Floresa.co – Masyarakat sipil di Nusa Tenggara Timur meminta aparat penegak hukum segera melanjutkan proses hukum kasus dugaan korupsi pembangunan Terminal Kembur di Manggarai Timur, yang sebelumnya telah menyeret Gregorius Jeramu, seorang warga biasa ke penjara.
Mereka juga meminta agar ada tindakan tegas bagi aparat penegak hukum yang diduga ‘bermain’ dalam penanganan kasus ini.
Laurensius “Loin” Lasa, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Ruteng [PMKRI Ruteng] yang aktif mengawal proses hukum kasus tersebut mengatakan, dengan bebasnya Gregorius lewat putusan Mahkamah Agung [MA], itu berarti tidak ada alasan lagi untuk tidak menindaklanjuti kasus pembangunan fisik terminal yang memang sebelumnya menjadi sasaran utama pengusutan kasus ini.
“Kami akan terus mendorong Kejaksaan Negeri Manggarai untuk segera menyelidiki lebih lanjut dugaan korupsi pembangunan fisik terminal tersebut,” katanya kepada Floresa.
Kasus ini memasuki babak baru usai MA mengabulkan kasasi Gregorius, 63 tahun, pada 16 November. Putusan MA itu menganulir putusan dua pengadilan sebelumnya yang memenjarakan Gregorus, pemilik lahan terminal, hanya karena menjual lahan tanpa sertifikat.
Hakim Pengadilan Tinggi Kupang menjatuhkannya hukuman 4 tahun penjara, meningkat dari 2 vonis tahun oleh pengadilan tingkat pertama. Ia juga divonis mengganti uang negara sebesar harga tanah, Rp402.245.455 subsider penjara 1 tahun dan denda Rp200.000.000 subsider 3 bulan kurungan.
Dalam putusannya, MA menyatakan, Gregorius tidak bersalah dalam kasus ini dan memerintahkan segera membebaskannya dari tahanan.
Loin mengatakan, sejak awal PMKRI Cabang Ruteng sudah mengingatkan Kejaksaan Negeri Manggarai dalam beberapa kesempatan aksi untuk membebaskan Gregorius, sekaligus menyelidiki persoalan utama kasus tersebut, yakni infrastruktur terminal yang “mangkrak dan tidak digunakan”.
Doni Parera, aktivis yang juga turut serta dalam beberapa aksi untuk pembebasan Gregorius mengatakan pengabulan kasasi oleh MA menjadi “momentum baru untuk mengungkap persoalan Terminal Kembur secara benar, tepat dan tuntas”.
“Seret yang benar-benar bersalah masuk ke dalam bui, termasuk aparat penegak hukum yang terlibat dalam rekayasa kasus,” ungkapnya.
Efrid Dasmadi, Ketua Himpunan Mahasiswa Pelajar Manggarai Timur Kupang [Hipmmatim] mengatakan pihaknya meminta “pengusutan dari awal” kasus ini.
“Mangkrak serta mubazirnya Terminal Kembur tentu karena adanya anggaran yang sudah digelapkan dan tidak dialokasikan seutuhnya,” ungkapnya.
Ia mengatakan, dalam audiensi dengan Kejaksaan Tinggi NTT pada 26 Juni 2023, pihaknya meminta mengambil alih dan mengusut tuntas persoalan ini.
Kasus ini, katanya, telah menyeret warga tak bersalah yang hanya menjual tanahnya, “berbanding terbalik dengan penyelidikan awal terkait kasus korupsi pembangunan infrastruktur fisik terminal.”
“Aparat penegak hukum harus objektif, transparan serta usut sampai ke akar-akarnya, termasuk semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab penuh. Jangan ada lagi rekayasa kasus dan mengorbankan masyarakat kecil,” lanjutnya.
Senada dengan itu, Jonaldi Mikael, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang yang juga aktivis Forum Mahasiswa NTT mengatakan sejak awal penetapan tersangka kasus ini,”sudah cacat secara formil” karena ada oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam kasus pembangunan terminal yang malah bebas.
Sementara itu, Vitus Akong, warga dan aktivis asal Borong, Manggarai Timur mengatakan pengabulan kasasi Gregorius tidak berarti proses hukum dugaan korupsi pembangunan Terminal Kembur berakhir begitu saja.
“Mesti ada pihak yang patut untuk didakwa dan dituntut bertanggung jawab dan segera diproses,” ungkapnya.
Ia juga berharap selain menyelidiki aktor utama di balik korupsi infrastruktur tersebut, Pemda dan DPRD Manggarai Timur segera mencari solusi terbaik “agar terminal segera difungsikan demi pelayanan pada masyarakat.”
Pelajaran Bagi Penegak Hukum
Loin mengatakan berterima kasih terhadap putusan MA karena “telah menunjukkan keberadaan negara yang mengedepankan prinsip keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia”.
“Kami menilai putusan kasasi MA ini sebagai bukti bahwa Pengadilan Negeri Kupang dan Kejaksaan Negeri Manggarai bersekongkol dalam mempersekusi masyarakat adat Kembur yang notabene tidak bersalah,” lanjutnya.
Ia juga mengatakan aparat penegak hukum seharusnya tidak menggunakan hukum sebagai alat untuk menjerat dan mengorbankan masyarakat kecil.
“Kasus ini mestinya jadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum kita yang masih mau terlibat rekayasa kasus demi uang dan jabatan, dengan korbankan masyarakat lemah,” tambah Doni Parera.
“Pertanyaannya, apakah polisi dan jaksa kita masih bisa punya malu dan upaya koreksi diri dengan kasus ini? Apakah polisi dan jaksa kita tidak lagi mau tergoda uang, jabatan dan korbankan rakyat kecil?” katanya.
Efrid Dasmadi mengatakan putusan MA menjadi bukti adanya “persekongkolan jahat di balik rekayasa kasus tersebut”.
“Jadilah aparat yang membela rakyat kecil dan keadilan, bukan mempraktikkan kerja mafia di lembaga-lembaga penegak hukum, hanya untuk menyelamatkan manusia-manusia yang tak bermoral dan lari dari tanggung jawab,” ungkapnya.
Ia juga meminta aparat penegak hukum dan Pemda Manggarai Timur untuk “bertanggung jawab memulihkan nama baik” Gregorius.
Jonaldi Mikael menambahkan, jaksa dan polisi seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, “menjadi corong dalam memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan dari hukum itu sendiri”.
“Stop manipulasi hukum yang mengorbankan orang lemah. Indonesia sementara bobrok, sistem penegakan hukum seharusnya menjadi evaluasi dan reflektif bagi jaksa dan polisi,” pungkasnya.
Sementara Vitus Akong mengatakan “putusan MA adalah putusan hati nurani sebagai insan manusia yang kesadarannya masih terjaga dan sebagai jawaban dari banjir air mata masyarakat yang mencari keadilan”.
“Untuk penegak hukum, kasus ini mengkonfirmasi bahwa banyak Gregorius Jeramu lainnya yang menjadi korban kesewenang-wenangan oknum penegak hukum,” ungkapnya.
“Berharap kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para penegak hukum agar lebih hati-hati ketika mengungkap sebuah kasus, tidak dengan arogansi kekuasaan apalagi terjadi perselingkuhan kepentingan dengan mengorbankan orang-orang,” pungkasnya.
Bagi Fransiskus Ramli Boy Koyu, Ketua Tim Kuasa Hukum Gregorius, putusan MA”telah memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.”
Frans mengatakan, sejak awal mendampingi Gregorius, ia dan kawan-kawannya dari Expatrindo Law Office meyakini bahwa kliennya itu “tidak dapat dipersalahkan dalam perkara ini.”
“Syukurlah, akhirnya kasasi kami diterima dan berhasil membuktikan Gregorius tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum,” katanya.
Sementara itu Daniel Merdeka Sitorus, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Manggarai, menolak memberi komentar terkait putusan MA. Ia beralasan karena belum mendapat salinan putusan.
Dugaan ‘Permainan’ Jaksa
Sejak awal, proses hukum kasus ini menuai protes publik, dengan dugaan permainan mencuat untuk menyelamatkan pihak tertentu.
Dugaan itu muncul sejak penetapan tersangka Gregorius dan Benediktus Aristo Moa, pegawai di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur saat pengadaan lahan terminal itu.
Sementara Gregorius dinyatakan bersalah karena menjual tanah hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alas hak, Aristo inyatakan bertanggung jawab karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.
Aristo divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Kupang, meningkat dari 1,6 tahun di pengadilan tingkat pertama. Berbeda dengan Gregorius, kasasi Aristo ditolak MA.
Saat Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidiki kasus ini pada Februari 2021, sasaran awalnya adalah pada dugaan korupsi pembangunan terminal.
Terminal yang direncanakan menjadi penghubung angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibu kota Manggarai Timur, dengan angkutan khusus menuju kota di pesisir pantai selatan Flores ini dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal ternyata tidak dimanfaatkan. Kondisinya saat ini terlantar.
Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan dan Informatika seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar. Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.
Namun, pada Oktober 2022, Kejaksaan Negeri Manggarai mengumumkan kasus itu diarahkan kepada pengadaan lahan, dengan tersangka Gregorius dan Aristo.
Itu seketika memicu aksi protes dari berbagai elemen masyarakat, yang melakukan rangkaian unjuk rasa di Borong, Ruteng, Kupang, hingga Jakarta. Kelompok aktivis juga menggalang dana publik. Dana terkumpul diharapkan dapat membantu keluarga Aristo dan Gregorius menghadapi proses hukum.
Sebuah laporan kolaborasi Floresa dan Project Multatuli yang dirilis pada September membongkar dugaan permainan jaksa selama penanganan kasus ini.
Laporan itu mengungkap upaya Daniel Merdeka Sitorus, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Manggarai, ‘melobi’ Aristo dan keluarganya untuk membayar dana ganti rugi dengan iming-iming dituntut dengan hukuman minimal.
Dana ganti rugi itu sudah disiapkan oleh Kejaksaan, yang menurut kata-kata Aristo berdasarkan penuturan Daniel adalah dari seseorang yang disebut sebagai ‘hamba Allah.’
Aristo kemudian menghubungi isterinya, Skolastika Setiman Marut untuk menemui jaksa. Dalam pertemuan pada 12 Maret itu, Skolastika mengaku ditawari Daniel menandatangani sebuah dokumen yang isinya tidak diperlihatkan, tetapi terkait pengembalian uang kerugian negara.
Jika menerima, iming-imingnya, suaminya akan dituntut pasal minimal, yakni hanya satu tahun penjara. Daniel tidak memberitahu siapa yang menyiapkan uang itu, tambah Skolastika.
“Atas pertimbangan keluarga bersama pengacara waktu itu, kami tidak mau melakukan tanda tangan karena kami merasa janggal,” kata Skolastika kepada Floresa.
Seperti yang disampaikan dalam laporan kolaborasi itu, Daniel mengakui pertemuan itu, kendati ia membantah terkait permintaan mengembalikan kerugian negara kepada Aristo atas inisiatifnya.
Apa yang dibicarakan saat pertemuan itu, klaim Daniel, “Cuman sekadar apakah ada atau tidak” dana untuk pembayaran kerugian negara. “Kami cuma memastikan itu aja, tidak ada yang lain,” ujarnya.
Penyataan Daniel itu kemudian dibantah kembali oleh Aristo.
Laporan lain Floresa pada 27 September juga menyebutkan seorang jaksa yang menghubungi Hipatios Wirawan Labut, salah satu pengacara Aristo sebelum pembacaan tuntutan terhadap kliennya.
Jaksa itu, kata Hupatios, adalah Hero Ardi Saputro, Kepala Seksi Barang Bukti, yang juga menjadi Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Terminal Kembur.
“Intinya [dalam telepon itu] dia menanyakan apakah bisa bantu jelaskan ke keluarga untuk proses pengembalian kerugian negara,” kata Hipatios, meski tidak mengingat lagi tanggal persis Hero meneleponnya.
Menurutnya, Hero memberi tahu bahwa “Ada uangnya. Tinggal minta perwakilan keluarga untuk tanda tangan berita acara.”
Hipatios mengatakan, untuk menyakinkannya, saat telepon tersebut Hero sempat menghubungkannya dengan atasannya di Kejari Manggarai yang kemudian menjelaskan hal yang sama. Hipatios tidak bisa mengidentifikasi identitas atasan Hero itu.
“Saat itu saya menyampaikan, ‘Sulit untuk tanda tangan berita acara Bang, karena selama sidang tidak ada pengakuan dari terdakwa,” katanya, merujuk pada kliennya, Aristo.
Ia melanjutkan dengan bertanya, “Kenapa kami yang harus kembalikan [kerugian negara], bukan Pak Gregorius?”
“Dia [Hero] bilang Pak Gregorius juga tidak mau. Lalu saya tanya, ‘Siapa yang siapkan uangnya.’ Dia jawab, ‘Bupati’. ‘Bupati siapa?,’ tanya saya lagi,” kata Hipatios.
“Dia tidak menjawab dan hanya menyampaikan: ‘Abang ke kantor saja, kita bicara langsung di kantor,’” tambahnya.
Ia mengatakan tidak mendatangi kantor Kejari Manggarai pada hari yang dijanjikan, tetapi hanya rekannya sesama pengacara bersama perwakilan keluarga Aristo.
Pertemuan itu kemudian berujung penolakan keluarga Aristo menandatangani dokumen itu.
Dala wawancara dengan Floresa pada 27 September, Hero tidak menampik pernah menghubungi Hipatios. Ia mengatakan pembicaraan telepon itu terjadi setelah sebelumnya ia berbicara tatap muka dengan Hipatios usai sebuah sidang pembacaan dakwaan di Kupang.
Ia menampil menyebut nama bupati dalam pembicaraan telepon itu.
“Saya bertanya langsung kepada Hipatios [dalam pembicaraan tatap muka] tentang ada atau tidaknya upaya pengembalian kerugian negara,” kata Hero yang dalam wawancara itu didampingi Zaenal Abidin, Kepala Seksi Intelijen Kejari Manggarai.
Floresa menghubungi kembali Hipatios pada 27 September, mengonfirmasi pernyataan Hero.
Hipatios mengatakan ia mempertahankan pengakuan sebelumnya, termasuk terkait penyebutan nama bupati dalam pembicaraan lewat telepon itu.
“Seingat saya, ia menyebut bupati itu. Karena saya tanya siapa bupatinya, itulah yang membuat dia mengajak bertemu di kantor kejaksaan,” katanya.