Sebut Kini Proyek Geothermal Wae Sano Gunakan ‘UU Indonesia,’ Bukan ‘UU Bank Dunia,’ Pemkab Manggarai Barat ‘Paksa’ Warga untuk Terima 

Sosialisasi tentang peralihan pendanaan proyek geothermal tersebut diadakan di Kantor Desa Wae Sano pada 9 November.

Baca Juga

Floresa.co – Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur memaksa warga  Wae Sano menerima proyek geothermal di desa mereka, menyebut pemerintah akan menjalankan kewenangannya mengambil alih lahan, kendati warga menolak.

Hilarius Madin, Asisten I Bupati Manggarai Barat mengatakan pada Kamis, 9 November, terdapat perbedaan antara ‘Undang-undang Bank Dunia’ dan ‘Undang-undang Indonesia’ dalam proses perencanaan dan pengerjaan proyek itu.

Hal tersebut disampaikan Madin dalam kegiatan “sosialisasi status dan tindak lanjut proyek eksplorasi geothermal Wae Sano”, yang membahas perubahan pendanaan proyek tersebut dari sebelumnya oleh Bank Dunia ke pemerintah Indonesia.

Ia mengatakan Bank Dunia telah menyatakan mundur sebagai pendana proyek geothermal Wae Sano karena “ada masyarakat yang menolak” proyek tersebut.

Standar yang dipakai oleh Bank Dunia, kata dia, “aturannya begitu ketat”, satu [orang] saja yang tolak, tidak bisa [dilanjutkan]”.

“Tapi kalau proyek Indonesia, bapak ibu sekalian baca itu PP Nomor 19 tahun 2021,” ungkapnya.

PP Nomor 19 tahun 2021 berisi tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Skema baru pendanaan proyek tersebut, yang adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] yang dibebankan kepada negara.

“Negara pakai Undang-undang Indonesia, bukan lagi Undang-undang Bank Dunia“, ungkapnya.

Undang-undang tersebut, kata dia adalah Pasal 33 UUD 1945, di mana pemerintah dapat “mengambil alih” lahan warga dan membayar ganti rugi.

Ganti rugi lahan, katanya,  juga dapat dititipkan di pengadilan jika warga tidak sepakat dengan kebijakan tersebut.

“Dengan demikian, terhadap program ini [proyek geothermal], pada prinsipnya tetap dilaksanakan,” lanjutnya.

Setelah menjelaskan poin-poin tersebut, Madin menanyakan persetujuan warga yang hadir;

“Bagaimana bapak ibu sekalian, setuju?”

Menanggapi pertanyaan tersebut, sontak warga berteriak “tolak, tolak, kami tolak”.

“Kami warga Indonesia, kami NKRI, jangan beri tekanan kepada masyarakat,“ teriak seorang warga dari barisan belakang ruang pertemuan tersebut.

“Jangan pakai kuasa di sini, ini tekanan yang luar biasa,” timpal warga lainnya.

Beberapa warga lainnya ikut berteriak; “Hormati hak rakyat”.

Sosialisasi yang berlangsung di Kantor Desa Wae Sano tersebut menyusul surat undangan kepada warga yang dikeluarkan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi pada 25 Oktober.

Pantauan Floresa, puluhan warga yang menolak proyek geothermal tiba di tempat pertemuan pada pukul 09.00, waktu yang disampaikan Edi dalam surat undangan.

Tampak pula Kepala Desa Wae Sano, Mikael Pedo dan Pastor Paroki Nunang, Romo Yohanes Fredi Saldi.

Pada pukul 09.30, perwakilan Bank Dunia, tim Kementerian ESDM, tim Kementerian Keuangan dan PT SMI, tim PT Geo Dipa Energi, dan Tim Komite Bersama tiba di halaman kantor desa. 

Madin, bersama Camat Sano Nggoang Alfons Arfon juga berada dalam rombongan yang menggunakan lima mobil tersebut.

Bersamaan dengan itu, hadir pula beberapa orang anggota TNI dan polisi, baik yang mengenakan seragam maupun yang menggunakan pakaian bebas.

Mustika Deli, staf Kementerian ESDM mengatakan “selalu ada yang menerima dan menolak proyek panas bumi.”

Penolakan terhadap proyek panas bumi di beberapa tempat, kata dia, disebabkan karena “masyarakat tidak mengerti”.

Hal tersebut membuat seluruh ruangan riuh karena warga menampik pernyataannya.

Ia juga mengatakan, proyek geothermal membuat sebuah daerah bukan hanya terkenal secara nasional, tetapi juga “terkenal di dunia”.

Sementara itu, Idham Purnama dari PT Geo Dipa Energi mengatakan proses awal yang akan dilakukan perusahaan tersebut pada November dan Desember 2023 adalah administrasi “tutup buku dengan World Bank”.

“Proyeknya tetap berjalan, hanya uangnya saja yang berbeda tempat,” ungkapnya.

Proses administrasi kedua yang akan dilakukan akhir tahun ini, kata dia, adalah membuka lembaran buku baru dengan pendanaan dari pemerintah melalui PT SMI.

Selanjutnya pada awal 2024 adalah perbaikan jalan dari Langgo, Jalur Trans Flores sampai di tempat “di mana proyek akan dilaksanakan”.

Setelah perbaikan jalan, kata dia, proyek akan berlanjut ke titik-titik wellpad untuk mempersiapkan pengeboran.

“Kemungkinan pengeboran akan dilakukan di tahun 2025,” lanjutnya.

Sathosi, warga berkebangsaan Jepang yang mewakili Bank Dunia mengonfirmasi informasi berhentinya dukungan pendanaan proyek geothermal Wae Sano karena tidak sesuai dengan standar-standar yang dipakai lembaga tersebut.

“Kalau [proyek pemerintah Indonesia] dilakukan dengan baik, akan mendekati prinsip Bank Dunia”, ujarnya.

Regina Tin, perempuan Wae Sano yang menghadiri pertemuan tersebut mengatakan sikap warga tetap sama, yakni menolak proyek tersebut karena berpotensi merusak ruang hidup mereka.

“Sikap kami tidak berubah, yaitu sikap penolakan,” ungkapnya singkat di hadapan para wakil pemerintah dan perusahaan tersebut.

Sementara itu, Rofinus Rabun, warga lainnya yang ditemui setelah pertemuan mengatakan proses sosialisasi tersebut penuh dengan ancaman terhadap warga penolak.

“Hari ini saya merasa diancam. Kata-kata asisten bupati itu adalah ancaman kepada penolak proyek,” ungkapnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini