Floresa.co – Beberapa perempuan meneteskan air mata, menggelengkan kepala. Beberapa lainnya menarik napas panjang. Ada juga yang menunjukkan wajah geram.
Beragam ekspresi itu tampak saat Antonius Toni berbicara di Rumah Adat Gendang Tere, Poco Leok, Kabupaten Manggarai pada 7 Juli siang.
“Rumah kami digusur, saudara-saudara kami sudah ada yang dipenjara, lalu belasan warga sekarang dilaporkan dan sedang menghadapi proses hukum,” kata Toni yang mewakili Masyarakat Adat Nangahale, Kabupaten Sikka.
Ia bercerita di hadapan ratusan Masyarakat Adat dari berbagai wilayah di NTT yang siang itu hadir dalam dialog dengan Pelapor Khusus urusan Masyarakat Adat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Albert Kwokwo Barume.
Toni adalah satu dari sekian korban penggusuran dan kriminalisasi akibat konflik lahan menahun antara Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut dengan PT Krisrama, korporasi milik Keuskupan Maumere.
Selain rumah dan lahan yang digusur, konflik atas lahan seluas 868.730 hektare yang diambil dari warga adat selama penjajahan Belanda itu telah membawa 10 warga ke penjara. Kini belasan lain menghadapi proses hukum usai dilapor para pastor pimpinan PT Krisrama.

Bukan hanya cerita Toni yang hari itu memicu ekspresi sedih bercampur marah.
Elisabeth Lahus, perempuan paruh baya asal Poco Leok menceritakan pergulatannya saat berhadapan dengan polisi, TNI dan Satpol PP di lokasi proyek geothermal.
Aksi itu untuk mencegah pemasangan pilar yang mereka sebut sebagai perampasan tanah adat di lokasi proyek pengembangan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6.
“Kami menolak, tapi mereka tetap paksa. Kami pergi ke kantor bupati, tetapi malah kami dihadang dan dikejar,” kata Elisabeth.
Ia telah ikut dalam berbagai aksi protes terhadap proyek itu. Tercatat setidaknya 26 kali warga menghadang tim survei dari PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) yang mengerjakan proyek itu. Dalam beberapa aksi terjadi kekerasan fisik dan intimidasi.
Terbaru adalah pada 5 Juni saat aksi warga Poco Leok di Ruteng diadang massa tandingan di bawah pimpinan Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit.
Elisabeth juga mengisahkan pengalamanya dalam salah satu aksi “Jaga Kampung” pada Juni 2023.
Kala itu, ia memilih melepas bajunya sebagai bentuk protes. Tindakan itu merespons aparat yang menyentuh bagian tubuh sensitif beberapa perempuan yang ikut aksi.
Elisabeth bercerita dengan tangan bergetar, kalimatnya terbata-bata, berusaha menahan tangis.

Dari Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, Umbu Ndeha dan Umbu Pajaru Lombu mengungkap dampak ekspansi besar-besaran proyek perkebunan tebu oleh PT Muria Sumba Manis (PT MSM).
Perusahaan ini, katanya, telah menggusur paksa lahan milik Masyarakat Adat Umalulu dan Rindi seluas 7.879 hektare.
Lahan itu mencakup sawah, padang penggembalaan dan situs-situs adat yang menjadi ruang ritual kepercayaan leluhur.
“Pada 2016, pemerintah memberi izin lokasi seluas 52 ribu hektare kepada PT MSM, yang mencakup lima wilayah kecamatan. Setelah itu perusahaan mendekati masing-masing kecamatan, lalu ke tingkat pemerintah desa,” kata Umbu Ndeha.
Namun, proses perizinan itu berlangsung tanpa keterlibatan penuh masyarakat.
Izin HGU, menurutnya, dibungkus dalam bahasa legal yang sulit dipahami oleh para tetua kampung.
Sementara itu, perusahaan menawarkan uang sirih pinang sebagai ganti rugi, Rp1 juta untuk tanah yang subur dan Rp500 ribu untuk tanah berbatu.
“Imbalan yang terlalu kecil untuk kehidupan yang dicabut dari akar,” katanya, sementara “ladang kami menyusut, ritual kami terganggu, air kami dipagari bendungan.”
Selain itu, “di atas tanah kami, perusahaan membangun rumah-rumah yang bukan untuk kami.”
Protes masyarakat, kata dia, baru muncul secara terbuka setelah situs-situs adat mulai dirusak dan padang rumput yang biasa digunakan untuk penggembalaan ternak terdesak oleh perluasan kebun tebu.
“Hal itu memaksa orang menjual ternak-ternaknya,” lanjutnya.
Ia juga menambahkan bahwa petani kini hanya mendapat limpahan air dari bendungan milik perusahaan.
“Mereka juga melakukan pengeboran sumur di beberapa titik. Padahal, kebun tebu berada di atas (dataran tinggi) dan sawah kami di dataran rendah. Kami makin kesulitan mendapat air,” tuturnya.

Sementara Andreas Baha Ledjap menceritakan konflik akibat rencana proyek geotermal di kampungnya, Desa Atakore, Kabupaten Lembata.
Ia berkata, penolakannya bersama warga Atakore bukan hanya karena berupaya mempertahankan tanah.
”Ini tentang ritus dan sumber kehidupan kami yang dihancurkan tanpa izin dan tanpa peringatan,” katanya.
PT PLN yang mengerjakan proyek itu kini terus berusaha meloloskannya, sementara warga terus menyatakan perlawanan.
Sementara itu, Kristian Minggu, Masyarakat Adat Rendu yang terdampak proyek Bendungan Lambo di Kabupaten Nagekeo menceritakan konflik dalam pembangunan infrastruktur itu.
Bendungan Lambo adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Perpres Nomor 109 Tahun 2020.
Dibangun di atas lahan seluas 592 hektare, proyek itu diklaim akan membawa manfaat irigasi untuk 5.898,6 hektar sawah, penyediaan air baku sebesar 205 liter per detik, serta pengendalian banjir di wilayah hilir Kecamatan Aesesa.
Wilayah terdampak secara langsung mencakup tiga desa, yakni Rendubutowe (Kecamatan Aesesa Selatan), Labulewa (Kecamatan Aesesa) dan Ulupulu (Kecamatan Nangaroro).
“Kami terus melakukan protes, baik mama-mama, orang tua, para anak muda,” kata Marsel Sela, wakil lainnya dari Rendu.
Namun upaya itu membuat “polisi dan TNI terus mengintimidasi Masyarakat Adat yang melakukan protes.”
Pada 28 Oktober 2023, lebih dari dua puluh orang ditangkap dan dibawa ke kantor Polres Nagekeo.
“Mereka diintimidasi, dijemur di halaman kantor Polres Nagekeo, malamnya mereka tidur di aula Polres tanpa tikar,” kata Marsel.
Setelah beragam rentetan penyiksaan, “mereka dipaksa untuk membuat konferensi pers menerima (proyek) Waduk Lambo.”
Marsel menjelaskan, sebagai bentuk perlawanan, mereka kemudian membangun pos-pos penjagaan di setiap jalan memasuki kampung.
Kisah kriminalisasi lainnya menimpa Mikael Ane, Masyarakat Adat Desa Ngkiong Dora, Kabupaten Manggarai Timur dalam konflik agraria menahun di sekitar kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng.
Kawasan konservasi seluas 32.245,6 hektare itu membentang di 57 desa di sembilan kecamatan yang tercakup dalam wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.
Di Manggarai Timur, dua wilayah yang paling terdampak adalah Lembah Colol dan Ngkiong Dora—yang dikenal sebagai sentra produksi kopi.
Seperti masyarakat adat Manggarai pada umumnya, warga di kedua daerah tersebut memiliki sistem pembagian lahan tradisional bernama lingko, yang sudah diwariskan turun-temurun dan ditandai dengan metode lodok, neol, dan tobok.
Namun, sejak pemerintah menetapkan batas kawasan konservasi pada 1998, lahan ulayat Masyarakat Adat mengalami penyusutan signifikan. Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), penetapan ini mengabaikan klaim Masyarakat Adat dan memicu serangkaian konflik.
“Penangkapan saya yang pertama itu terjadi pada tanggal 8 September 2012. Petugas dari TWA datang bersama aparat. Ada dari TNI, Polri, dan pihak Dinas Kehutanan”, kisah Mikael.
Ia menjelaskan, penangkapan ini disertai penyitaan barang-barang pribadinya, termasuk uang Rp28.000.000.
Penangkapan kedua terjadi pada 27 Juli 2022.
“Saya dan istri saya sedang berada di rumah, duduk minum kopi di depan rumah. Lalu, tanpa penjelasan, mereka bilang mau menangkap saya.”
Penangkapan ketiga terjadi pada 28 Maret 2023. Selama 14 bulan Mikael berada di balik jeruji besi lembaga pemasyarakatan di ibu kota Kabupaten Manggarai.
Untuk kasus terakhir, ia divonis penjara satu tahun enam bulan oleh Pengadilan Negeri Ruteng pada September 2023, sebelum kemudian dibebaskan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi pada Mei 2024.
Ferdinandus Dance dari Golo Munde, Kecamatan Elar berkata, “ke depan, Manggarai Timur akan terus dihadapkan pada konflik-konflik soal hutan adat.”
“Hutan adat di sini tidak diakui keberadaannya oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT. Kantor BBKSDA sendiri adanya di Kupang, ibu kota provinsi, sementara di Manggarai Timur, mereka tidak punya kehadiran nyata,” katanya.
Ferdi mengenang peristiwa berdarah yang menimpa petani asal Colol pada 2004 akibat konflik lahan dengan TWA Ruteng.
Enam petani dari Colol tewas ditembak polisi saat unjuk rasa di Mapolres Manggarai kala itu saat mereka menuntut pembebasan tujuh petani yang ditangkap sehari sebelumnya karena dianggap merambah hutan negara.
Selain itu, 28 lainnya mengalami luka tembak. Tiga di antaranya menderita cacat permanen.

Bentuk Kolonialisme Baru
Erasmus Cahyadi, Deputi II Pengurus Besar AMAN yang ikut dalam pertemuan di Poco Leok berkata, dalam beberapa peristiwa di NTT saat di mana Masyarakat Adat menyuarakan penolakan atau melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan ruang hidup mereka, pola-pola represif kerap terjadi.
Pengerahan aparat “melahirkan kekerasan dan kriminalisasi,” katanya, menyebut hal itu sebagai “respons negara yang berlebihan.”
Menurut Erasmus, negara seharusnya merespons perlawanan dengan melakukan perubahan hukum.
Perubahan itu harus mengarah pada upaya “menjamin perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi Masyarakat Adat.”
“Di sisi lain, perilaku birokrasi termasuk aparat juga perlu berubah,” katanya kepada Floresa.

Sementara itu, Anton Yohanis “John” Bala, Anggota Dewan Nasional AMAN berkata, berbagai bentuk tekanan dan kriminalisasi Masyarakat Adat di NTT adalah wajah baru “dari negara yang melanjutkan cara-cara kolonial.”
John yang ikut mengadvokasi Masyarakat Adat Nangahale di Sikka dalam konflik dengan Keuskupan Maumere berkata, watak kekerasan dari zaman penjajahan berubah dalam bentuk mekanisme yang disponsori negara sembari menggunakan kekuatan aparat.
Kerja sama antara polisi, jaksa dan hakim, jelasnya, seringkali “membangun represi yang sistematis untuk menghalangi upaya-upaya Masyarakat Adat dalam mempertahankan hak-hak mereka.”
Albert Kwokwo Barume dari PBB merespons curhat Masyarakat Adat dengan berjanji kepada mereka untuk membawanya ke level internasional.
“Saya di sini untuk mendengar, mencatat dan menyuarakan apa yang Anda alami ke tingkat internasional,” katanya.

Ia berkata, sebagai Pelapor Khusus PBB, tugasnya adalah memperkuat suara Masyarakat Adat di ruang-ruang pengambilan kebijakan global.
Barume menyatakan bahwa seluruh laporan dan pengaduan yang ia terima akan ditelaah, dicatat secara rinci dan disusun dalam laporan resmi untuk disampaikan kepada negara melalui perwakilannya di Markas Besar Jenewa, Swiss.
Ia juga menekankan bahwa setiap laporan masyarakat memiliki nilai penting untuk mendorong akuntabilitas negara.
“Gunakan semua saluran yang tersedia. Jangan berhenti melaporkan,” ujarnya.
Ia menutup pertemuan dengan menegaskan bahwa keterlibatan langsung Masyarakat Adat dalam menyampaikan situasi mereka adalah hal yang krusial.
“Kami bisa bekerja lebih baik jika kami mendengar langsung dari Anda,” katanya.
Kedatangan Barume ke NTT pada 7 Juli adalah atas undangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kunjungan ini bersifat tidak resmi atau disebut kunjungan akademik.
Masyarakat Adat yang menemuinya berasal dari berbagai daerah di wilayah di NTT, mulai dari Pulau Timor, Sumba, Flores hingga Lembata.
Editor: Ryan Dagur