Batal Diperiksa, Status Empat Warga di Labuan Bajo yang Dituding Polisi Lakukan Penghasutan Menggantung

Sementara Polres Manggarai Barat tidak menjelaskan status mereka saat ini, Mabes Polri menyebut kasusnya tetap berjalan.

Baca Juga

Floresa.co – Status empat warga di Labuan Bajo yang dituding oleh polisi melakukan tindak pidana penghasutan karena merencanakan aksi unjuk rasa saat ASEAN Summit menggantung.

Polres Manggarai Barat belum memberikan keterangan terkait status mereka, sementara Mabes Polri menyebut kasusnya tetap berjalan.

Saat dikonfirmasi pada Rabu, 10 Mei, Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Ridwan, yang menandatangani surat pemanggilan terhadap empat warga tersebut, tidak mau memberikan penjelasan.

Ia mengarahkan Floresa untuk menanyakan langsung kepada Kapolres AKBP Ari Satmoko melalui bagian divisi hubungan masyarakat atau Humas.

“Tanyakan ke Humas nanti ya. Biar Humas tanyakan ke bapak Kapolres. Saya masih jaga di luar,” kata Ridwan.

Floresa sudah menghubungi pihak Humas Polres Manggarai Barat pada Kamis, 11 Mei, namun hingga kini belum ditanggapi.

Ini bukan kali pertama Ridwan tidak memberikan penjelasan terkait masalah ini. Ketika pada 7 Mei Floresa meminta penjelasan bentuk hasutan yang ditudingkan kepada keempat warga ini, ia juga hanya menjawab ‘sedang di luar.’

Dominikus Safio Bion dan Viktor Frumentius, warga Kampung Cumbi, Desa Warloka mendapat surat dari polisi pada Sabtu malam, 6 Mei. Sementara Doni Parera dan Ladis Jeharun, dua pegiat sosial, mendapat surat panggilan pada Minggu pagi, 7 Mei.

Dalam surat panggilan itu rumusannya sama bahwa polisi “sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana ‘penghasutan’ yang akan terjadi pada tanggal 9 Mei 2023 di jalan raya yang akan dilintasi oleh peserta rombongan ASEAN Summit.”

Mereka memang hendak berujuk rasa pada 9 Mei, menuntut ganti rugi atas rumah dan lahan yang digusur untuk pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori.

Dominikus dan Viktor seharusnya diperiksa pada 8 Mei, namun batal. Saat mereka baru saja menandatangani surat kuasa kepada tim hukum yang akan mendampingi dalam pemeriksaan itu, mereka tiba-tiba dijemput dengan mobil oleh beberapa polisi yang mengaku dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia [Mabes Polri].

Polisi itu tidak mau menjelaskan identitas lengkap mereka. Namun, dalam laporan Koran Tempo pada 10 Mei, disebutkan bahwa empat polisi yang berpakaian sipil itu adalah aggota Detasemen Khusus Anti Teror 88 [Densus 88]. Mereka dipimpin Iptu Dua Silvester Guntur, anggota Densus yang berasal dari Manggarai.

Doni dan Ladis juga tidak jadi diperiksa pada 9 Mei, sebagaimana dijadwalkan.

Rencana aksi pada 9 Mei memang kemudian batal, setelah warga dijanjikan bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi.

Dominikus mengatakan kepada Floresa bahwa utusan Mabes Polri itu memberikan jaminan bahwa mereka berempat tidak perlu memenuhi panggilan polisi karena dia “sudah menyelesaikan urusan tersebut” di Polres Manggarai Barat.

Namun, dalam laporan Koran Tempo pada 10 Mei, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Ahmad Ramadhan menyatakan, “laporannya masih berjalan.”

Pemanggilan warga ini mendapat sorotan dari masyarakat sipil, yang disebut  mengada-ada dan menunjukkan kegagalan polisi menjamin pemenuhan hak asasi manusia, terutama kebebasan berpendapat.

Muhammad Jamil dari Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] mengatakan, tudingan pengasutan kepada mereka menunjukkan “para penegak hukum kita terlihat sedang kehilangan akal sehat.”

Ia mempertanyakan “bagaimana mungkin suatu tindak pidana [yang] belum terjadi telah dilaporkan?”

Ia menyebut, langkah polisi ini menjadi potret upaya “sengaja menghilangkan hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum.”

Satrio Kusma Manggara dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] menambahkan, pidana penghasutan sesuai Pasal 160 KUHP adalah “tindak pidana materil, yang artinya harus ada akibatnya dahulu baru diproses.”

“Akibatnya apa? Kalau dicerna dari pasal itu, sebetulnya harusnya timbul kekacauan dahulu, baru boleh diproses pidana,” katanya.

Hal itu, kata dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009.

Namun, jelas Satrio, jangan-jangan persoalannya bukan pada teknis semata, yaitu kekeliruan memahami undang-undang, tetapi pada paradigma bahwa “segala bentuk penyampaian pendapat menodai bangsa ini” di mata dunia internasional.

Ia menjelaskan, polisi terkesan mencari-cari pasal yang bisa dipakai untuk menjerat warga.

Terkini