Floresa.co – Tim Independen Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] yang mendanai proyek geotermal di Poco Leok menemukan proses yang dilakukan oleh pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] tidak sesuai standar lingkungan dan sosial internasional.
Karena itu, tim utusan bank tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek ini.
Mereka juga merekomendasikan pihak PLN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai untuk memperbaiki proses mendapatkan persetujuan masyarakat.
Tim itu menyampaikan temuan dan rekomendasinya dalam sebuah rapat dengan warga Poco Leok secara daring pada 14 November.
Hadir pada pertemuan itu pihak dari Central Complaints Office atau Kantor Pusat Pengaduan Bank KfW yang berbasis di Frankfurt, Jerman; perwakilan Bank KfW Indonesia di Jakarta; dan tim independen dari Monkey Forest Consulting [MFC], berbasis di Filipina.
Ratusan warga adat dari 10 gendang atau kampung adat di Poco Leok juga ikut dalam rapat itu secara daring dari Kampung Lungar di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.
Beberapa lembaga advokasi turut hadir, seperti JPIC SVD Ruteng, Walhi NTT, Jaringan Advokasi Tambang, Sunspirit for Justice and Peace dan FIAN, lembaga yang berbasis di Jerman.
Dalam pemaparannya, Nestor Castro, salah satu anggota tim independen dari MFC menjelaskan, langkah yang dilakukan PLN sejak tahun 2022 untuk mendapatkan dukungan masyarakat terhadap proyek itu “tidak memadai.”
Nestor bersama Adi Prasetijo, antropolog Universitas Diponegoro Semarang sebelumnya berkunjung ke Poco Leok dan Ruteng pada awal September. Kunjungan itu bagian dari rangkaian tinjauan lapangan untuk melakukan “validasi dan verifikasi” terhadap berbagai informasi yang sebelumnya diterima Bank KfW terkait polemik proyek tersebut.
Selain warga yang menolak, tim tersebut juga menemui para pendukung proyek, termasuk PT PLN dan Pemda Manggarai.
Tanpa Persetujuan Jadi Pemicu Perlawanan Semakin Konsisten
Nestor berkata fokus penelitian lapangan yang ia lakukan adalah mengidentifikasi tingkat kepatuhan proses FPIC [Free Prior and Informed Consent] yang sedang berlangsung dengan standar yang relevan, “khususnya Standar Sosial Lingkungan Bank Dunia dan standar sosial lain yang relevan.”
Selain itu “meninjau pengelolaan dan usulan mitigasi risiko dan dampak terhadap masyarakat adat.”
FPIC merupakan prinsip internasional terkait pelaksanaan proyek yang menyatakan persetujuan warga harus diminta sebelum sebuah proyek dimulai (prior), diadakan secara independen atau bebas oleh warga sendiri (free) berdasarkan informasi yang memadai dan akurat yang disampaikan sebelumnya (informed).
Standar-standar sosial tersebut, kata Nestor, seperti “menghormati hak dan budaya”, “menghindari dampak buruk pada masyarakat adat”, “persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan”, “konsultasi bermakna”, “berbagi manfaat”, “perlindungan hak atas tanah”, dan “mekanisme penyampaian keluhan sesuai budaya dan dapat diakses masyarakat adat.”
Ia menekankan soal prior dalam FPIC, “artinya sebelum proyek harus ada FPIC.”
Menurut Nestor. persetujuan dari masyarakat tidak dilakukan oleh PLN sebelum proyek.
“Komunitas tidak diberikan informasi yang memadai, yang mengakibatkan kebingungan dan ketidakpercayaan,” katanya.
Proses tersebut juga melalui mekanisme “partisipasi yang bermakna dan belum sepenuhnya selaras dengan standar internasional.”
Ia juga menyoroti aspek “Rencana Masyarakat Adat” atau Indigenous Peoples Plan [IPP], yakni kesepakatan kolaboratif dengan masyarakat adat terdampak proyek, terkait mitigasi dampak buruknya.
“Saya tahu PLN sedang menyusun IPP, tetapi dokumen tersebut seharusnya dibuat lebih awal,” katanya, menyebut bahwa “tidak ada rencana terstruktur untuk mengelola dampak proyek atau melibatkan masyarakat adat dalam pembuatan keputusan.”
Selain itu, lanjut Nestor, proses-proses tersebut “tidak melibatkan kelompok rentan, seperti perempuan, kaum muda dan warga yang paling miskin sehingga partisipasi yang inklusif tidak dijalankan.”
“Penentangan yang terus berlangsung dan konsisten dari masyarakat adat menunjukkan tidak tercapainya persetujuan yang tulus, dan [PLN] gagal dalam mengatasi keluhan dan kekhawatiran masyarakat secara efektif,” katanya.
Rekomendasi: Hindari Taktik Pemaksaan
Setelah pemaparan temuan-temuan tersebut, Nestor menyampaikan beberapa rekomendasi kepada PT PLN dan Pemda Manggarai, yang tujuan utamanya untuk “membangun kembali kepercayaan masyarakat.”
Rekomendasi pertama adalah “menghentikan sementara operasi proyek dan berfokus pada resolusi konflik di area Desa Mocok dan Desa Lungar, di mana FPIC belum diperoleh sebagaimana mestinya.”
Ia berkata, selama periode penghentian sementara itu, pemerintah dan perusahaan memperbaiki FPIC, dengan bermitra dengan masyarakat adat terdampak.
Ia meminta agar “memastikan catatan konsultasi dan IPP disepakati bersama dengan syarat-syarat persetujuan yang didefinisikan dengan jelas.”
Berbagai pihak, katanya, “menyusun dan menyelesaikan IPP yang berfokus pada mengurangi dampak negatif dan meningkatkan manfaat, dengan struktur tata kelola yang melibatkan perwakilan adat.”
Hal tersebut, lanjut Nestor, harus dibuat bersama dengan masyarakat yang terkena dampak dan diselesaikan sebagai bagian dari proses FPIC.
Selain itu, ia juga merekomendasikan agar pemerintah dan perusahaan menghindari tindakan “yang kemungkinan dapat meningkatkan ketegangan.”
“Pastikan memberikan waktu cukup untuk proses FPIC, hindari taktik pemaksaan atau hindari memberikan insentif hanya untuk mendapatkan persetujuan,” katanya.
Warga: Kami Mau Hentikan Selamanya
Merespons pemaparan tim independen, Maria Suryanti Jun, perempuan adat asal Kampung Mocok menyatakan, ia bersama warga telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal.
Karena itu, katanya, sikap mereka “bukan penghentian sementara seperti yang dikatakan Nestor.”
“Kami tidak mau revisi ulang kedatangan perusahaan, karena dari awal kami menolak proyek. Kami mau hentikan selamanya, tidak boleh datang lagi di wilayah adat kami,” katanya.
Ia secara khusus menyoroti ancaman kehilangan tanah dan air akibat proyek tersebut, yang menurutnya akan mengancam keberadaan budaya warga.
“Kami butuh empat belas mata air yang ada. Kami tidak setuju perusahaan geotermal. Budaya kami bergantung ke mata air itu,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Tadeus Sukardin, yang menyatakan warga menuntut “penghentian permanen” proyek tersebut karena “dibangun di dalam ruang hidup, di kebun dan sekitar rumah-rumah kami.”
“FPIC yang dilakukan perusahaan dan pemerintah selama ini tidak melibatkan kami, tetapi warga yang tidak tinggal di Poco Leok, dan karena itu tidak terkena dampak langsung dari proyek ini,” katanya.
Agustinus Tuju, tua adat Kampung Nderu berkata, “kami di Poco Leok ada dalam satu ruang hidup yang sama, adat dan budaya yang sama, juga lingkungan yang sama.”
Karena itu, “kalau ada rekomendasi untuk dikaji ulang, kami tidak akan setuju.”
Pius Roman, warga lainnya dari Kampung Nderu berkata, presentasi tim independen “memang menunjukkan prosedur yang benar dalam proses Proyek Strategis Nasional.”
“Tetapi tidak tersurat sedikitpun bahwa kami menolak proyek ini tanpa syarat, bukan hanya persoalan prosesnya,” katanya,
Ia berkata, PLN telah “menghalalkan segala cara, termasuk sosialisasi FPIC kepada warga yang tempat tinggalnya berjarak puluhan kilometer dari Poco Leok.”
“Kami sebenarnya mengharapkan Nestor beritahu bahwa kami tidak minta prosedur yang benar, kami tidak butuh prosedur, tapi kami tolak mutlak tanpa syarat,” katanya.
“Uang KfW Membunuh Kami”
Warga Poco Leok juga meminta KfW untuk bertanggung jawab atas persoalan yang selama ini terjadi di Poco Leok.
“Mohon hentikan [pendanaan] uang dari Jerman. Jangan sampai kami perempuan Poco Leok diinjak-injak aparat. Saya ini diinjak-injak aparat gara-gara uang dari Jerman,” kata Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar.
Dalam sebuah protes menentang proyek itu pada 20 Juni 2023, Elisabeth melakukan aksi telanjang dada untuk menghentikan pengukuran lahan di Lingko Tanggong milik Gendang Lungar.
Sementara itu, Maria Teme, perempuan lainnya berkata “kalau uang dari Bank Jerman masih diberikan kepada PLN, berarti kami dibunuh oleh Bank Jerman.”
“Kami belum mau mati, sebelum pencipta mengambil kami. Poco Leok tidak mau kami jual kepada siapapun, apalagi kepada orang yang tidak kami kenal,” katanya.
Wilhelmina Sesam, perempuan asal Lungar menyoroti kondisi sosial di wilayah itu, yang menurutnya tidak kondusif selama adanya proyek geotermal.
“Kami akhirnya pecah dengan keluarga, kami tidak baku omong dengan sesama. Kehadiran geotermal merusak lingkungan dan merugikan persaudaraan kami,” katanya.
Yudi Onggal, salah satu pemuda Poco Leok mengatakan pendanaan geotermal oleh Bank KfW berarti “mendanai para pembunuh untuk membunuh masyarakat adat.”
“Bank ini akan kami ingat seumur hidup sampai anak cucu, dan kami tidak akan berhenti berperang untuk memberitakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di sini,” katanya.
Ia berkata, pemerintah dan perusahaan mendukung proyek tersebut atas dasar “transisi ke energi berkelanjutan, tetapi yang kami saksikan dan alami justru merusak ruang hidup dan budaya kami.”
“Pengrusakan adalah kejahatan kemanusiaan yang terstruktur dan sistematis. Energi untuk kami adalah hutan, air, tanah, adat dan tradisi kami. Ketika itu hilang, maka hidup kami hilang,” katanya.
Sementara itu, Agustinus Sukarno, pemuda lainnya mempertanyakan sikap tegas Bank KfW setelah mendapatkan laporan temuan lapangan dari tim independen.
“Apakah KfW akan terus danai atau hentikan?” katanya.
Ia berkata, fokus kajian tim independen pada FPIC dan IPP “terkesan mereduksi alasan penolakan warga.”
“Penolakan kami bukan hanya soal FPIC, tapi sejak awal PLN sudah melecehkan adat Poco Leok,” katanya.
Ia juga mengatakan PT PLN dan Bank KfW “harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan dan meminta maaf dengan hadir secara langsung di Poco Leok.”
KfW: Kami Belum Cairkan Dana Proyek
Menanggapi tuntutan warga bahwa uang mereka telah dipakai untuk membawa keresahan di Poco Leok, pihak KfW berkata, mereka sebenarnya belum memberikan uang untuk pendanaan proyek itu.
Menanggapi pengakuan itu, tokoh muda Poco Leok Yudi Onggal meminta penjelasan tentang MoU antara KfW dan PLN pada tahun 2018 yang mengatur kesediaan KfW meminjamkan dana 150 juta dollar Amerika Serikat dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan PLN.
Marco Leidel, spesialis lingkungan hidup dari Bank KfW berkata, pihaknya baru mengeluarkan uang untuk konsultasi dan studi.
“Benar bahwa perjanjian itu ditandatangani tahun 2018, tetapi tidak ada dana yang sudah dikeluarkan untuk proyek,” katanya.
Bank KfW, kata Marco hanya memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia “bahwa uang akan dikeluarkan saat proyek dimulai.”
Hal senada disampaikan Burkhard dari Kantor Perwakilan Bank KfW Jakarta, bahwa “tidak ada satu sen pun yang sudah dikeluarkan, kecuali untuk konsultasi dan studi, termasuk [tinjauan lapangan] tim independen.”
“Kami memperhitungkan pendapat warga yang berpartisipasi dalam pertemuan ini,” katanya.
“Kita tidak membunuh orang, tidak juga melakukan hal-hal ke arah itu,” tambahnya.
Sementara itu Sebastian Spetzer, Kepala Central Complaints Office Bank KfW berkata, pihaknya menginginkan dialog yang damai dengan warga Poco Leok sebagai suatu langkah penting penyelesaian masalah.
“Kami sepakat bahwa kita terlibat dalam dialog yang konstruktif. Ada banyak poin yang kami sudah dengar dan catat,” katanya.
“Kami akan terus dengar dan dialog dengan perwakilan warga,” tambahnya.
Diana Arango dari Kantor Perwakilan KfW Jakarta menyebut, pihaknya tidak hanya memperhatikan proyek tetapi juga dampak-dampaknya terhadap warga.
“Kami banyak belajar dari warga hari ini tentang beberapa aspek kehidupan dan semua kekhawatiran itu akan diperhatikan, seperti mata pencaharian, air, rumah, dan tanah,” katanya.
Terkait kekerasan berulang yang dilakukan aparat di lokasi proyek tersebut, Burkhard menegaskan “kami menolak kekerasan dari pihak manapun.”
Proyek geotermal Poco Leok merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional, perluasan dari PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga telah melakukan berbagai aksi penolakan terhadap proyek ini, yang beberapa kali direspons dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.
Dalam peristiwa pada 2 Oktober, beberapa warga mengalami penganiayaan saat melakukan aksi protes terhadap pemerintah dan PT PLN yang mendatangi lokasi proyek. Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa juga ikut dianiaya saat meliput aksi yang warga sebut sebagai bagian dari upaya “ jaga kampung” itu.
Kasus penganiayaan ini – baik terhadap warga maupun Herry – kini sedang diusut Polda NTT, dengan terlapor adalah aparat di Polres Manggarai. Selain itu, salah satu jurnalis berinisial TJ juga ikut dilapor karena diduga terlibat dalam penganiayaan terhadap Herry.
Editor: Ryan Dagur