PPMAN: Perintah MA Pulihkan Hak dan Martabat Mikael Ane Pertegas Dia Korban Kriminalisasi oleh Negara

Sementara Mikael Ane telah bebas, tapal batas pasti antara Taman Wisata Alam Ruteng dengan tanah ulayat warga adar masih simpang siur

Floresa.co – Putusan Mahkamah Agung [MA] yang membebaskan Mikael Ane, warga adat di Kabupaten Manggarai Timur dalam konflik tapal batas dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Ruteng, menurut Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN], menunjukkan bahwa ia adalah korban kriminalisasi.

Apalagi, menurut Ketua Badan Pengurus PPMAN, Syamsul Alam Agus, dalam putusannya MA memerintahkan “pemulihan hak dan kedudukan, harkat dan martabat Mikael Ane.”

“[Ini] adalah penegasan atas kriminalisasi pada masyarakat adat yang mempertahankan dan mengelola wilayah adatnya sendiri,” kata Syamsul dalam pernyataan tertulis pada 10 Mei.

“Untuk itu MA memerintahkan negara untuk melakukan kewajibannya yang patut dan segera melakukan pemulihan,” tambahnya.

Dalam putusan pada 6 Mei, MA menyatakan Mikael, 57 tahun, warga adat Ngkiong di Desa Kiong Dora, Kecamatan Lamba Leda Timur tidak melakukan tindak pidana dan harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Ia sebelumnya divonis satu tahun enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Ruteng dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Kupang karena membangun rumah di lahan yang diklaim bagian dari Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.

Dalam putusannya, MA juga memerintahkan agar satu unit rumah permanen dengan ukuran 6 x 6 meter satu unit rumah semi permanen dengan ukuran 3 x 5,5 meter dikembalikan kepada Mikael. Dua bangunan itu sebelumnya dianggap berada di wilayah TWA Ruteng.

Beban perkara  pada seluruh tingkat pengadilan dan kasasi, kata MA, juga ada pada negara.

Syamsul berkata, putusan MA ini juga membuktikan bahwa dakwaan di tingkat judex factie menjadi instrumen kriminalisasi yang sengaja diterapkan secara salah atau melanggar hukum yang berlaku.

Mikael bukan baru pertama kali diseret ke meja hijau dalam konflik dengan TWA Ruteng. Pada 11 tahun lalu, ia juga divonis 1,2 tahun penjara lantaran menebang pohon berkayu dalam kawasan yang sama.

Menurut Syamsul, kasus yang menimpa Mikael membuktikan rentannya masyarakat adat dikriminalisasi oleh hukum negara.

Karena itu, penting untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang melindungi hak konstitusional masyarakat adat dari penyelenggara negara maupun dari korporasi, katanya.

RUU itu telah disulkan ke DPR pada 2012 dan telah masuk dalam program legislasi nasional, namun belum juga dibahas.

Konflik Tapal Batas dengan TWA Ruteng yang Belum Usai

TWA Ruteng, kawasan konservasi seluas 32.245,6 hektare, membentang hingga 57 desa di sembilan kecamatan yang tercakup dalam wilayah administratif dua kabupaten – Manggarai dan Manggarai Timur, yang terletak di sisi barat Pulau Flores.

Di Manggarai Timur, wilayah TWA Ruteng meliputi Lembah Colol dan Ngkiong Dora, keduanya sentra kopi utama di kabupaten tersebut. Ngkiong Dora berjarak 8,7 kilometer dari Lembah Colol.

Seperti umumnya masyarakat adat Manggarai Raya–mencakup Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur – warga Colol dan Ngkiong Dora juga memiliki sistem pembagian tanah yang disebut lingko.  Menggunakan tali dan kayu sebagai penentu batas antarkebun, penetapan lingko dilakukan dengan tiga mekanisme, yakni lodokneol dan tobok.

Warga ada di dua wilayah itu masih terus terlibat konflik terkait tapal batas tanah ulayat mereka dengan TWA Ruteng.

Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA] mencatat pemerintah menetapkan tapal batas TWA Ruteng pada 28 Oktober 1998.

Tapal batasnya “mempersempit lahan perkebunan warga adat” serta memicu serangkaian peristiwa yang melibatkan pemerintah dan masyarakat adat.

BRWA mencatat 25 kejadian pembakaran pondok peristirahatan dalam hutan, pencabutan anakan kopi di kebun garapan petani Ngkiong Dora oleh tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum KLHK] selama 2012-2016.

Kejadian itu termasuk pencabutan 525 bibit kopi Mikael, penyitaan barang-barang dan uang Rp28,5 juta dalam pondok serta vonis 1,2 tahun penjara terhadap dirinya.

Konflik agraria menahun di sekitar TWA Ruteng melewati masa terparah pada 10 Maret 2004, atau dalam peristiwa yang dikenal sebagai “Rabu Berdarah.”

Kala itu, petani Lembah Colol ditembak polisi saat demonstrasi di Polres Manggarai, menuntut pembebasan tujuh rekan mereka yang ditangkap pada sehari sebelumnya karena dianggap telah merambah kawasan hutan negara.

Enam petani meninggal dan 28 lainnya terluka. Dari nyaris 30 korban luka, sebanyak tiga di antaranya mengalami cacat seumur hidup.

Pada 2013, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Nusa Tenggara Timur  sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak, Gereja, Masyarakat Adat dan Pemerintah.

Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas.

Namun, hingga kini belum ada titik terang tentang masalah ini, di mana antara pemerintah dan masyarakat adat masih memiliki versi masing-masing tentang tapal batas antara lingko dan TWA Ruteng.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA