Floresa.co – Warga Racang Buka dari Kabupaten Manggarai Barat, NTT menyatakan akan meningkatkan eskalasi perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai penguasaan lahan oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] di kawasan Hutan Bowosie yang sedang dikembangkan untuk lokasi bisnis pariwisata.
Hal itu mereka sampaikan saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat [RDP] bersama Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin 14 November 2022.
Dalam pernyataannya, Stefanus Herson, perwakilan warga Racang Buka, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo itu menuntut pemerintah bertindak adil dalam konflik lahan di Hutan Bowosie. Demi solusi yang berkeadilan itu, mereka bertekad akan terus melakukan perlawanan.
“Kami akan meningkatkan kembali eskalasi perlawanan atas upaya pengelolaan oleh BPO-LBF,” tegasnya.
Stefanus hadir bersama empat warga Racang Buka lainnya, yang mewakili tujuh ratusan warga yang telah bertahun-tahun menguasai lahan seluas 150 hektar di kawasan itu, namun kini sudah berada di bawah penguasaan BPO-LBF. Di kawasan 150 hektar itu, terdapat pemukiman dan kebun masyarakat.
Dalam paparannya kepada Komisi II, ia meminta pemerintah memindahkan lokasi BPO-LBF ke tempat yang lain; bukan di lokasi yang sudah ditempati warga karena mereka telah menggantungkan hidup dan tempat tinggal di dalam kawasan tersebut.
“Ini merupakan langkah solusi,” kata Stefanus.
Promosi Investasi, Abaikan Konflik
Hutan Bowosie merupakan kawasan hutan alami yang membentang dari pinggir kota Labuan Bajo hingga kawasan Mbeliling yang oleh pemerintah diberi status sebagai hutan produksi.
Saat ini pemerintah melalui BPO-LBF sedang mengembangkan kawasan itu untuk bisnis pariwisata, dan telah menamainya “Parapuar,” istilah dari Bahasa Manggarai yang diartikan sebagai pintu gerbang hutan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Menparekraf] Sandiaga Salahuddin Uno, didampingi Direktur BPO-LBF, Shana Fatinah; Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf, Henky Hotma Parlindungan Manurung – yang kemudian meninggal dunia pada Minggu, 6 November – dan Menteri Kesehatan Singapura, Ong Ye Kung mengunjungi Parapuar pada 29 Oktober.
Saat itu Menteri Sandi mengatakan menargetkan total investasi 800 miliar di empat zona yang hendak dikembangkan.
Promosi bisnis pariwisata ini dilakukan sementara warga seperti Racang Buka, juga beberapa kelompok warga lainnya, masih terus mempersoalkan penguasaan kawasan itu oleh BPO-LBF.
Dari dari data yang dimiliki Floresa.co, selain warga Racang Buka, masih adalah kelompok warga lain yang juga ikut mengklaim sebagian dari kawasan itu, yakni di Lancang dan Nggorang. Baru-baru ini, kelompok Serikat Petani Indonesia [SPI] juga ikut mengklaim sekitar 700 hektar lahan di Hutan Bowosie.
Kelompok-kelompok ini sudah terus menyuarakan perlawanan.
Pada April lalu, ketika BPO-LBF memulai pembukaan jalan ke kawasan itu dengan penjagaan ketat oleh polisi dan tentara, puluhan warga Racang Buka sempat melakukan penghadang terhadap alat-alat berat. Namun, beberapa warga kemudian direpresi, termasuk salah satunya sempat ditahan.
Dalam sebuah wawancara dengan Floresa.co, Sisilia Jemana, Kepala Divisi Komunikasi Publik BPO-LBF mengatakan, pada prinsipnya mereka berpegang pada Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018, yang menetapkan lahan 400 hektar di dalam kewenangan mereka
“Jadi, bukan kami yang menentukan bahwa Bowosie itu kami [yang] akan bangun. Tidak! Kami sudah diamanatkan,” katanya.
Sejarah Penguasaan oleh Warga Racang Buka
Stefanus menyampaikan dalam RPDP di Komisi II bahwa penguasaan lahan di Bowosie oleh warga Racang Buka terjadi sejak tahun 1999, sesaat setelah runtuhnya Orde Baru.
Di bawah tekanan krisis ekonomi kala itu, warga yang membutuhkan tanah melakukan penguasaan atas kawasan yang pada masa Orde Baru dijadikan sebagai hutan lindung dan tanah negara.
Krisis pada 1998, kata Stefanus, memunculkan gelombang pemutusan hubungan kerja massal dan banyak warga Racang Buka yang merantau memilih pulang kampung.
“Itulah sebabnya pada tahun 1999 kami masuk dalam kawasan itu,” ujar Stefanus.
Setelah itu, kata dia, terjadi penertiban oleh pemerintah dan mereka dinyatakan sebagai perambah hutan.
Seiring perkembangan waktu, lanjut Stefanus, ketika tahun 2003 Kabupaten Manggarai Barat terbentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Manggarai, Fidelis Pranda, bupati kala itu meneruskan usulan masyarakat agar lahan yang sudah ditetapkan jadi hutan lindung itu menjadi hutan produksi.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, jelasnya, melakukan peninjauan tata ruang hutan. Upaya mereka telah dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016.
Namu, kata Stefanus, hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain (APL).
Bagian lain dari lahan yang mereka mohonkan itu kemudian masuk ke dalam wilayah yang dikelola BPO-LBF ketika pada 2018 terbit Peraturan Presiden Nomor 32.
“Mulai saat itu hingga sekarang ini, [terjadi] upaya-upaya intimidasi melalui kriminalisasi hukum dan adu domba sesama masyarakat oleh mereka,” kata Stefanus.
Dewan akan Bentuk Panja
RDP ini dihadiri sejumlah anggota Komisi II DPR- RI, baik secara langsung maupun virtual.
Turut hadir bersama warga Racang Buka adalah sembilan kelompok masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia yang juga mengalami konflik pertanahan, baik dengan institusi pemerintah maupun dengan pihak swasta.
Kesembilan organisasi itu adalah Koperasi Produsen Masyarakat Adat Buay Mencurung-Lampung, Masyarakat Kampung Adat Tomang-Jakarta Barat, Forum Petani Sejahtera Indonesia, Masyarakat Amal Bersatu, Masyarakat Adat Pasaman Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Maluku Tengah, Lembaga Investigasi dan Pengawasan Aset Negara Republik Indonesia Forum Korban Mafia Tanah Indonesia, dan Forum Kaum Tani Lautci-Deli Serdang-Sumut.
Menanggapi laporan dari kelompok-kelompok ini, Komisi II DPR-RI menyatakan akan segera membentuk Panitia Kerja atau Panja.
“Setidaknya ada 15 persoalan yang sudah disampaikan ke Komisi II. Kami akan tindak lanjuti secara khusus … melalui Panja,” kata Syamsurizal, pimpinan rapat saat membacakan kesimpulan.
Ia pun meminta perwakilan warga dan kelompok melengkapi data-data.
“Kalau sudah lengkap, kami akan dengan mudah memanggil pihak terkait, seperti Menteri BPN [Badan Pertanahan Nasional] dan pihak Kementerian Kehutanan. Semoga upaya yang dilakukan dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan pertanahan di Tanah Air,” katanya.
Sementara itu Komarudin Watubun, anggota DPR dari Fraksi PDIP berjanjimemfasilitasi konfrontasi antara kementerian dengan pihak-pihak yang bersengketa supaya persoalannya selesai dengan jelas.
“Kita segera panggil Menteri Pertanahan. Karena itu menterinya jenderal, mestinya ada ketegasan, jangan sampai sama saja dari waktu ke waktu,” katanya.
Sementara Yanuar Prihatin, Wakil Ketua Komisi II, berjanji akan memanggil mitra-mitra komisi Komisi II yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pertanahan di berbagai daerah di Indonesia.
“Kita akan cek langsung, kita tanya langsung,” katanya.
“Karena ini sudah berlarut-larut, sudah lama problem ini, dan hanya sedikit skenario yang bisa melegakan semua orang,” tambahnya.
Negara Gusur Warga “Dengan Cara Mafia”
Yanuar secara khusus menyoroti kasus warga Racang Buka, yang menurutnya masalahnya “bukan dengan tetangga atau keluarga, tetapi justru dengan negara.”
“Makanya, saya inventaris problemnya. Yang pertama dengan BPN, kedua Kemendagri, dan KLHK. Misalnya, di Mangarai Barat, NTT dengan Pengadilan Negeri. Pengadilan ini termasuk institusi penegak hukum, tapi ada dalam bagian persoalan tanah, bahkan dengan balai lelang, termasuk Pemda terkait, badan otorita BUMN, dan seterusnya,” katanya.
Sementara BPO-LBF fokus dengan agenda bisnisnya, Stefanus Herson mengatakan di hadapan Komisi II DPR bahwa penentuan lokasi bisnis pariwisata BPO-LBF yang tumpang tindih dengan lahan yang mereka tempati adalah kebijakan otoriter.
“[Ini] menunjukkan negara mau menggusur warganya dengan cara mafia,” katanya.