Babak Baru Proyek Geothermal Wae Sano: Bank Dunia Angkat Kaki, Pendana Beralih ke Pemerintah

Sosialisasi peralihan pendana proyek itu digelar pada 9 November

Baca Juga

Floresa.co – Polemik proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat kini memasuki babak baru, setelah Bank Dunia mencabut rencana pendanaan.

Pada Kamis, 9 November, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat akan hadir di desa itu untuk memberitahu warga soal pendana proyek yang kini beralih ke pemerintah sendiri.

Sesuai surat Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi pada 25 Oktober, pertemuan itu dalam rangka “sosialisasi status dan tindak lanjut proyek eksplorasi geothermal Wae Sano.” Surat ditujukan kepada tiga kepala kampung adat di Nunang, Lempe dan Taal; Pemerintah Desa Wae Sano; para pemilik lahan; tokoh masyarakat; serta pihak-pihak terkait lainnya.

Pertemuan, menurut surat itu, akan digelar di Aula Kantor Desa Wae Sano bersama pelaksana proyek, PT Geo Dipa Energy.

“Kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano dikeluarkan dari Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) dan Bank Dunia tidak terlibat lagi dalam pembiayaan,” demikian isi surat Edi.

Dalam poin berikutnya, ia menjelaskan, “pelaksanaan kegiatan eksplorasi akan dilanjutkan pemerintah menggunakan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi.”

Proyek geothermal Wae Sano adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional bidang energi dan sumber daya mineral, yang dirancang pasca penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi [Geothermal Island] melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017.

Pengerjaan proyek tersebut pada tahapan eksplorasi saat ini dilaksanakan oleh PT Geo Dipa Energi, yang sebelumnya oleh PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI], dengan perkiraan bisa menghasilkan energi listrik 45 Megawatt. Dua perusahaan tersebut adalah bagian dari Badan Usaha Milik Negara [BUMN] di bawah Kementerian Keuangan.

Bank Dunia dan sebuah lembaga pemerintah Selandia Baru, New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme, awalnya mendanai proyek tersebut sebagai bagian dari GEUDP.

Sementara itu, warga Desa Wae Sano yang akan menjadi wilayah terdampak proyek sejak awal menyatakan penolakan.

Dasar penolakan warga adalah keselamatan ruang hidup mereka, yakni kesatuan utuh antara golo lonto, mbaru kaeng, natas labar (perkampungan adat), uma duat (lahan pertanian/perkebunan), wae teku (sumber mata air), compang takung, lepah boa (tempat-tempat adat), puar (hutan) dan sano (danau).

Protes warga tersebut dilakukan dalam beragam cara, mulai dari demonstrasi di Wae Sano dan Labuan Bajo, hingga menulis surat kepada Bank Dunia pada Maret 2020 lalu. Surat itu kemudian ditindaklanjuti Bank Dunia dengan dua kali mendatangi Wae Sano, menemui warga.

Dalam pertemuan pertama Pada 9 Mei 2022, delegasi Bank Dunia diwakili empat orang, yakni Satoshi yang berkewarganegaraan Jepang, Lestari Boediono serta dua lainnya. Mereka didampingi oleh Yando Zakaria, Staf Kantor Staf Presiden [KSP] dan John Situmorang, perwakilan PT Geodipa Energi.

Sikap warga yang tetap mempertahankan argumentasi penolakan tersebut membuat Bank Dunia kembali mengadakan kunjungan pada 13 Desember 2022.

Dalam polemik proyek ini, warga juga sempat mengajukan protes keras terhadap kebijakan Gereja Keuskupan Ruteng.

Protes itu terkait surat yang dikirimkan pada 29 Mei 2021 oleh Uskup Siprianus Hormat kepada Presiden Joko Widodo, berisi rekomendasi agar proyek itu dilanjutkan.

Dalam suratnya, uskup mengklaim telah “memahami dan dapat menerima penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah tentang persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.”

Surat kepada Presiden Jokowi itu adalah surat kedua setelah surat sebelumnya pada 9 Juni 2020, di mana Uskup Sipri mengingatkan bahaya dari proyek itu.

Surat kedua itu dikirim setelah pemerintah melakukan pendekatan dengan keuskupan yang berujung pada penandatanganan Nota Kesepahaman [MoU] dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2 Oktober 2020 dan pembentukan  sebuah komite bersama, yang antara lain melakukan rangkaian proses sosialisasi ulang atas proyek itu. Tim itu melibatkan keuskupan, pemerintah dan perusahaan.

Sikap Uskup Sipri berbeda dengan lembaga Gereja Katolik lainnya, seperti Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum dan JPIC SVD tetap menolak karena khawatir akan dampak proyek itu bagi kehidupan warga.

Menanggapi rencana pertemuan pada 9 November, warga menyatakan akan menghadiri kegiatan sosialisasi, dengan tetap menyatakan penolakan yang sama seperti sebelumnya.

“Sikap masyarakat tidak berubah, tidak beralih,” kata Yosef Erwin, warga Kampung Nunang, Desa Wae Sano.

Rofinus Rabun, warga lainnya yang getol menolak proyek ini mengatakan, “tidak penting siapa yang mendanai.”

“Sepanjang geothermal Wae Sano berada dalam ruang hidup masyarakat, hanya ada satu kata, kami tetap tolak,” katanya.

Hal senada disampaikan oleh Yosef Subur, warga Kampung Nunang, bahwa persoalan pokok geothermal Wae Sano adalah potensi pengrusakan ruang hidup warga, bukan sumber pendanaan proyek.

“Persoalan pokoknya adalah wilayah kerja panas bumi itu ada di dalam ruang hidup masyarakat,” ungkapnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini