Warga Kritisi Pendapat Pengacara Edi Danggur yang Klaim ‘Tak Ada Orang yang Berhak Halangi Pengembangan Geotermal Poco Leok’

Pendapat Danggur dipublikasi di media yang diduga berafiliasi dengan PT PLN

Floresa.co – Warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai mengkritisi pandangan Edi Danggur, pengacara berbasis di Jakarta terkait polemik proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu di wilayah itu, menyebutnya “lupa bahwa masyarakat adat juga memiliki hukumnya sendiri.”

Trisno Arkadeus, salah satu pemuda Poco Leok mengaku menyayangkan pernyataan Edi yang menyebut Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit tidak perlu melakukan sosialisasi sebelum mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan Lokasi [SK Penlok] proyek itu.

“Cukup ironis bahwa dia menulis bupati bukan provokator, asalkan syarat-syarat terpenuhi. Syarat-syarat seperti apa? Sebab kalau ada, berarti hal itu sengaja tidak sampaikan ke masyarakat,” katanya.

Ia berkata, pernyataan Danggur yang secara hukum membenarkan peralihan hak atas tanah warga setelah mendapatkan ganti untung tidak sesuai dengan konteks adat Manggarai yang mengenal “peraturan komunal adat” bahwa “semua tanah dalam kesatuan wilayah adat adalah milik komunal gendang.”

Karena itu, katanya, urusan lahan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari urusan hukum adat yang hidup pada sebuah komunitas masyarakat.

Danggur, pengacara yang juga Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta menulis sebuah opini di media yang diduga berafiliasi dengan PT PLN, Swarantt.net berjudul “Salahkah Bupati Manggarai Menerbitkan SK Penetapan Lokasi Perluasan Geothermal?”. 

Dalam artikel pada 9 September tersebut dan diterbitkan dengan redaksi yang sedikit berbeda pada laman Pijarflores.com dan Infopertama.com, Danggur menyatakan Nabit tidak dapat disalahkan karena menerbitkan SK pada 1 Desember 2022 itu.

“Bupati bukan provokator,” tulisnya, “sebab, ketika ia menerbitkan SK Penlok, ia sedang menjalankan kewajibannya” sebagai pejabat Tata Usaha Negara [TUN].

“Asalkan syarat-syarat terpenuhi, maka bupati wajib untuk menerbitkan SK Penlok itu.”

Justru kalau bupati tidak menerbitkan SK Penlok itu, tulisnya, ia bisa digugat di Pengadilan TUN oleh PT PLN.

Ia juga berkata, bupati tidak memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan SK Penlok.

Bahkan, menurutnya, bupati dapat dianggap bersalah jika melakukan itu karena bukan urusannya.

Warga yang merasa dirugikan dengan penetapan SK itu, kata Danggur, bisa mengajukan gugatan untuk membatalkannya.

Lebih lanjut Danggur mengklaim “masalahnya sudah selesai” sebab “kenyataannya bahwa mayoritas masyarakat pemilik lahan dalam area perluasan lokasi geotermal sudah menerima uang ganti untung dari PT PLN.”

“Tidak ada orang yang berhak menghalangi PT PLN untuk memasuki area perluasan geotermal yang tanahnya sudah dilepaskan oleh masyarakat pemilik lahan dan telah menerima uang ganti untung dari PT PLN,” tulis Danggur di paragraf terakhir.

Tadeus Sukardin, petani asal Kampung Lungar berkata, wajar jika Danggur “membuat pernyataan seperti ini karena memang dia tidak tahu persoalan awal dari penetapan lokasi oleh bupati.”

“Dia katakan bahwa yang penting penuhi persyaratannya. Saya mau tanya, atas dasar apa sehingga bupati terbitkan penetapan lokasi itu,” katanya.

Ia menyebut keputusan tersebut diambil secara sepihak “tanpa ada persetujuan dari masyarakat adat Poco Leok.”

“Sejak PT PLN adakan sosialisasi di Poco Leok, sejak itu juga masyarakat menolak, sehingga masyarakat menganggap bahwa bupati menerbitkan SK tanpa sepengetahuan masyarakat,” katanya.

Siprianus Edi Hardum, pengacara lain yang juga dosen hukum di Jakarta menyesalkan pandangan Danggur karena mengabaikan cacat yang dilakukan pemerintah dan PT PLN dalam proses sejak awal hingga penetapan lokasi dan peralihan kepemilikan lahan warga.

Berbeda dari pandangan Danggur yang cenderung membela bupati, ia mengkritisi langkah Nabit yang mengeluarkan SK Penlok tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi terkait keuntungan dan kerugian proyek tersebut kepada warga.

Ia berkata kepada Floresa pada 11 September, Nabit “seharusnya paling depan membela masyarakat.”

Ia juga menyoroti soal pemaksaan proyek ini, tanpa terlebih dahulu mengevaluasi PLTP  Ulumbu, “terutama terkait manfaat dan dampak-dampaknya.”

Menurut Edi, proses sosialisasi yang terbuka dan transparan sejak awal adalah bagian dari tujuan negara sesuai amanat UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia.

Dalam konteks polemik Poco Leok, kata dia, sosialisasi sejak awal adalah bagian dari “menghormati eksistensi masyarakat hukum adat.”

Yang terjadi, katanya, Nabit mengabaikan proses-proses itu. 

“Karena itu, saya meragukan ke-Manggaraian dia, apalagi disebut keturunan raja, sebab dia sudah tidak lagi menghormati masyarakat adat yang punya struktur yang jelas dan gendang’n one lingko’n pe’ang sebagai bukti eksistensinya,” katanya.

Istilah gendang’n one lingko pe’ang merujuk pada filosofi masyarakat Manggarai tentang kesatuan ruang hidup mereka, antara tempat tinggal dan tanah ulayat.

Edi pun menyebut kasus Poco Leok menambah daftar pembangkangan Nabit, selain dalam kasus pemecatan terhadap Aparatur Sipil Negara [ASN].

Dalam kasus tersebut, yang bermula dari pemberhentian 26 ASN pada 31 Januari 2022, Nabit membangkang terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara hingga Mahkamah Agung yang memerintahkannya membatalkan pemecatan terhadap para ASN.

Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari proyek strategis nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011. PLTP Ulumbu berada sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.

Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.

Berbagai cara telah dilakukan warga dari belasan kampung adat di Poco Leok untuk menyatakan penolakan, termasuk menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] dari Jerman yang mendanai proyek tersebut.

Pada 3 September, dua orang anggota tim independen yang dibentuk Bank KfW mengunjungi Poco Leok dan beraudiensi dengan warga.

Keduanya, Nestor Castro dari The University of Philippines dan Adi Prasetyo dari Universitas Diponegoro Semarang, menyatakan melakukan “validasi dan verifikasi” di lapangan atas berbagai informasi yang sebelumnya diterima bank tersebut, baik dari pihak warga maupun PT PLN dan pemerintah.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA