Penuh Haru, Kepulangan Warga Adat Ngkiong, Manggarai Timur yang Dibebaskan Mahkamah Agung 

14 bulan mendekam di lapas, Mikael Ane akhirnya kembali menjejakkan kaki di rumah adat

Floresa.co – Rumah di sisi kanan jalan kabupaten yang bergeronjal di sejumlah bagian dari arah sentra kopi Lembah Colol, Kabupaten Manggarai Timur itu berdinding batako.

Di situlah bermukim keluarga Mikael Ane, warga adat Ngkiong, Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur.

Mikael tinggal bersama istrinya dan Yosep Lensi, anak bungsu mereka. Bersama ketiganya, tinggal pula Hildagardis Urni Danse, istri Yosep dan kedua anak balita mereka.

Didampingi perwakilan Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN]—cabang hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], Mikael akhirnya kembali memasuki rumah adat Ngkiong pada 9 Mei, sebelum beberapa jam kemudian diantar ke rumahnya.

“Berangkat dari Lembaga Pemasyarakatan Ruteng, kami lebih dulu mengantar Bapa Mikael ke rumah adat untuk bertemu tetua di sana,” kata Ketua Badan Pengurus PPMAN, Syamsul Alam Agus kepada Floresa pada 11 Mei.

Di sana, “kami terharu menyaksikan tetua dan warga adat menyambut kepulangan Bapa Mikael,” katanya.

9 Mei menandai hari pertama Mikael kembali ke Ngkiong Dora, setelah lebih dari setahun tak menjejakkan kaki di kampung halaman.

Perkara Semi Permanen atau Permanen

Selama 14 bulan Mikael berada di balik jeruji besi lembaga pemasyarakatan di ibu kota Kabupaten Manggarai, atau sejak ditangkap pada 28 Maret 2023.

Ia divonis satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. 

Dalam putusannya, hakim Pengadilan Negeri Ruteng menyatakan ia bersalah lantaran membangun rumah di kawasan yang oleh pemerintah diklaim tercakup dalam Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.

Ia dibebaskan sesudah Mahkamah Agung [MA] mengabulkan permohonan kasasi PPMAN selaku pendamping hukum Mikael. Berkas perkara kasasi diajukan pada 4 Januari 2024.

Dalam amar putusan kasasi pada 6 Mei, MA memerintahkan agar satu unit rumah permanen berukuran 6×6 meter dan satu unit rumah semi permanen berukuran 3×5,5 meter dikembalikan kepada Mikael.

Bangunan berukuran 36 meter persegi itu merupakan rumah utama keluarga Mikael. Sedangkan struktur yang lebih kecil difungsikan sebagai dapur, terpisah dari rumah utama.

Manajer Litigasi PPMAN, Ermelina Singereta membubuhkan catatan soal definisi bangunan “semi permanen” dan “permanen” yang diperbolehkan dalam pembagian zona–penunjang, pemanfaatan, penelitian–TWA Ruteng.

Permanen atau tidaknya rumah Mikael turut diperkarakan dalam persidangan.

“Kita tak bisa dengan mudahnya mendefinisikan semi permanen dan permanen. Bagi warga adat di beberapa wilayah, rumah beratap rumbia barangkali dianggap rumah permanen mereka yang, oleh negara, justru didefinisikan sebagai rumah semi permanen,” katanya.

Soal pendirian rumah menjadi “kian rumit ketika keberadaan warga adat tak juga diakui negara melalui peraturan daerah,” kata Ermelina.

Sementara itu, Alam, sapaan Syamsul Alam Agus menyatakan “putusan final MA dalam kasus bapa Mikael meneguhkan masih maraknya persoalan kriminalisasi oleh negara terhadap warga adat.”

Permohonan kasasi merupakan upaya hukum yang diajukan kepada MA untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat banding atau putusan tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.

Bila permohonan kasasi dikabulkan, artinya MA mengadili sendiri dan akhirnya membatalkan putusan pengadilan tingkat banding tersebut.

Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, majelis hakim MA pada tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan lantaran beberapa alasan mendasar.

Tiga di antara sejumlah landasan alasan itu, antara lain (1) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, (2) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan (3) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

1. Ketua Badan Pengurus PPMAN, Syamsul Alam Agus (berkacamata) menjenguk Mikael Ane (berbaju biru) di Lapas Ruteng pada 18 Juli 2023. (PPMAN)

Menanti “Tiga Pilar” Terwujud

Kasus yang menimpa Mikael hanyalah satu dari sejumlah perkara serupa di sekitar tapal batas TWA Ruteng.

Sengketa menahun itu dipicu sempadan yang beberapa kali direvisi dan akhirnya mendekat ke perkebunan dan permukiman warga adat setempat.

Pada Desember 2012, lahir konsep “Tiga Pilar” yang, saat itu, diyakini sebagai cara terbaik guna menyelesaikan masalah sengketa sempadan di kawasan tersebut.

“Tiga Pilar” merupakan hasil dari serangkaian musyawarah adat [lonto leok] antara masyarakat adat, perwakilan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur dan perwakilan Gereja Katolik.

Dokumen tersebut pada intinya merumuskan dua jalan keluar dalam sengketa menahun di Lembah Colol.

Pertama, adanya blok khusus di lahan perkebunan warga yang tumpang-tindih dengan TWA Ruteng. Blok tersebut nantinya ditetapkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atas usulan BBKSDA NTT.

Proses tersebut diprediksi membutuhkan waktu setahun yang bermula sejak Januari 2013 atau sebulan pasca penandatanganan dokumen “Tiga Pilar.” 

Pada kenyataannya, penetapan blok khusus tak juga terlaksana hingga hari ini.

Kedua, semua lingko yang telah diambil alih dan dijadikan kawasan hutan oleh kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah RI sebaiknya dikeluarkan dari peta kawasan TWA Ruteng.

Sebaliknya, semua lingko tersebut selayaknya dikembalikan ke masyarakat adat Colol. Soal itu pun, belum ada kejelasannya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA