan memeluk saya. 

Putus bebas itu saya ingat terbit pada 16 November. Saya dengar cerita dari petugas rutan bahwa seharusnya sekitar empat hari setelah putusan itu, saya sudah bisa pulang.

Cuplikan dari salinan putusan kasasi yang membebaskan Gregorius Jeramu. (Floresa)

Namun, waktu untuk keluar dari penjara tertunda cukup lama.

Saat itu pihak rutan sempat telepon ke Pengadilan Tinggi Kupang. Pihak pengadilan bilang sudah kirim berkas putusan dari Mahkamah Agung ke Kejaksaan Negeri Manggarai. Waktu itu pihak rutan juga langsung telepon ke kejaksaan. Namun, mereka bilang berkas belum masuk. 

Akhirnya kepala rutan perintahkan seseorang dalam telepon itu untuk mengutus dua orang mengecek langsung ke Kejaksaan Negeri Manggarai.

Mungkin karena diminta dicek langsung, maka pada 8 Desember, satu jaksa dari Manggarai datang ke rutan membawa berkas.

Waktu jaksa itu menemui Bapak, apa yang ia sampaikan?

Jaksa itu bawa banyak berkas untuk saya tanda tangani. 

Dia hanya berpesan agar salinan putusan itu dijaga dengan baik. 

Apakah jaksa itu tidak memberikan ucapan selamat atas vonis bebas?

Tidak sama sekali. Bahkan dari roman mukanya, dia melihat saya seperti musuh. 

Hanya kepala rutan yang sempat meminta maaf atas keterlambatan itu.

Dia bilang, “Maaf bapak, ini adalah kelalaian kami. Sebetulnya pada 18 atau 20 November bapak bisa bebas dari penjara.”

Dia mengakui bahwa saya terlambat keluar karena kelalaian mereka.  

Bagaimana rasanya setelah bebas?

Meskipun telah keluar dari penjara, saya tetap merasa seperti masih berada di penjara. 

Mengapa? Karena saya sudah dituduh korupsi, kendati kemudian bebas dan dinyatakan tidak bersalah. 

Saat ini beban yang saya tanggung amat berat ketika pemerintah Manggarai Timur tidak memiliki itikad baik setelah saya bebas. 

Semua salinan putusan kasasi sudah ada juga di pemerintah dan mereka tahu apa yang tertera di dalamnya.

Bahwa saya bebas murni, artinya tidak ada kesalahan yang saya lakukan dalam kasus ini.

Poin lain dalam putusan itu adalah memulihkan hak saya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat. 

Mereka harus memulihkan nama baik saya yang mereka tuduh menjual tanah negara dan melakukan korupsi.

Kalau tahu akan jadi seperti ini, saya tidak mungkin menjual tanah itu ke pemerintah.  

Sovia Nimul, isteri Gregorius Jeramu memagari pintu masuk Terminal Kembur pada Kamis, 30 Maret 2023 karena kecewa dengan putusan pengadilan yang memvonis penjara suaminya. (Dokumentasi Floresa)

Apa harapan Bapak saat ini?

Saya hanya menunggu kapan pemerintah datang. 

Karena kasus ini, tiga bidang tanah saya terjual untuk membiayai proses selama persidangan dan banyak lagi kerugian lain. 

Baru-baru ini, ada pejabat pemerintah daerah datang ke rumah anak sulung saya. 

Mereka menyampaikan rencana bahwa terminal ini akan dialihfungsikan menjadi pasar. Mereka menawarkan sebagiannya untuk kami buka lapak.

Saya hanya titip pesan, tidak peduli terminal ini mau dijadikan pasar atau apapun, yang penting kewajiban mereka terhadap saya dalam kasus ini segera terlaksana.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Wawancara Lainnya