Floresa.co – “Sudah tiga bulan ini kami menunggu,” kata Viktor Frumentius.
Ia menceritakan kepada Floresa pada 4 Agustus kelanjutan pemenuhan hak ganti rugi tanah dan rumahnya yang digusur untuk proyek jalan strategis nasional dari Labuan Bajo ke wilayah di arah selatan, Golo Mori.
Ia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Kami pikir kalau persoalannya sudah ditangani oleh KSP [Kantor Staf Presiden], proses penyelesaiannya akan jelas dan cepat”.
Hingga kini, menurut perwakilan warga dari Kampung Cumbi dan Kenari, Desa Warloka, dan Kampung Nalis, Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo itu, persoalan ini belum menemukan titik terang.
Jalan yang diceritakan Viktor adalah bagian dari proyek strategis pariwisata nasional yang menghubungkan Labuan Bajo dengan kawasan bisnis Golo Mori. Jalan itu telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023 dan dipakai saat ASEAN Summit pada 9-11 Mei.
Tuntutan warga untuk mendapat ganti rugi itu ramai dibicarakan menjelang pertemuan para pemimpin negara-negara Asia Tenggara tersebut, di mana mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa. Namun, mereka kemudian mendapat beragam tekanan sehingga aksi itu batal.
Mereka juga didekati oleh sejumlah pihak, termasuk utusan dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, memberi mereka janji bahwa ganti rugi akan segera didapat, asal mereka ikut mendukung Konferensi Tingkat Tinggi [KTT] itu dan batalkan aksi.
“Dari tanggal 9 Mei sampai bulan Agustus ini sudah hampir genap tiga bulan, tetapi janji pemerintah belum pernah melayani tuntutan mengganti rugi hak warga,” ungkap Viktor.
Ia mengatakan, sejak ASEAN Summit berakhir, warga terus menunggu, berharap janji-janji yang mereka dapat tidak sekedar untuk meredam rencana aksi mereka.
“Sayangnya, janji-janji dari utusan pemerintah itu tidak bisa kami pegang, karena tidak punya bukti hukumnya. Mereka hanya bilang, setelah KTT akan direalisasikan.”
Dominikus Safio Bion, warga lainnya mengatakan, mereka memang pernah dipertemukan dengan KSP lewat Zoom – aplikasi komunikasi menggunakan video – yang mengklaim akan mengurus masalah tersebut.
“Kami bertemu melalui Zoom dengan KSP sekitar pertengahan bulan Mei lalu,” katanya.
Ia mengatakan, dalam pertemuan yang difasilitasi beberapa pengacara tersebut, pihak KSP menyatakan akan “menangani langsung” masalah yang dihadapi warga.
“Yang saya catat, [dari KSP] waktu itu namanya Pak Putra Tarigan dan Pak Sahat,” katanya, menyebut Abetnego Panca Putra Tarigan, Deputi II KSP dan Sahat Lumbanraja, Tenaga Ahli Deputi II KSP.
“Kami minta dari warga kelengkapan identitas tanah, luas lahan dan rumah yang tergusur, fotokopi KTP, dikumpulkan dan dikirimkan kepada kami,” ungkap Dominikus meniru kata-kata pihak KSP dalam pertemuan tersebut.
Ia mengatakan, setelah pertemuan tersebut warga langsung memenuhi permintaan untuk melengkapi dokumen-dokumen, di antaranya bukti pembayaran pajak tanah, KTP, hingga mengumpulkan “sertifikat bagi yang sudah memiliki itu dan surat perolehan tanah bagi yang belum bersertifikat.”
Data-data tersebut telah diserahkan secara langsung ke KSP.
Setelah pertemuan tersebut, kata dia, tidak ada lagi komunikasi langsung antara warga dan pihak KSP.
“Kami masih menunggu kejelasannya, entah seperti apa prosesnya, kami berharap hak-hak kami segera dipenuhi,” katanya.
Floresa belum mendapat penjelasan dari KSP. Permintaan penjelasan kepada Abetnego Tarigan melalui pesan WhatsApp tidak direspons.
Kronologi Kasus
Rumah dan lahan warga dari beberapa kampung di wilayah bagian selatan Labuan Bajo itu digusur saat pembangunan jalan sepanjang 25 kilometer menuju Golo Mori.
Jalan dengan row 23 meter tersebut, dibangun dengan anggaran 407,04 miliar rupiah oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], dengan kontraktor pelaksana perusahaan konstruksi BUMN Wijaya Karya (PT WIKA).
Sementara warga di kampung lain mendapat ganti rugi untuk lahan dan tanah yang digusur, seperti di Kampung Nanganae, namun warga lainnya tidak mendapatnya.
Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran dan tidak mendapat ganti rugi antara lain dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang. Aset tersebut adalah milik 51 keluarga yang mayoritas petani.
Warga telah menempuh berbagai cara memperjuangkan hak mereka, termasuk menemui Komisi Hukum dan HAM DPR RI pada 10 Mei 2022, juga mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan instansi terkait pada 21 Juni 2022.
Saat Presiden Jokowi ke Labuan Bajo pada 21 Juli 2022, warga berusaha menyampaikan langsung aspirasinya, meski kemudian dihadang aparat kepolisian. Spanduk-spanduk protes yang mereka siapkan pun direbut aparat keamanan.
Pada 5 Oktober 2022, warga menemui Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan DPRD Manggarai Barat; dan pada 24 Oktober 2022 menemui sejumlah pejabat di kabupaten, termasuk Asisten I Dinas Perhubungan, Hilarius Madin.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi, beberapa hari sebelum ASEAN Summit, warga sempat membuat pernyataan lewat video akan melakukan aksi unjuk rasa jika pemerintah tidak memenuhi tuntutan mereka.
Video pernyataan bersama warga itu, yang didampingi pegiat sosial Doni Parera dari lembaga Lintang Muda Mandiri (ILMU) menyebabkan mereka didekati oleh berbagai pihak, mulai dari, intel, sesama warga sipil, wartawan dan imam Katolik yang membawa pesan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, meminta membatalkan aksi.
Otoritas Gereja Keuskupan Ruteng juga sempat mengeluarkan sebuah surat imbauan yang dibacakan di semua gereja pada Minggu, 7 Mei, berisi ucapan terima kasih Uskup Siprianus kepada Presiden Jokowi yang telah membangun Labuan Bajo dan Flores sebagai “destinasi pariwisata super prioritas” dan memilih Labuan Bajo sebagai “tempat perhelatan akbar pimpinan negara-negara Asia Tenggara.”
Dia juga meminta umat Katolik untuk “menciptakan suasana yang sejuk, nyaman, dan penuh suka cita,” menyambut acara itu.
Pada 5 Mei, ketika warga menyerahkan surat pemberitahuan aksi, Doni Parera dan Ladis Jeharun, pegiat sosial pendamping warga lainnya dipanggil polisi.
Viktor dan Dominikus kemudian mendapat surat dari polisi pada Sabtu 6 Mei, sementara Doni Parera dan Ladis Jeharun, mendapat surat yang sama keesokan harinya.
Dalam surat keempatnya, rumusannya sama bahwa polisi “sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana ‘penghasutan’ yang akan terjadi pada tanggal 9 Mei 2023 di jalan raya yang akan dilintasi oleh peserta rombongan ASEAN Summit.”
Viktor dan Dominikus dipanggil untuk diperiksa pada Senin, 8 Mei, sementara Doni dan Ladis pada Selasa, 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit dan hari mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa sesuai surat pemberitahuan yang sudah diserahkan ke polisi.
Rencana aksi tersebut akhirnya batal setelah warga didatangi oleh polisi yang mengaku dari Mabes Polri dan Matheus Siagian, pengusaha hotel dan restoran di Labuan Bajo, di mana mereka dijanjikan akan dibantu untuk mendapat hak ganti rugi, asal mereka batalkan aksi.
Proses hukum keempat warga juga tidak ditindaklanjuti polisi, tanpa ada penjelasan.
“Kalau kamu tidak menggelar aksi maka kamu akan dapat ganti rugi, tetapi kalau kamu tetap gelar aksi, saya tidak bisa jamin,” kata Matheus kala itu.
Bersamaan dengan tekanan yang menguat kepada warga, beberapa pihak, termasuk jurnalis Floresa yang aktif melaporkan masalah ini mengalami serangan digital, di mana akun Telegram dan WhatsApp diretas, dan baru pulih usai ASEAN Summit.
Klaim Utusan Pemerintah
Floresa menghubungi Matheus Siagian pada 6 Agustus perihal realisasi janjinya kepada warga.
Ia mengklaim bahwa pemerintah pusat yang ia janjikan kepada warga adalah KSP dan sudah berupaya mempertemukan warga dengan perwakilan KSP untuk memproses penyelesaian kasus tersebut.
Ia mengatakan, pada Mei dia hendak memfasilitasi sebuah pertemuan secara langsung antara warga bersama pihak KSP.
“Bukan hanya siapkan Zoom [untuk pertemuan], tapi secara langsung. Ada orang [KSP] di sini [Labuan Bajo].”
Namun, kata dia, pertemuan langsung tersebut tidak jadi dilakukan karena dia tidak berhasil mengontak dan bertemu dengan warga.
Dimintai komentar perihal pernyataan Matheus, Viktor mengatakan, meski pertemuan langsung yang difasilitasi Matheus tidak jadi dilakukan, “Matheus tetap hadir dalam pertemuan Zoom” dengan KSP.
“Semuanya mengarahkan kami ke KSP, dan waktu zoom itu, dia [Matheus] juga sempat hadir dan ambil bagian untuk memberi apresiasi dan dukungan kepada kami,” ungkap Viktor.
Mempecundangi Rakyat
Doni Parera, yang selama ini mendamping kelompok warga ini mengatakan, sikap pemerintah yang membiarkan mereka menunggu lama merupakan tanda “mempecundangi rakyatnya sendiri.”
Ia mengatakan janji-janji yang diberikan kepada warga pada Mei lalu “hanyalah muslihat untuk meredam gejolak supaya tidak terjadi aksi demo” dan upaya untuk “sembunyikan kemunafikan di hadapan tamu negara-negara ASEAN.”
“Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dielu-elukan seperti dewa ini, rakyat kecil mesti berupaya keras, bahkan sampai memeras keringat darah untuk gapai hak-hak mereka yang dijamin undang-undang,” katanya merujuk pada UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan PP No. 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ia meminta pemerintah untuk menanggapi serius tuntutan warga.
“Kalau tidak, Jokowi yang jadi presiden karena didukung partai yang mengaku milik rakyat kecil [wong cilik] akan dikenang sebagai penindas oleh rakyat kecil,” katanya.