Mereka Hanya Bicara Dampak Perubahan Iklim, Bukan Dampak Proyek Geotermal Poco Leok; Bantahan Warga terhadap Klaim PT PLN Telah Sosialisasi FPIC

PT PLN melakukan sosialisasi pada 27 Februari di Kampung Lengkong, bagian dari rangkaian upaya mengegolkan proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu, salah satu dari Proyek Strategis Nasional di Flores

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Kabupaten Manggarai membantah klaim PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] telah melakukan sosialisasi meminta persetujuan tanpa paksaan terhadap rencana perluasan proyek geotermal di Poco Leok.

Warga Kampung Lengkong, di lingkar Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP]  Ulumbu mengatakan PT PLN tidak melakukan sosialisasi terkait Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan [Padiatapa] itu dalam kegiatan yang digelar pada 27 Februari.

Klaim PT PLN disampaikan dalam berita di media lokal Pijarflores.com, yang menyebut tim Padiatapa dan PT PLN mengadakan sosialisasi FPIC di kampung tersebut terkait perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok.

Kanisius Patut, Ketua RT Lengkong yang ditemui Floresa pada 28 Februari mengatakan “tidak ada pembicaraan tentang rencana perluasan geotermal Poco Leok dan dampaknya bagi masyarakat” dalam sosialisasi itu.

FPIC adalah prinsip internasional terkait pelaksanaan proyek yang menyatakan persetujuan warga harus diminta sebelum sebuah proyek dimulai (prior), yang harus diadakan secara independen atau bebas oleh warga sendiri (free) berdasarkan informasi yang memadai dan akurat yang disampaikan sebelumnya (informed).”

Pemberian informasi tersebut  disampaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya setempat.

Dennis Goonting, konsultan sosial PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusra – yang membawahi wilayah Nusa Tenggara Timur- mengklaim kegiatan itu bertujuan “menyampaikan informasi detail terkait rencana pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di beberapa lokasi di Poco Leok”.

Ia juga mengatakan kegiatan itu untuk “memberikan pemahaman kepada warga atas dampak dari Proyek Strategis Nasional ini baik dari sisi lingkungan, sosial kesehatan, keselamatan, serta tahapan-tahapan dari setiap program yang akan dijalankan dalam menyukseskan proyek ini.”

Klaimnya berbeda dengan pengakuan Kanisius yang menyatakan dalam sosialisasi tersebut ia bersama warga kampung menegaskan sejak awal bahwa “tidak bisa ada pembicaraan tentang geotermal di sini.”

Pernyataan tersebut, kata dia, berkaitan dengan status mereka sebagai warga Gendang atau Kampung Adat Lungar, Desa Lungar, yang bermukim dan bertani di lokasi tersebut.

Karena itu, lanjutnya, pembahasan tentang proyek geotermal tidak pada tempatnya jika dibicarakan di kampung tersebut.

Terkait sikap warga Lengkong terhadap proyek itu, ia mengatakan sejak awal sudah menyatakan penolakan, sikap yang sama dengan warga Gendang Lungar.

“Sudah sejak awal kami sependapat dengan saudara-saudari kami di kampung induk Lungar, bahwa kami menolak geotermal,” katanya.

“Kami tidak bisa mendukungnya sementara semua keluarga kami di sana menolak.”

Kampung Lengkong, yang dihuni sepuluh kepala keluarga adalah wilayah kantong yang berjarak sekitar tiga kilometer sebelah barat Desa Lungar.

Sementara Lungar menjadi salah satu dari 14 kampung adat yang berada di wilayah Poco Leok, wilayah kantong Lengkong berada persis di sisi timur PLTP Ulumbu di Desa Wewo.

Kronologi Sosialisasi

Kanisius mengatakan sempat kaget melihat kehadiran tim tersebut, yang terdiri atas utusan Kecamatan Satar Mese dan Desa Lungar, tim PT PLN, serta beberapa orang jurnalis.

Selain itu, kata dia, “ada Kapolsek, Babinsa, dan banyak polisi.”

Ia mengatakan tim tersebut langsung masuk ke rumah warga yang menjadi tempat pertemuan, sementara ia telah mengenakan pakaian adat Manggarai untuk menerima mereka secara resmi sebelum mengadakan kegiatan sosialisasi.

“Mereka bawa alat-alat kamera, laptop, dan atribut baliho, langsung colok ke terminal [colokan listrik], mengerjakan persiapan peralatan tersebut untuk kegiatan sosialisasi di dalam rumah,” ungkapnya.

Ia mengatakan aktivitas anggota tim tersebut langsung diprotesnya, memberi tahu mereka bahwa tempat itu adalah “rumah tinggal dan kebun tempat berladang, bukan kantor pemerintahan”.

“Kalau kalian buat seperti itu, silakan pergi dari sini,” ungkapnya mengulang kata-katanya kepada pegawai Desa Lungar hari itu.

“Sebelum saya terima secara adat, jangan ada aktivitas di dalam rumah saya. Kami akan terima nanti, tapi kita harus mulai dari penerimaan adat” lanjutnya.

Setelah mencapai kesepakatan untuk penerimaan secara adat seperti yang diminta Kanisius, tim tersebut membereskan kembali peralatan elektronik dan baliho yang sudah disiapkan sebelumnya.

Selanjutnya, kata dia, diadakan penerimaan secara adat dengan Kepok Curu dan Kapu oleh warga kepada tim pemerintah dan PT PLN yang diwakili konsultan sosial PLN UIP Nusra Dennis Goonting.

“Kepada tim pemerintah saya katakan, tolong beri tahu kami apa dasarnya Anda membawa tuang  [tuan] ini ke tempat kami,” katanya merujuk pada Dennis Goonting.

“Kalau mau bawa racun yang memabukkan kami, atau membawa sesuatu yang baik, tolong beri tahu kami,” ungkapnya.

Lokasi pembangkit listrik PLTP Ulumbu di Desa Wewo, sekitar 200 meter sebelah barat dari perumahan warga Kampung Lengkong. (Dokumentasi Floresa)

“Hanya Tentang Dampak Perubahan Iklim”

Pertemuan tersebut kemudian dimulai, di mana kata Kanisius, tim Padiatapa PT PLN hanya menjelaskan dampak buruk perubahan iklim, tanpa menjelaskan dampak-dampak dari perluasan geotermal di Poco Leok.

“Mereka bicara dampak perubahan iklim. Semua gambarnya ditunjukkan kepada kami, ada gambar babi dan kambing yang mati terserang virus, asap pabrik, hutan gundul, dampak tambang batu bara, foto kondisi di Lapindo, semuanya ada,” ungkap Kanisius.

Ia mengatakan, situasi sempat “sedikit tegang” ketika tim tersebut “menyinggung tentang PLTP Ulumbu.”

“Saya minta jangan omong tentang itu. Kami sudah belasan tahun berhadapan dengan PLTP Ulumbu ini,” ungkapnya mengulangi pernyataan di hadapan tim sosialisasi.

“Dampak buruk PLTP itu buatan manusia, sedangkan kawahnya ini buatan Tuhan,” katanya sambil menunjuk ke arah kawah air dan uap panas yang berada sekitar 50 meter di belakang rumah warga.

Ia juga mengatakan kepada tim sosialisasi pengalamannya menjadi buruh kasar di lokasi PLTP Ulumbu pada masa awal pengerjaan proyek geotermal tersebut, untuk memenuhi tuntutan bahwa pekerja proyek harus berasal dari wilayah sekitar lokasi proyek.

“Mereka bilang tempo hari, ada alat deteksi yang disimpan di saku baju. Kalau alat itu berbunyi, semua harus lari ke dalam ruangan. Kalau gas H2S itu serang kita, langsung masuk ke paru-paru dan jantung,” ungkapnya.

“Kalau kalian mau, bawa obat untuk kami. Barang itu adalah penyakit, H2S namanya menurut pegawai dari Jakarta yang pernah bicara dengan saya,” lanjutnya.

Energi geotermal, berdasarkan penjelasan tim sosialisasi dalam rekaman suara yang diperoleh Floresa, adalah pilihan di tengah banyaknya penggunaan energi fosil yang mencemari lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim.

“Berbeda dari energi fosil yang menghasilkan asap, geotermal menghasilkan uap yang hilang dengan sendirinya di udara, sama seperti uap dari air yang kita panaskan,” ungkap Hans Ndorang, salah seorang anggota tim tersebut.

Tim tersebut juga menjelaskan keterbatasan penggunaan energi angin yang disebut “tidak didukung potensi angin.”

Selain itu, penggunaan energi air juga disebut tidak dapat diterapkan karena kekurangan debit air dan ketiadaan air terjun yang besar, dan penggunaan energi matahari sangat bergantung pada cuaca dan musim.

Karolus Manjar, pemuda asal Kampung Lengkong mengatakan tim sosialisasi tersebut juga menyampaikan pandangan Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik sedunia tentang dampak buruk perubahan iklim.

“Mereka mengutip Laudato Si dari Paus Fransiskus, termasuk tentang energi listrik dari geotermal,” kata Karolus.

Kanisius menambahkan, sosialisasi tersebut berakhir dengan penyampaian usulan warga terkait penyaluran dana Corporate Social Responsibility [CSR] dari PT PLN dalam bentuk bantuan dana kelompok hortikultura dan bantuan ternak sapi.

Sebelumnya, kata dia, sejak tahun 2023 PT PLN telah membentuk kelompok hortikultura di kampung tersebut, yang mengusahakan penanaman sayur-sayuran di salah satu lokasi, berdekatan dengan kawah air dan uap panas.

“Berdasarkan laporan, sudah tidak ada dana [hasil produksi hortikultura]. Berdasarkan laporan dari sini, itu gagal panen, penyakit, bencana,” ungkapnya.

“Berita acara sosialisasi kemarin juga akhirnya berisi kegiatan pengusulan CSR dan hortikultura ini,” pungkasnya.

Tanaman sayur milik kelompok tani Kampung Lengkong, bagian dari penyaluran CSR PT PLN sejak tahun 2023. Kini usaha hortikultura ini gagal panen. (Dokumentasi Floresa)

Beragam Upaya Loloskan Geotermal Poco Leok

Proyek geothermal di Poco Leok, perluasan dari PLTP Ulumbu yang berjarak sekitar tiga kilometer di sebelah barat, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Saat ini, pemerintah dan PT PLN gencar mengadakan sosialisasi Padiatapa atau FPIC di berbagai tempat, baik di wilayah Poco Leok maupun di sekitar PLTP Ulumbu.

Sementara itu, warga dari belasan kampung adat di Poco Leok tetap tegas menyatakan penolakan.

Beragam upaya dilakukan warga, di antaranya pengiriman surat aduan kepada pendana proyek yaitu Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau asal Jerman.

Mereka juga menulis surat kepada pihak pemerintah dan Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] Manggarai, di samping berbagai aksi penghadangan terhadap aktivitas perusahaan dan unjuk rasa di sejumlah lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini