Floresa.co – Warga adat dari 10 Kampung Adat atau gendang di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur menuntut bank asal Jerman menghentikan pendanaan proyek geotermal di tanah mereka.
Tuntutan tersebut disampaikan di hadapan tim independen bentukan Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] yang ke Poco Leok pada 3 September untuk melakukan “validasi dan verifikasi” lapangan terkait polemik proyek tersebut.
Tim tersebut tersebut terdiri dari dua antropolog, Nestor Castro dari The University of Philippines dan Adi Prasetyo dari Universitas Diponegoro Semarang. Indra Susanto, dosen dari Universitas Katolik St. Paulus Ruteng menjadi penerjemah untuk Nestor.
Tiba di Poco Leok pada pukul 09.00 Wita, tim disambut secara adat oleh warga di Ndajang, kampung pertama dari arah Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Warga lalu mengarahkan tim menuju lokasi titik pengeboran atau wellpad I yang terletak sekitar 100 meter dari jalan raya, di belakang rumah warga, tepat di sisi sebuah sungai kecil.
Selanjutnya warga memandu tim menuju lokasi wellpad H di Lingko Wesang, sekitar 300 meter dari rumah terdekat di Kampung Lungar, di mana terdapat compang atau altar persembahan, kuburan leluhur dan bekas kampung mereka.
Dari titik tersebut, tim bersama warga bertolak ke Kampung Tere untuk melihat dari atas bukit lokasi wellpad D di Lingko Tanggong milik Gendang Lungar, lalu melanjutkan perjalanan ke wellpad F di Lingko Mesir, di mana terdapat kuburan leluhur Kampung Mesir.
Lokasi wellpad F berada di puncak bukit yang curam, 50 meter dari kuburan dan 100 meter dari Kampung Ncamar.
Dialog di Kampung Mocok
Setelah singgah di beberapa lokasi tersebut, tim bergerak menuju Kampung Mocok, Desa Mocok, tempat penyelenggaraan dialog publik bersama warga penolak proyek yang berasal dari 10 gendang.
Tim tersebut, yang kehadirannya telah ditunggu ratusan warga yang serempak mengenakan pakaian adat Manggarai, diterima secara adat di Rumah Adat Mocok, dilanjutkan dengan dialog di tenda yang sudah disiapkan di halaman.
Tampak berbagai poster penolakan proyek geotermal dipajang warga di sekeliling tenda tersebut.
Beberapa di antaranya berbunyi; “Dear KfW Bank, your money is being used to kill Poco Leok indigenous people”, “Kami Tolak Geotermal Poco Leok”, dan “Geotermal Bawa Polusi, Bukan Solusi”.
Sebelum sesi dialog dimulai, beberapa ibu mengantarkan hasil pertanian mereka, seperti kakao, kemiri, cengkeh, dan umbi-umbian ke hadapan tim independen yang duduk berderetan, didampingi Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Ketua JPIC SVD Ruteng, lembaga advokasi Gereja Katolik.
Setelahnya, dilanjutkan pemutaran film singkat “Living Space Poco Leok: Indigenous People” yang diproduksi oleh kolektif Kaum Muda Poco Leok bersama komunitas Rumah Baca Aksara Ruteng.
Film berdurasi 14 menit tersebut mengangkat kondisi Poco Leok sebagai ruang hidup warga adat, dengan segala keunikan lanskap dan kebudayaannya, namun kini terancam oleh proyek geotermal.
Ancaman tersebut direspons warga dengan aksi-aksi perlawanan yang secara terbuka dimulai pada 2022.
Ignasius Nasat, warga adat Ncamar berkata di hadapan tim tersebut bahwa ia dan semua warga adat Poco Leok “menjunjung tinggi pemerintah, tetapi tidak menghendaki pemerintah mengintervensi urusan adat setiap kampung adat.”
Hal tersebut dia katakan berkaitan dengan lahan miliknya dan keempat saudaranya yang lain, yang tidak mau diserahkan kepada PT PLN sebagai wellpad F, tetapi diambil secara paksa dengan mekanisme konsinyiasi atau ganti rugi oleh perusahaan yang dititipkan di Pengadilan Negeri Ruteng.
“Kepada kalian pemilik uang,” katanya kepada tim independen, “saya tegaskan bahwa kami menolak pengeboran itu.”
“Adat ini bukan buatan kami, tetapi kami hanya mewariskannya, seperti foto kopi dari apa yang dibuat oleh leluhur,” katanya.
Terkait pengambilalihan lahan tersebut, Karolus Manjar, anak Ignasius berkata, keluarganya “tidak pernah memberikan dokumen penting seperti KTP dan Kartu Keluarga kepada siapapun.”
“Data pribadi tersebut diambil oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk dimanipulasi dan memberitahu publik bahwa kami memberi persetujuan atas proyek geotermal di atas lahan kami,” katanya.
“Kami menjadi korban dari situasi yang tidak adil dan manipulatif itu,” lanjutnya.
Petrus Jehaput, tua adat Gendang Mocok berkata, ruang hidup warga adat Poco Leok terangkum jelas dalam adat istiadat yang disebut “Lampek Lima.”
Istilah itu merujuk pada lima pilar kehidupan, yakni lingko atau kebun ulayat garapan, mata wae atau mata air, compang atau altar persembahan kepada leluhur, natas atau halaman kampung dan mbaru gendang atau rumah adat.
Kelima pilar itu, katanya, ditegaskan saat warga mengadakan acara penti atau pesta syukur tahunan untuk berterima kasih kepada Tuhan dan leluhur atas hasil bumi yang diperoleh dalam upacara panen.
“Semua itu adalah warisan leluhur, dan di dalam semuanya, tidak ada yang namanya geotermal,” katanya.
Sementara itu Agustinus Tuju, tua adat Gendang Nderu berkata, ruang hidup mereka tidak dapat dialihfungsikan dari fungsi utamanya yakni penghidupan warga sebagai petani yang bergantung sepenuhnya pada tanah dan air.
“Kami tidak ingin Poco Leok dialihfungsikan, kami takut pada pemiliknya, karena ini bukan punya kami. Ini punya leluhur dan generasi mendatang,” katanya.
Ia juga mengingatkan tim independen bahwa penerimaan secara adat di wilayah itu menandai kesatuan mereka dengan ruang hidup Poco Leok, termasuk para leluhur.
“Ke manapun bapak pergi, pasti mereka [leluhur] akan ikut, pasti leluhur akan ikut serta dengan bapak. Kami mendoakan para leluhur akan menuntun perjalanan bapak,” katanya.
Suara Perempuan: “Kami Dilecehkan”
Beberapa ibu yang berbicara mewakili kaum perempuan mengetengahkan proses survei proyek tersebut yang sejak awal menimbulkan trauma psikoseksual bagi mereka.
Maria Suryanti Jun dari Kampung Mocok menceritakan pengalamannya pada 2017, di mana beberapa orang yang mengaku peneliti yang melakukan survei di kebun warga menanyakan keberadaan ‘rumah merah’ dan ‘perempuan mainan’ kepadanya, merujuk pada tempat pelacuran.
“Saya takut sekali waktu itu, karena tidak ada orang lain yang menemani saya saat itu,” katanya sambil menangis.
Sementara itu, perempuan lainnya mengetengahkan kedekatan mereka dengan tanah dan air, yang disebut sebagai “sumber kehidupan” yang akan dipertahankan “sampai mati” oleh warga.
“Hidup kami seluruhnya dari tanah. Kakao, kopi, cengkeh, sayur, tuak dan lain-lain akan mati, dan kami semua pun ikut mati kalau tanah ini dibor. Sampai kapanpun kami tak akan menjualnya dengan benda apapun,” kata Maria Teme dari Kampung Lungar.
Korida Jehanut, ibu lainnya dari Lungar berkata, perempuan Poco Leok “tidak pernah merasa takut pada siapapun, termasuk polisi dan aparat lainnya yang datang mengganggu tanah ulayat kami.”
“Kami menjaga tanah air ini. Bagaimana anak dan cucu kami akan hidup kalau tanahnya hilang,” katanya, menyebut telah melihat langsung kondisi kerusakan di lokasi proyek geotermal di Mataloko, Kabupaten Ngada yang memicu munculnya lumpur panas di lahan warga usai pemboran.
Sementara itu, Wilhelmina Sesam berkata, salah satu titik pengeboran yang direncanakan, yakni wellpad F di Lingko Mesir berada persis di lokasi pekuburan orang tua dan leluhurnya.
“Nama saya diambil dari nama leluhur, dan mereka dikuburkan di lokasi pemboran itu,” katanya.
Selain kaum perempuan dan para tua adat, beberapa warga juga menyampaikan aspirasinya dalam dialog yang disebut “Forum Rakyat” itu.
Pada bagian akhir, Tadeus Sukardin mewakili warga membacakan pernyataan sikap penolakan dan desakan kepada Bank KfW untuk menghentikan pendanaan proyek.
“Kami warga Masyarakat Adat 10 Gendang Pocoleok yang berada di sekitar lokasi Wellpad D, E, F, G, H, I, tetap berketetapan hati untuk tidak menyerahkan “ruang hidup,” bunyi salah satu pernyataan sikap tersebut.
Warga merumuskan ruang hidup sebagai kesatuan yang utuh antara kampung halaman (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar), kebun mata pencaharian (lingko peang, uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru gendang), rumah ibadat (gereja), kuburan (boa), dan hutan (puar).
Pernyataan lainnya berisi bantahan atas klaim PT PLN bahwa jumlah keluarga yang menolak proyek lebih sedikit dibandingkan keluarga yang mendukung.
“Jumlah keluarga yang menolak adalah 369 kepala keluarga dengan total 1592 jiwa. Dengan demikian, data jumlah keluarga yang disampaikan oleh PT PLN maupun oleh pihak KfW adalah tidak benar,” katanya.
Selain itu, Tadeus juga menyampaikan ketidakpuasan terhadap sikap PT PLN dan pemerintah yang “secara sistematis dan masif menyebarkan disinformasi, terutama melalui media-media massa dan orang yang dipakai perusahaan, yang memberitakan bahwa kami telah menyetujui proyek tersebut atau juga menyatakan penolakan karena diprovokasi pihak lain.”
Respons Tim Independen
Merespons tuntutan-tuntutan warga, Nestor Castro mengatakan ia bersama bersama Adi ditunjuk dalam sebuah kontrak dengan Bank KfW untuk menjadi konsultan independen.
Tugas mereka, katanya, melakukan “validasi dan verifikasi” di lapangan atas berbagai informasi yang sebelumnya diterima bank tersebut, baik dari pihak warga maupun PT PLN dan pemerintah.
“Saya hanya mau mendengarkan isu dan masalah Anda, tentu saja untuk melihat bagaimana konflik ini dapat diselesaikan dan memberikan rekomendasi kepada KfW,” katanya.
Ia berkata, konflik seperti yang terjadi di Poco Leok “tidaklah unik”, tetapi terjadi di hampir semua tempat proyek di dunia, di mana terjadi “konflik antara nasional dan pusat, juga antarbudaya yang berbeda.”
“Tentu saja kami akan terus berkomunikasi dengan Anda untuk mengabarkan rekomendasi seperti apa yang akan kami berikan kepada KfW,” katanya.
Ia juga berterima kasih atas penerimaan secara adat oleh warga, menyebut “darah ayam yang dioleskan pada kaki” membuat “leluhur Poco Leok akan terus berbicara kepada saya.”
Hal senada dikatakan Adi Prasetyo, bahwa “kami tidak punya pretensi atau tujuan untuk meyakinan bapak dan ibu untuk terima proyek geotermal.”
“[Kami] hanya mau mendengar langsung, berdasarkan laporan KfW, dan memvalidasi apa betul yang terjadi seperti itu,” katanya.
Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari proyek strategis nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011.
PLTP Ulumbu berada sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.
Proyek PLTP Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga dari belasan kampung adat telah berkali-kali menyatakan sikap penolakan dengan beragam cara, mulai dari pengadangan di lapangan, demonstrasi, hingga audiensi dan bersurat kepada lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Editor: Ryan Dagur