Gelar Unjuk Rasa, Warga Poco Leok Tuntut Bupati Manggarai Cabut SK Penetapan Lokasi Proyek Geothermal

SK itu diterbitkan bupati 1 Desember 2022, yang warga anggap tanpa sepengetahuan mereka. 

Floresa.co – Warga adat Poco Leok mengadakan aksi demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT pada Rabu, 9 Agustus, menuntut Bupati Heribertus G. Nabit mencabut surat keputusan terkait izin lokasi yang menjadi dasar bagi aktivitas proyek geothermal di wilayah mereka.

Pantauan Floresa, warga dari 10 Gendang atau kampung adat, yang serempak mengenakan pakaian adat Manggarai, tiba di Ruteng pukul 10.30 Wita dan langsung menuju titik kumpul aksi di pertigaan samping Gereja Katedral Maria Assumpta Ruteng.

Mereka menggunakan tujuh unit bus kayu dan dua unit mobil pick up.

Pegiat sosial dari beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI], Front Mahasiswa Nasional [FMN], dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria [AGRA] juga ikut bergabung bersama warga.

Dari Gereja Katedral, dengan pengawalan ketat aparat keamanan, mereka berjalan kaki menuju Kantor DPRD Manggarai di Jalan Diponegoro.

Sepanjang jalan, mereka membacakan pernyataan sikap dari atas mobil komando, membentangkan spanduk, serta menyanyikan yel-yel tolak geothermal.

Kaum perempuan juga menyanyikan lagu bahasa Manggarai “Poco Leok Tana Ge, [Poco Leok Tanahku’sambil memegang spanduk bertuliskan pernyatan sikap.

Dibuat dari papan kayu dan karung bekas, spanduk-spanduk itu berisi tulisan “Cabut Keputusan Menteri ESDM Tahun 2017 Tentang Penetapan Flores Sebagai Pulau Geothermal”, “Hentikan Proyek Geothermal Poco Leok oleh Bank KFW-Jerman”, “Hentikan Upaya Sertifikasi Atas Tanah-Tanah Lingko di Wilayah Poco Leok Oleh Pihak ATR/BPN”, serta “Hentikan Intimidasi dan Politik Pecah Belah Oleh Pemerintah dan PT PLN UIP Nusra di Poco Leok.” 

Spanduk lainnya bertulis, “Poco Leok Is Not For Sale” dan “Kami Hidup dengan Olah Tanah, Bukan Jual Tanah.”

Salah seorang warga membawa spanduk bertulis permintaan agar Bank KfW asal Jerman yang mendanai proyek gerothermal Poco Leok menghentikan pendanaan. (Dokumen Floresa)

Pada spanduk dengan ukuran terbesar tertulis, “Cabut SK Bupati Tentang Penetapan WKP Ulumbu yang Menghina Hukum Masyarakat Adat Poco Leok”.

Saat tiba di depan Kantor DPRD, massa aksi berhenti, meminta para pimpinan dan anggota dewan menemui mereka. 

Selain orasi dari kaum muda, wakil Tua Adat dari 10 Gendang juga menyampaikan pernyataan sikap dari atas mobil komando.

“Hari ini kami kembali untuk menanyakan pertanggungjawaban DPRD Manggarai selaku perwakilan dari masyarakat yang duduk di parlemen,” ungkap Loin Lasa, Ketua PMKRI Ruteng dari atas mobil komando.

Erwin Gunawan, pemuda asal Gendang Mori mengatakan, warga hendak menemui DPRD Manggarai untuk mendesak Bupati mencabut SK penetapan lokasi proyek itu.

Mose dami sili Poco Leok toe one mai geothermal, tapi onemai tanah, ibu kandung [Hidup kami warga Poco Leok, bukan dari geothermal, tetapi dari tanah, ibu kandung kami],” kata Agus Tuju, warga Gendang Nderu.

Daniel Adur dari Gendang Mocok menegaskan telah terjadi “perampasan hak atas tanah”, “perampasan hak budaya uma peang, gendang’n one [kesatuan antara rumah adat dan tanah ulayat]”, “tindakan kekerasan aparat negara”, dan “martabat manusia yang tidak lagi dihormati”.

“Kami minta Bupati Manggarai cabut SK Penetapan Lokasi PLTP Ulumbu di Poco Leok karena kami sebagai warga tidak mengetahui penerbitan SK itu,” ungkap Tadeus Sukardin, warga Gendang Lungar.

Tegi dami Ema Bupati, Kapolres, PLN, neka koe manga pande politik pecah belah masyarakat Poco Leok [Permintaan kami kepada Bupati, Kapolres, dan PT PLN, jangan membuat praktik politik pecah belah di tengah masyarakat Poco Leok],” ungkap Mikael Janggut, wakil warga Gendang Mori.

Sementara itu, Joniardus Junar dari Gendang Tere mengatakan “jabatan bupati dan presiden bisa hilang, tetapi Tua Gendang tidak akan hilang,” Ia menyampaikan hal itu sebagai protes atas aktivitas pemerintah dan perusahaan di lahan ulayat tanpa sepengetahuan komunitas masyarakat adat pemilik ulayat.

Setelah wakil warga dari 10 Gendang berorasi, Simprosa Rianasari Gandut, Wakil Ketua DPRD Manggarai menemui mereka.

Ia mengatakan dari atas mobil komando aksi bahwa pada  7 Agustus DPRD Manggarai memang telah menerima surat resmi dari Aliansi Persatuan Masyarakat Adat Poco Leok “meminta pengajuan rapat dengar pendapat.”

Namun, kata dia, DPRD sudah membalas surat warga yang menyatakan belum bisa mengalokasikan waktu karena sedang membahas Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara Tahun Anggaran 2024.

“Rapat dengar pendapat tetap akan dilakukan setelah koordinasi dan konfirmasi lebih lanjut,” ungkapnya yang disambut teriakan warga.

Permintaan warga untuk mengantar mereka ke hadapan Bupati Hery Nabit juga ditolak oleh anggota dewan dari Partai Golkar itu.

Sementara itu, seorang anggota polisi yang mengaku “mengatur aksi” tampak memaksa warga untuk segera bergerak dari depan Gedung DPRD menuju kantor bupati.

Floresa sempat mendengarnya berdebat dengan seorang koordinator lapangan, di mana dia berujar membentak; “Saya gas kau nanti.”

Tatap Muka di Kantor Bupati

Pada pukul 12.00 warga bertolak menuju Kantor Bupati Manggarai di Jalan Motang Rua. 

Di tengah jalan, dari atas mobil komando, Maria Suryanti Jun, perempuan asal Gendang Mocok mengatakan, Bupati Manggarai mengeluarkan SK Penetapan Lokasi “untuk merusak bumi Poco Leok, merusak kebun yang menghasilkan makanan pokok kami siang dan malam.”

Tiba di depan gerbang kantor tersebut, warga kembali meneriakkan berulang-ulang “Tolak Geothermal” dan meminta bupati menemui mereka. Warga juga menggelar beberapa hasil bumi, seperti kopi, ubi talas, ubi jalar, jahe, dan kemiri.

Ibu-ibu Poco Leok menggelar hasil bumi di depan kantor bupati. (Dokumentasi Floresa)

“Kami hadir untuk mempertahankan tanah Poco Leok yang subur, yang seratus persen warganya adalah petani sejak era nenek moyang kami,” ungkap Masyudi Onggal, pemudaasal Gendang Lungar di hadapan barisan polisi yang menjaga ketat gerbang kantor tersebut.

Setelah menunggu sekitar 30 menit, seratus orang warga diminta masuk ke aula bupati, bertemu dengan Wakil Bupati Heribertus Ngabut karena Bupati Nabit sedang bertugas di Jakarta.

Perwakilan warga kemudian menunggu kehadiran Ngabut selama lebih dari 30 menit, hal yang memicu perdebatan beberapa kaum muda dengan salah seorang anggota SatPol PP, Otwin Wisang.

Fansialdus Jahang, Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai yang membuka pertemuan tersebut mengatakan terima kasih kepada warga yang sudah menyediakan waktu bertemu dengan pimpinan daerah tersebut.

Hadir juga di ruangan tersebut Kepala Kesbangpol Manggarai Gondolpus B. Nggarang, Camat Satar Mese Dami Arjo, dan beberapa pegawai daerah.

Ngabut mengatakan kepada warga bahwa ia sudah mencatat tujuh kecemasan mereka yang ia dapatkan dari berita media.

Ia menyebut antara lain kebocoran pipa gas, perubahan kualitas kesuburan tanah, pencemaran udara dan air yang menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA], takut terjadi seperti kasus luapan lumpur di Lapindo, Jawa Timur, kerusakan rumah, pendukung proyek geothermal yang tinggal di luar Poco Leok, dan perubahan pada tatanan budaya masyarakat.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah dari bupati hingga presiden berpikir sama bahwa ini adalah proyek strategis nasional, yang seharusnya didukung oleh masyarakat “supaya Indonesia terang akan terjadi.”

“Salah satu taruhannya adalah Poco Leok,” katanya.

Ia juga mengatakan tidak bisa memberi jawaban terhadap kecemasan-kecemasan warga karena “tidak siap”, “bukan orang teknis.”

“Karena itu saya mau tanya, Pak Kepala Kesbangpol, mana itu orang PLN? Pak Camat, sudah koordinasi kan? Mereka dimana?” tanya Heri kepada Gondolpus dan Dami Arjo.

Mendengar bahwa pihak PT PLN Ruteng sedang di luar daerah, Heri memerintahkan untuk menelepon pimpinan perusahaan milik negara itu dan memperdengarkan jawabannya melalui mikrofon di depan warga.

Namun, percakapan via telepon tidak dilanjutkan setelah pihak PLN mengatakan belum bersedia.

Agus Tuju mengatakan di hadapan Ngabut bahwa warga Poco Leok menolak aktivitas apapun yang dilakukan pemerintah dan perusahaan di tanah ulayat mereka, sebab tanah tersebut adalah “warisan nenek moyang yang akan diteruskan kepada anak cucu.”

“Nenek moyang sudah tiada, dan anak cucu belum ada. Kalau mau pakai lahan ulayat, silahkan minta kepada mereka di dunia lain itu,” ungkapnya.

Ngabut juga mengatakan bahwa SK Penetapan Lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Nabit adalah hasil konsultasi publik, termasuk yang sudah dilakukan di setiap Gendang di Poco Leok.

Namun, seorang warga membantah hal itu, menyebut bahwa ritus “Tabe Gendang” yang diadakan di setiap Gendang pada 2022 hanya berisi “permohonan maaf setelah pemerintah dan PT PLN melakukan survei di lahan ulayat tanpa izin komunitas warga”, dan “bukan tanda persetujuan terhadap proyek geothermal.”

Emerensiana Wasu, perempuan asal Gendang Mucu mengatakan di depan Ngabut bahwa “eme toe manga uma, toe manga gunan manga mbaru” [rumah dan kampung tidak akan berguna jika tanah sudah tidak ada lagi].

“Secara adat, kami juga melakukan upacara teing hang atau syukuran kepada leluhur yang tidak bisa dilakukan jika rumah Gendang dan tanah tidak ada lagi,” ungkapnya.

Maria Teme, perempuan asal Lungar mengatakan, pengeboran geothermal akan menyebabkan tanah terluka, “sama seperti melukai hati ibu kandung kita”, dan “tanah tersebut tidak lagi bisa memberikan kehidupan bagi kami.”

Maria Suryanti Jun, peserta aksi lainnya  mengatakan bahwa warga Poco Leok tidak lagi membutuhkan apapun dari pengeboran geothermal, sebab “sudah bahagia menjadi petani yang bisa hidup sehari-hari, bahkan juga menyekolahkan anak-anaknya hingga mencapai gelar sarjana.”

Wabup Ngabut: “Hentikan Sementara Aktivitas Apapun di Poco Leok”

Menanggapi pernyataan warga, Ngabut mengatakan mencatat semuanya dan membahas kembali SK Penetapan Lokasi “setelah bupati kembali ke Ruteng.”

“Saya tidak boleh mengambil langkah lain sebelum diskusi dengan bupati. Jangan paksakan kehendak,” katanya.

Warga Poco Leok saat terlibat dalam pertemuan di kantor bupati. (Dokumentasi Floresa)

Ngabut juga mengatakan jika ia bupati, maka SK tersebut “bisa saja dicabut saat ini juga.”

Di akhir pertemuan, warga memintanya mengambil keputusan segera yang menjamin bahwa PT PLN, pemerintah, STR/BPN, dan aparat keamanan tidak beraktivitas di Poco Leok.

“Kita buat kesepakatan tertulis dan ditandatangani Wakil Bupati agar mulai besok, hentikan segala kegiatan PLN, polisi, TNI, Pol PP di Poco Leok,” ungkap wakil kaum muda, Ferdi Parles yang diikuti oleh teriakan sepakat dari warga.

Menanggapi hal itu, Ngabut mengatakan akan memerintahkan pihak PT PLN, kepolisian, dan ATR/BPN untuk menghentikan sementara segala aktivitas di Poco Leok, sebab kata dia, “tidak ada guna berdiskusi kalau di lapangan bergerak terus, itu membuat sakit hati.”

“Ini taruhan saya, saya keluarkan perintah, istirahat dulu sejenak. Jangan bergerak dulu,” ungkapnya sambil menunjukkan lambang garuda di dada.

Aksi unjuk rasa tolak proyek geothermal di Ruteng berlangsung serempak dengan aksi di Kupang dan Jakarta, bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional.

Gelombang penolakan terhadap proyek geothermal Poco Leok terjadi beberapa waktu terakhir, terutama pasca ditetapkannya SK Penetapan Lokasi oleh Bupati Manggarai Hery Nabit pada 1 Desember 2022.

Sejak Februari 2023, warga melakukan beberapa kali aksi penghadangan terhadap aktivitas survei dan pematokan lahan di wilayah ulayat oleh PT PLN, pemerintah, dan ATR/BPN.

Mereka juga pernah menghadang Bupati Nabit saat berkunjung ke Poco Leok pada 27 Februari 2023.

Proyek geothermal Poco Leok, bagian dari proyek strategis nasional, adalah pengembangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi Ulumbu, 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak tahun 2012.

Geothermal Poco Leok ditargetkan pemerintah akan menghasilkan energi listrik 2 x 20 MW, meningkat dari 10 MW di PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi saat ini.

Selain Poco Leok, beberapa tempat di Flores juga menjadi sasaran proyek geothermal sejak penetapan pulau tersebut sebagai Pulau Geothermal pada 2017, seperti di Wae Sano,  Kabupaten Manggarai Barat dan di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Di lokasi-lokasi ini, warga juga menolak karena titik-titik pengeboran yang berada di dalam ruang hidup mereka, seperti di dekat pemukiman dan lahan pertanian.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA