Diintimidasi Hingga Dibui Tanpa Salah; Lika-Liku Warga Adat Flores Hadapi Praktik Manipulasi Hukum dan Proyek yang Rampas Ruang Hidup

Upaya pemaksaan untuk menerima proyek infrastruktur, pariwisata dan energi terjadi di sejumlah lokasi, sementara manipulasi dalam penegakan hukum menyeret warga adat ke penjara, kendati akhirnya dinyatakan tidak bersalah

Floresa.co – Mikael Ane, warga adat dari Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur menjejakkan kembali kakinya di Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur pada 9 Mei, 14 bulan usai ia mendekam di penjara.

Ia dibui di Rumah Tahanan Kelas II B Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai sejak ditangkap pada 28 Maret 2023. 

Mikael, 57 tahun, divonis satu tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Ruteng karena membangun rumah di kawasan yang diklaim pemerintah tercakup dalam Taman Wisata Alam Ruteng. Putusan itu diperkuat Pengadilan Tinggi Kupang. 

Namun, Mahkamah Agung yang membebaskannya dalam putusan pada 6 Mei, menyatakan bahwa ia tidak bersalah.

Mikael Ane, warga adat di Manggarai Timur ditahan sejak Maret 2023. Mahkamah Agung menyatakan pada 6 Mei bahwa Mikael tidak bersalah. (Dokumentasi pribadi)

Mikael hanyalah salah satu dari warga adat di Flores, baik individu maupun komunitas, yang beberapa tahun belakangan harus berhadapan dengan hukum gara-gara berjuang mempertahankan tanah dan ruang hidup, yang dalam cara pandang pemerintah, korporasi dan aparat acapkali mengkategorikannya sebagai pelanggaran hukum 

Ada warga yang mengalami tindak kekerasan dan intimidasi, mendapat surat panggilan untuk diperiksa, ditetapkan sebagai tersangka hingga dibui. Ada pula yang mengupayakan jalur gugatan hukum dalam sengketa dengan pemerintah dan perusahaan. 

Kriminalisasi atau pemidanaan terhadap warga adat, juga pejuang lingkungan hidup dalam implementasi proyek-proyek ekstraktif pemerintah dan perusahaan, memang sedang menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir, hal yang membuat sejumlah organisasi masyarakat sipil menyebut demokrasi Indonesia mengalami kemunduran.

Jika Mikael Ane dibui gara-gara tuduhan yang ternyata tidak benar, kasus yang menimpa warga lainnya di Flores terkait erat dengan simpul pembangunan masif dalam proyek-proyek pariwisata dan konservasi, energi dan infrastruktur skala besar.

Floresa mencatat dan mengikuti proses dari beberapa kasus tersebut, yang kami rangkum sebagai berikut.

Demi Proyek Pariwisata dan Konservasi

Penetapan Pulau Komodo dan gugusan pulau di sekitarnya sebagai kawasan Taman Nasional pada tahun 1980 diikuti oleh sejumlah regulasi yang memicu pembatasan dan pelarangan terhadap aktivitas Ata Modo, warga adat di wilayah itu. Pelarangan itu misalnya dalam aktivitas perburuan, pertanian dan perikanan. Lahan ulayat warga diambil tanpa ganti rugi untuk menjadi wilayah konservasi.

Dalam perkembangannya, di mana sistem zonasi darat dan perairan berada di bawah otoritas perusahaan The Nature Conservancy [TNC] dan PT Putri Naga Komodo pada 1995 hingga awal tahun 2000-an, pengawasan dilakukan dengan ketat, cenderung represif. Nelayan ditangkap, dipukul, bahkan dipenjara.

Pembangunan pariwisata dan konservasi yang semakin masif pasca terbitnya Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia [MP3EI] 2011-2025 juga menambah eskalasi konflik, kekerasan dan kriminalisasi.

Master plan tersebut, yang salah satunya menetapkan wilayah Bali-Nusa Tenggara sebagai koridor ekonomi pariwisata dan pangan, diikuti berbagai kebijakan semisal penetapan Labuan Bajo sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas pada 2019.

Intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap pelaku wisata terjadi saat aksi besar-besaran menolak kebijakan kenaikan tarif wisata yang ditetapkan Pemprov NTT melalui pada 2022. Kebijakan itu muncul pasca masuknya BUMD PT Flobamor yang tidak punya rekam jejak usaha di bidang pariwisata dan baru-baru ini telah undur diri dari kawasan itu.

Aksi mogok dan demonstrasi warga Komodo, pelaku wisata dan warga sipil lainnya pada 1 Agustus 2022 menolak kebijakan itu membuat enam orang terluka dan puluhan pelaku wisata ditangkap. Salah seorang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah menandatangani pernyataan untuk berhenti mogok.

Dalam rangka proyek pariwisata, pada 2018 pemerintah membentuk Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] – sebelumnya bernama Badan Otorita Pariwisata. Selain diberi kewenangan mengatur pariwisata di wilayah Flores dan dua kecamatan di Bima, Nusa Tenggara Barat, lembaga ini juga mendapat hak pengelolaan lahan 400 hektare di Hutan Bowosie, pinggiran Labuan Bajo.

Proyek pariwisata buatan di hutan itu yang disebut Parapuar  dimulai dengan penggusuran jalan masuk pada April 2021, di mana seorang warga dari Komunitas Racang Buka ditangkap dan ditahan saat berupaya mengadang alat berat.

Paulinus Jek (baju biru-putih), warga yang ditangkap polisi setelah berupaya menghadang penggusuran jalan Proyek Strategis Nasional. Paulinus adalah anggota Komunitas Racang Buka yang kebunnya menjadi bagian dari lokasi 400 hektar Kawasan bisnis pariwisata yang dikelola Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPO-LBF). (Dokumentasi Floresa)

Warga Racang Buka yang telah puluhan tahun mendiami wilayah yang kini dikuasai BPO-LBF telah melakukan perlawanan dengan beragam cara, termasuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta, pada November 2022. Namun, aspirasi mereka tidak direspons, sementara proyek Parapuar kini terus berlanjut.

Sementara itu, warga di arah selatan dari Labuan Bajo, yang berada di sekitar Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori, mengalami intimidasi saat menuntut hak ganti rugi lahan pembangunan jalan yang dipakai untuk acara Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN Summit pada Mei 2023.

Dua warga dan dua aktivis yang menuntut ganti rugi tersebut dilaporkan dengan tuduhan penghasutan, beberapa hari menjelang ASEAN Summit. Selain oleh aparat keamanan dan warga sipil yang mengaku utusan pusat, warga tersebut juga didekati tokoh agama yang meminta mereka tidak melakukan aksi.

Meski pemerintah berjanji membayar ganti rugi tersebut asalkan mereka tidak melakukan aksi, warga terus menunggu dalam ketidakpastian, hal yang mendorong mereka kembali melakukan aksi saat ASEAN Summit ke-43 di Jakarta pada 7 September 2023.

Presiden Joko Widodo meresmikan jalan yang menghubungkan Labuan Bajo dengan Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori pada Selasa, 14 Maret 2023. Hingga kini sebagian warga yang lahannya digusur untuk pembangunan jalan itu belum mendapat ganti rugi (Foto: Setkab RI)

Kasus Infrastruktur

Demi meloloskan proyek-proyek infrastruktur di Flores, sejumlah upaya pembungkaman suara warga marak terjadi.

Pada 18 April 2018, polisi melakukan kekerasan terhadap perempuan adat Rendu di sekitar lokasi pembangunan Waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Kala itu, seorang ibu dicekik dan telepon genggam warga lainnya dirampas. 

Warga tersebut mengaku melakukan pengadangan terhadap aktivitas tim Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II yang melakukan survei ke lokasi pembangunan waduk tanpa pemberitahuan kepada warga. 

Kekerasan tersebut terus berlanjut ketika pada Oktober 2021 polisi memborgol tangan Hermina Mawa, ibu yang bersama sekelompok perempuan adat Rendu mengadang tim pembangunan di gerbang masuk Waduk Lambo.

Pada April 2022, 24 warga adat Rendu juga ditangkap dan diintimidasi di Polres Nagekeo. Mereka didatangi aparat di kampung, setelahnya mendapat surat panggilan untuk memberikan “keterangan” terkait alasan menolak proyek.

Sementara itu, pembangunan Terminal Kembur di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, yang menyebabkan seorang petani masuk bui karena menjual tanah warisan orang tuanya, juga sarat kriminalisasi.

Gregorius Jeramu, 63 tahun, petani asal Kembur harus masuk jeruji besi selama setahun sejak Oktober 2022 hingga divonis bebas oleh Mahkamah Agung pada November 2023.

Sebelumnya, hakim Pengadilan Tinggi Kupang memvonisnya empat  tahun penjara, meningkat dari dua tahun dalam vonis pengadilan tingkat pertama. Ia dinyatakan bersalah karena pada 2012 menjual tanah yang tidak bersertifikat kepada pemerintah untuk pembangunan terminal. Ia juga dinyatakan harus mengganti kerugian negara senilai harga tanah, Rp402.245.455, subsider penjara 1 tahun dan denda Rp200.000.000, subsider 3 bulan kurungan.

Gregorius Jeramu, 64 tahun, warga Kampung Kembur di Kabupaten Manggarai Timur yang pernah dipenjara, diduga akibat praktik muslihat penegakan hukum. (Andre Babur/Floresa)

Selain Gregorius yang sudah bebas, terdakwa lainnya yang masih dipenjara adalah Benediktus Aristo Moa, pegawai di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur saat pengadaan lahan terminal itu. Aristo divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Kupang, meningkat dari 1,6 tahun di pengadilan tingkat pertama. Ia dinyatakan bersalah karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

Proses hukum kasus itu menuai protes keras dari berbagai elemen karena sejak awal kasus utama yang diselidiki polisi adalah dugaan korupsi infrastruktur atau bangunan terminal, bukan pengadaan tanah. Terminal penghubung angkutan pedesaan dari wilayah utara menuju Borong itu dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal tidak dimanfaatkan dan kini telantar.

Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan dan Informatika seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar. Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.

Sebuah laporan kolaborasi Floresa dan Project Multatuli yang dirilis pada September 2023 membongkar dugaan permainan jaksa selama penanganan kasus ini, demi menyelamatkan para pejabat yang hingga kini belum diproses.

Kasus Tambang dan Energi

Pada 19 Agustus 2022, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dua warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur dalam sengketa terkait izin tambang dan izin lingkungan yang masing-masing dikeluarkan Pemprov NTT dan Pemda Manggarai Timur.

Kemenangan dua wakil warga tersebut, Isfridus Sota dan Bonefasius Yudent, diumumkan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 450 K/TUN/LH/2022 yang memerintahkan pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam milik PT Istindo Mitra Manggarai. Mahkamah Agung membatalkan Putusan PTUN Surabaya pada 2 Maret 2022 yang menolak gugatan Isfridus dan Bonefasius, selaras putusan PTUN Kupang tanggal 11 November 2021.

Isfridus Sota, warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda di Kabupaten Manggarai Timur, yang menolak izin tambang batu gamping. (Dokumentasi Floresa)

Kemenangan ini diperoleh setelah serangkaian aksi protes yang tidak hanya melibatkan warga, tetapi juga elemen lain di berbagai kota. Gugatan hukum menjadi opsi terakhir warga usai beragam cara lain gagal. 

Kasus lainnya di sektor energi dan tambang terjadi di lingkar proyek strategis nasional bidang panas bumi atau geotermal.

Warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai menghadapi tindak kekerasan, intimidasi hingga kriminalisasi ketika melakukan aksi penolakan proyek geotermal perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu Unit 5-6 di wilayah itu.

Pada Februari hingga Juni 2023, warga dari belasan gendang atau kampung adat mengadang aktivitas PT PLN dan pemerintah yang dikawal ketat Satpol PP dan aparat keamanan, baik polisi maupun TNI. Tindak kekerasan meningkat pada bulan Juni itu, di mana empat perempuan dan lima laki-laki ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan.

Selain itu, pada 6 Oktober 2023 tujuh warga Poco Leok diperiksa oleh Polres Manggarai karena dituduh melakukan tindak pidana “dengan sengaja menghalangi atau merintangi pembangunan pengusahaan panas bumi dan dengan kekerasan melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah.” Mereka dinyatakan bisa dipidana karena melanggar UU Cipta Kerja.

Polisi sedang memanggil empat warga Poco Leok pada 6 Oktober 2023, yang diperiksa pada sesi pertama pemeriksaan wawancara klarifikasi di Ruang Reskrim Polres Manggarai. (Dokumentasi Floresa)

Sementara itu, di Kabupaten Manggarai Barat, selama sekitar tujuh tahun terakhir warga adat Wae Sano menghadapi konflik dengan pemerintah, perusahaan PT Geo Dipa Energy, dan Bank Dunia sebagai pendana proyek geotermal. Dalam sosialisasi terkait mundurnya Bank Dunia sebagai pendana proyek tersebut pada 9 November 2023, Hilarius Madin, Asisten I Bupati Manggarai Barat mengatakan proyek akan dilanjutkan dengan memakai “Undang-Undang Indonesia” dan bukan lagi “Undang-Undang Bank Dunia.” 

Cerita intimidasi dan manipulasi terhadap warga adat dalam proyek geotermal juga terjadi di Sokoria, Kabupaten Ende. Dalam proses pengadaan tanah untuk PLTP Sokoria pada 2020, empat orang Mosalaki Pu’u – sebutan untuk mosalaki atau tua adat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, termasuk dalam hal urusan tanah ulayat – dijemput dengan mobil perusahaan dan dibawa ke Markas Komando Distrik Militer untuk menandatangani persetujuan menghibahkan lahan. 

Lokasi PLTP Sokoria di Kabupaten Ende, yang berdekatan dengan pemukiman warga dan kaki Gunung Kelimutu, di mana terdapat danau tiga warna. (Dokumentasi Floresa)

Terus Jadi Ancaman untuk Flores

Beragam bentuk tekanan terhadap warga adat diperkirakan terus terjadi mengingat sejumlah proyek skala besar kini terus dijalankan, sementara sejumlah proyek baru lainnya bermunculan.

Misalnya dalam proyek geotermal. Di Poco Leok, warga adat kini memprotes langkah PT PLN dan Pemda Manggarai yang memulai tahap baru penetapan lokasi. Di Wae Sano warga juga masih terus menyuarakan penolakan terhadap proyek yang kini diklaim didanai pemerintah Indonesia pasca mundurnya Bank Dunia. Baru-baru ini pemerintah juga melakukan ekspansi pembangunan geotermal di Nage, Kabupaten Ngada.

Demi meloloskan proyek-proyek ini, pendekatan keamanan menjadi pola umum yang dilakukan pemerintah dan korporasi, menurut Melky Nahar, koordinator Jaringan Advokasi Tambang dalam sebuah diskusi yang digelar Floresa.

Ia berkata, proyek-proyek tersebut terus menjadi ancaman bagi warga dan lingkungan, karena “tidak berangkat dari aspirasi warga” dan “bersifat top-down atau kebijakannya datang dari atas.” Kendati diklaim demi kesejahteraan warga, kata dia, proyek-proyek itu faktanya membawa serta upaya pemiskinan lewat pencaplokan dan alih fungsi lahan. Di sisi lain, mereka yang mengkritisinya atau terlibat dalam advokasi hak-hak warga menghadapi  beragam bentuk tekanan, termasuk serangan digital, baik terhadap warga, aktivis maupun jurnalis.

Situasinya kemungkinan akan tetap sama, bahkan berpotensi memburuk pasca Pemilu 2024, mengingat Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah menyatakan akan meneruskan pola pembangunan rezim pemerintahan saat ini.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA