Dinilai Lakukan Pembohongan Publik, Warga Poco Leok Adukan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Anggota Ombudsman Endi Jaweng

Endi mengunjungi Poco Leok pada September bersama Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton tanpa sepengetahuan institusi dan membuat pembohongan publik, kata warga

Floresa.co – Perwakilan warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai menyampaikan pengaduan ke Ombudsman RI terkait dugaan pelanggaran kode etik salah satu petinggi lembaga negara itu, Robert Na Endi Jaweng, karena mengambil langkah tanpa sepengetahuan institusi dan dinilai melakukan kegaduhan dan pembohongan publik.

Pengaduan itu diajukan oleh Kristianus ‘Tino’ Jaret, salah satu warga Poco Leok pada 18 Desember lewat sebuah surat resmi.

Dalam surat tersebut yang salinannya diperoleh Floresa, Tino melaporkan Endi ke Dewan Etik Ombudsman.

Ia menyatakan Endi, anggota Ombudsman yang berasal dari Manggarai, sebagai “salah seorang yang diduga melakukan kegaduhan” dalam polemik proyek geotermal Poco Leok yang dikerjakan oleh BUMN, PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN.

Hadir Tanpa Sepengetahuan Institusi

Pengaduan itu terkait kehadiran Endi yang didampingi Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi NTT, Darius Beda Daton di Poco Leok pada 9 September 2024.

Tino menyatakan Endi telah melakukan “pembohongan publik”, sebab di hadapan warga saat itu ia mengaku hadir sebagai perwakilan resmi Ombudsman.

Padahal, katanya, hal itu tidak diketahui institusi Ombudsman.

“Robert Na Endi Jaweng datang ke Poco Leok tidak dalam rangka melaksanakan agenda kelembagaan atau agenda kerja Ombudsman RI,” tulis Tino yang berasal dari Kampung Adat atau Gendang Tere, Poco Leok.

Pernyataan Tino merujuk pada pengakuan Johanes Widijantoro, salah satu anggota Ombudsman dalam audiensi bersama Koalisi Advokasi Poco Leok pada 8 Oktober.

Dalam pertemuan itu, kata Tino, Johanes menyebut Ombudsman “belum ada agenda berkaitan dengan polemik yang terjadi di Poco Leok.”

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, kata Tino, Darius Beda Daton yang hadir melalui platform pertemuan Zoom dari Kupang mengaku ia hadir di Poco Leok “hanya sekadar mendampingi komisioner dari pusat sebagai atasannya.”

Pelintir Suara Warga dalam Pernyataan di Media

Dalam kunjungan itu Endi dan Darius mengadakan pertemuan dengan warga dari 14 gendang di dua titik, yakni Gendang Lungar dan Gendang Nderu, kata Tino.

Menurut kesaksian warga, lanjut Tino, keduanya mengaku hadir sebagai perwakilan Ombudsman “untuk mendengarkan pendapat warga Poco Leok” terkait polemik proyek geotermal di wilayah itu.

Karena itu, warga yang hadir menyampaikan keluhan-keluhan mereka terkait langkah PT PLN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, seperti pendekatan kepada warga “dengan cara yang tidak jujur.”

Selain itu, di Gendang Nderu warga melaporkan pengerahan aparat keamanan yang melakukan kekerasan fisik.

Warga dari belasan kampung adat tersebut juga menyatakan sikap penolakan secara tegas terhadap proyek tersebut di hadapan Endi dan Darius.

“Dalam dua pertemuan pada dua lokasi [Gendang Lungar dan Gendang Nderu], tidak ada seorang pun dari warga yang hadir yang menyatakan terima atau mendukung proyek tambang panas bumi itu untuk dikembangkan di wilayah Poco Leok,” klaim Tino.

Namun, lanjutnya, beberapa hari pasca kunjungan ke Poco Leok, Endi menyatakan dalam sebuah berita media online bahwa tahapan pengadaan lahan dalam proyek itu, seperti untuk titik pengeboran atau wellpad D, E, F dan G “telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.”

Sementara Darius, yang berbicara kepada media Swarantt.net menyatakan, 39 kepala keluarga di Poco Leok menolak menyerahkan lahannya untuk proyek geotermal, sedangkan 409 kepala keluarga memberi persetujuan.

“Lahan tersebut tersebar di 19 gendang adat di Poco Leok dengan jumlah KK pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan sebanyak 409 KK. 39 KK di antaranya menyatakan penolakan,” kata Darius.

Menurut Swarantt.net, pernyataan Darius itu disampaikan saat kunjungan di kantor PLN Unit Pelaksana Proyek [UPP] Nusa Tenggara II di Labuan Bajo pada 13 September.

Dalam pengaduannya ke Ombudsman, Tino mengatakan pernyataan Darius merupakan “pembohongan publik” karena ia mengklaim terdapat 19 Gendang di Poco Leok, sementara “kenyataannya di Poco Leok hanya ada 14 Gendang.”

Hal lain yang disoroti Tino dalam pengaduan tersebut adalah langkah Endi dan Darius yang melakukan jajak pendapat terkait penerimaan dan penolakan proyek geotermal Poco Leok kepada warga Desa Wewo, hal yang berpotensi “memperluas polarisasi dan konflik horizontal.”

Jajak pendapat itu diakui Darius dalam audiensi dengan Koalisi Advokasi Poco Leok pada 8 Oktober.

Darius menyatakan, ia mendampingi Endi menemui warga Desa Wewo untuk menanyai pendapat mereka terkait pro kontra proyek geotermal Poco Leok, yang merupakan pengembangan PLTP Ulumbu.

Padahal, kata Tino, “Desa Wewo adalah desa yang berada di luar wilayah Poco Leok.”

“Di wilayah Poco Leok hanya ada tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas,” tulis Tino.

Profil Robert Na Endi Jaweng di situs resmi Ombudsman RI. (Situs Ombudsman RI)

Dugaan Pelanggaran Kode Etik

Tino pun menilai tindakan Endi diduga bentuk “pelanggaran kode etik.”

Kode Etik dan Perilaku Ombudsman diatur dalam Peraturan No. 40 tahun 2019.

Menurut Tino, Endi diduga melanggar pasal 5 sampai 10 dalam peraturan itu, yang menetapkan hal-hal yang mesti ditaati dan yang dilarang terhadap anggota Ombudsman.

Dari salinan peraturan itu yang dicek Floresa, pasal 6 mengatur soal integritas [kejujuran, keteladanan, komitmen], profesional [obyektif, independen, kompeten, melayani] dan adil [kesetaraan dan proporsional].

Sementara dalam pasal 7, sejumlah hal yang dilarang termasuk “membuat dan menyebarluaskan berita bohong kepada orang lain.” 

Larangan lain adalah “menyalahgunakan nama baik, tugas, dan wewenang Ombudsman untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau golongannya.”

Pasal 9 juga melarang anggota Ombudsman “memberikan komentar apapun, terkait permasalahan pelayanan publik yang berpotensi akan dilaporkan atau sedang ditangani oleh Ombudsman, kecuali demi kepentingan umum.” 

Pasal itu juga melarang anggota Ombudsman “menjalin hubungan dengan instansi/lembaga atau kelompok lain yang patut diduga dapat mengganggu kemandirian/independensi lembaga.”

Sementara pada pasal 10, anggota dilarang “bersikap, bertingkah laku, atau melakukan tindakan yang mengatasnamakan Ombudsman untuk kepentingan pribadi dan golongan.”

Berbicara kepada Floresa pada 19 Desember, Tino berkata, ia memutuskan mengirim surat pengaduan kepada Ombudsman karena menganggap Endi “diduga melanggar etik sebagai insan Ombudsman dan mencelakai perjuangan kami masyarakat adat Poco Leok dalam mempertahankan ruang hidup.”

Ia menilai Endi dan Darius “tidak jujur” kepada warga ketika berkunjung ke Poco Leok, “mengakui diri mereka sebagai perwakilan Ombudsman” tetapi “ternyata kedatangan mereka ke Poco Leok itu bukan agenda dari Ombudsman RI.”

Ia juga menyesalkan langkah Endi dan Darius yang tidak menunjukkan marwah lembaga Ombudsman sebagai “pengawas pelayanan publik.”

“Bagaimana masyarakat bisa menaruh rasa percaya terhadap lembaga pengawas ini, sementara salah seorang komisionernya saja tidak terawasi,” katanya.

Sementara itu, Agustinus Sukarno, kaum muda dari Poco Leok berkata, ia mengingat persis kunjungan Endi ke wilayah itu.

“Dia datang bersama isterinya, juga Darius dari Kupang dan seorang asisten perempuan,” katanya pada 19 Desember.

Sukarno berkata, saat bertemu warga di Gendang Lungar dan Nderu, Endi menyatakan pihaknya datang menemui warga secara langsung untuk mendengarkan pendapat mereka terkait proyek geotermal.

“Waktu itu dia bilang, pemerintah sekarang, khususnya di Indonesia bagian timur, lebih menonjolkan pendekatan kekuasaan ketimbang dialog dengan warga,” kata Sukarno.

Selain itu, jelasnya, Endi memperkenalkan “Ombudsman adalah lembaga yang mewakili rakyat jika berhadapan dengan pemerintah.”

“Dia juga sempat bilang, seharusnya pihak Gereja memilih berpihak pada warga sebagai korban,” kata Sukarno yang mengklaim masih menyimpan semua rekaman pembicaraan Endi saat bertemu warga.

Floresa telah menghubungi Endi dan Darius pada 19 Desember, meminta respons dan penjelasan keduanya terkait isi pengaduan warga.

Sejak dihubungi pertama kali pada pukul 12.51, Endi tak merespons, termasuk saat jurnalis mengirimkan beberapa pertanyaan pada pukul 14.51. 

Floresa kembali menghubunginya pada pukul 17.05. Namun pesan Whatsapp tak diresponsnya meski sudah bercentang dua, tanda sudah sampai kepadanya.

Sementara Darius merespons pertanyaan Floresa dengan bertanya balik: “kegaduhan yang dimaksud dalam bentuk apa ya?” sembari meminta salinan surat pengaduan yang dimaksud.

Darius juga mengaku “pernah bersama-sama melakukan kunjungan ke Poco Leok” bersama Endi.

Usai dikirimkan beberapa pertanyaan pada pukul 14.47, ia kembali merespons pada pukul 17.45, mengatakan dirinya akan mengecek surat pengaduan warga di kantor pusat Ombudsman RI.

“Akan saya sampaikan kemudian,” katanya singkat.

Robert Na Endi Jaweng bersama isterinya dan Darius Beda Daton serta seorang staf perempuan saat bertemu warga di Rumah Adat Nderu, Desa Lungar pada 9 September 2024. (Dokumentasi warga Poco Leok)

Adukan Penyimpangan Prosedur

Selain mengadukan Endi, pada 18 September, Tino, yang didampingi Koalisi Advokasi Poco Leok juga membawa sejumlah dokumen yang diminta Ombudsman soal pengaduan terhadap proyek itu.

Sebelumnya, pada 22 November, Ombudsman meminta Tino melengkapi dokumen untuk pengaduan yang mereka sampaikan pada 8 Oktober. 

Dalam pengaduan soal proyek, Tino mempersoalkan langkah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai yang dinilai melakukan penyimpangan prosedur.

Koalisi Advokasi Poco Leok terdiri dari perwakilan warga Poco Leok bersama sejumlah lembaga advokasi dan lembaga berbasis Gereja Katolik. Koalisi juga telah mengadukan masalah ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari proyek strategis nasional yang menargetkan penambahan kapasitas PLTP Ulumbu hingga 40 MW.

Warga telah menempuh berbagai cara untuk menyatakan penolakan karena titik-titik pengeboran yang dekat dengan pemukiman dan lahan mereka.

Mereka telah bersurat kepada lembaga-lembaga negara dan kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek. 

Upaya lainnya adalah demonstrasi dan aksi pengadangan terus-menerus terhadap pemerintah dan PT PLN di lokasi.

Tim Independen yang diutus Bank KfW juga telah melaporkan temuan lapangannya terkait proyek tersebut. 

Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional. 

Standar-standar itu termasuk menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna serta perlindungan hak warga atas tanah.

Karena itu, tim tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut.

Polemik proyek ini juga diwarnai kekerasan. Dalam insiden terakhir pada 2 Oktober, beberapa warga, termasuk Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut dianiaya oleh aparat kepolisian. Kasus ini sedang ditangani oleh Polda NTT, baik terkait tindak pidana maupun pelanggaran etik.

Editor: Anastasia Ika

Catatan Redaksi: Floresa telah merilis laporan yang berisi klarifikasi Robert Na Endi Jaweng pada 21 Desember 2024. Laporan tersebut bisa dibaca di sini: Anggota Ombudsman Endi Jaweng Tanggapi Pengaduan Warga Poco Leok, Sebut Kunjungannya Mewakili Institusi dan untuk Mendengar Semua Pihak

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA