Floresa.co – Proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai menjadi salah satu sorotan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] terkait sejumlah masalah dalam implementasi Proyek Strategis Nasional [PSN] di seluruh Indonesia.
Dalam laporan bertajuk “Dampak Proyek Strategis Nasional terhadap Hak Asasi Manusia” itu yang dirilis awal bulan ini, Komnas HAM menyatakan implementasi PSN oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo “mengakibatkan berbagai permasalahan di lapangan yang memicu konflik agraria dan dugaaan pelanggaran HAM.”
Salah satu pemicu, menurut lembaga negara itu, adalah ketentuan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional yang memberi ruang diskresi kebijakan, termasuk percepatan pengadaan tanah dan mengatasi berbagai hambatan yang ada.
Ketentuan tersebut, menurut Komnas HAM, “diterjemahkan secara kaku dan sepihak oleh aparatur negara sehingga menghambat terjadinya komunikasi dan dialog yang bermakna dengan masyarakat terdampak.”
“Hal ini sebagaimana terjadi dalam pembangunan PSN di Pulau Rempang, Kepulauan Riau; Poco Leok, NTT; KIHI Kaltara, dan banyak PSN lain di pelbagai wilayah di Indonesia,” tulis Komnas HAM.
Khusus soal Poco Leok, Komnas HAM mengaku telah menerima pengaduan dari 10 komunitas adat gendang yang menolak proyek perluasan dan pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5 dan 6 itu.
Menurut Komnas HAM, selain khawatir dengan potensi kerusakan lingkungan, warga juga melaporkan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan yang dimobilisasi oleh pemerintah daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN.
Selain itu, menurut Komnas HAM, warga dari 10 gendang juga harus menghadapi kelompok masyarakat pro proyek yang juga dimobilisasi pemerintah daerah dan PT PLN dari luar wilayah Poco Leok.
“Dalam keterangannya kepada Komnas HAM, pengadu menyampaikan berbagai tindakan represif dan kekerasan berupa dikeroyok, diinjak, dan dijatuhkan hingga ke selokan. Selain itu, dua perempuan diduga mengalami pelecehan seksual oleh anggota Polres Manggarai,” kata Komnas HAM.
Komnas HAM juga mengaku mendapat laporan soal jurnalis yang meliput aksi warga pada 2 Oktober yang juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian.
Insiden itu terkait kekerasan oleh Polres Manggarai yang menangkap warga dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut saat meliput aksi protes warga. Kasus ini sedang diselidiki oleh Polda NTT, baik terkait laporan pidana maupun etik.
Komnas HAM menyatakan, PSN telah mengakibatkan pelbagai pelanggaran HAM, baik hak hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak-hak kolektif serta hak-hak kelompok rentan.
Kesimpulan itu berdasarkan 114 pengaduan yang telah diterima terkait PSN pada periode 2020-2023.
“Jumlah aduan PSN adalah bagian dari 1.675 aduan dugaan pelanggaran HAM akibat konflik agraria dan sumber daya alam yang diterima Komnas HAM periode 2021-2023,” kata Komnas HAM.
Dari 98 aduan masyarakat, 72 aduan berasal dari kelompok masyarakat yang rentan, yang berarti PSN “berdampak secara kolektif atau dirasakan oleh kelompok masyarakat, termasuk masyarakat adat.”
Komnas HAM juga menyebut sebanyak 46 aduan melaporkan pemerintah pusat, 24 aduan melaporkan korporasi, 16 aduan melaporkan BUMN/D, 12 aduan melaporkan pemerintah daerah, 8 aduan melaporkan Polri, dan dua aduan melaporkan TNI.
Data tersebut, kata Komnas HAM, menunjukkan permasalahan dugaan pelanggaran HAM dalam PSN menyangkut berbagai aktor negara di pusat dan daerah, termasuk korporasi swasta dan negara.
Cegah Pelanggaran HAM Berulang
Berdasarkan temuan itu, Komnas HAM memberikan tujuh rekomendasi.
Salah satunya adalah “meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM yang terus berulang.”
Komnas HAM juga meminta mengevaluasi secara mendalam dan partisipatif PSN yang sedang berjalan dan menunda PSN yang akan berjalan.
“Hal ini dilakukan sampai terdapat laporan yang komprehensif atas dampak-dampak PSN sebagai bahan bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut,” kata Komnas HAM.
Komnas HAM juga merekomendasikan pemerintah agar “mengevaluasi proses penentuan dan penetapan daftar program dan PSN.”
Hal itu penting “untuk memberikan kesempatan kepada pihak terdampak agar terlibat dalam memberikan masukan atas proyek tersebut.”
Rekomendasi lainnya adalah menghentikan “mobilisasi pasukan Polri dan TNI yang berlebihan dalam pengamanan PSN.”
Komnas HAM juga mendorong pemerintah “merumuskan ulang keterlibatan Polri dan TNI dalam PSN secara proporsional serta membekali kedua institusi itu dengan pemahaman HAM yang baik dan memadai.”
Lembaga itu menegaskan bahwa tugas Polri dan TNI adalah “melayani dan melindungi rakyat.”
Apa Kata Warga Poco Leok?
Merespons laporan itu, Agustinus Tuju, salah satu warga adat Poco Leok berkata kepada Floresa, pemerintah terkait semestinya menindaklanjuti temuan dan rekomendasi Komnas HAM sebagai “lembaga negara yang kredibel.”
Tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi itu merupakan salah satu jalan untuk mencegah pelanggaran HAM lebih lanjut yang dilakukan oleh pemerintah dan PT PLN di Poco Leok, katanya.
Kalau temuan dan rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti secara serius, menurut Agus, pemerintah dan PT PLN “berpotensi akan melakukan kekerasan yang jauh lebih besar dari yang terjadi sebelumnya.”
“Tindak lanjut ke jenjang yang lebih serius terhadap temuan ini adalah bagian dari upaya pencegahan pelanggaran HAM,” katanya pada 13 Desember.
Agustinus merupakan salah satu warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan aparat pada 2 Oktober, yang ikut disinggung dalam laporan Komnas HAM.
Ia mengaku khawatir jika di tengah penolakan warga yang semakin menguat, “pemerintah daerah dan PT PLN justru merencanakan kejahatan kemanusiaan yang sistematis dan upaya penundukan besar-besaran atas masyarakat adat Poco Leok.”
“Kami menyebutnya sebagai kejahatan kemanusiaan karena PT PLN dan pemerintah daerah terkesan terus memaksakan proyek geotermal di Poco Leok di tengah ada temuan pelanggaran HAM dari Komnas HAM,” katanya.
“Jika pemerintah daerah dan PT PLN terus memaksa, itu berarti mereka mengabaikan dan tidak mengakui pandangan Komnas HAM yang merupakan salah satu lembaga negara,” katanya.
Komnas HAM telah Kunjungi Poco Leok
Warga Poco Leok, dibantu sejumlah lembaga advokasi telah menyampaikan pengaduan ke Komnas HAM pada 20 Oktober 2023.
Dalam pengaduan itu, Koalisi Advokasi Poco Leok, gabungan dari kelompok warga bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga berbasis gereja, menyebut Polres Manggarai telah melakukan “intimidasi dan kriminalisasi” terhadap warga yang sedang mempertahankan tanah mereka.
Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang melayangkan pengaduan pada 10 Agustus 2023, sementara lembaga Gereja Katolik JPIC SVD Ruteng juga melayangkan surat pengaduannya pada 29 Agustus 2023.
Sebagai tindak lanjut, pada akhir Oktober 2023 Komnas HAM melayangkan surat permintaan klarifikasi kepada sejumlah pihak, yakni PT PLN, Badan Pertanahan Nasional dan Gubernur NTT.
Pada 3 Maret tahun ini, Komnas HAM juga telah berkunjung ke Poco Leok.
Saat kunjungan itu, di mana Floresa juga ikut hadir, Kampianus Jebarus, salah satu warga Poco Leok mengisahkan pengalamannya saat dipukul aparat dalam aksi pada Juni 2023.
“Saya jatuh tersungkur sekitar tiga meter dengan posisi kepala ke bawah, tengkuk saya langsung bengkak,” kisahnya.
Selain dirinya, beberapa warga lain juga menjadi korban saat itu dan dilarikan ke Puskesmas dan RSUD Ruteng, di ibu kota Kabupaten Manggarai untuk mendapat perawatan.
Sementara itu, Elisabeth Lahus, salah satu perempuan Poco Leok mengaku “kami merasa sengsara.”
“Dalam dua puluh tiga kali aksi, kami berhadapan dengan kekerasan aparat polisi, TNI, dan Pol PP,” kisahnya.
“Kami mengira polisi, TNI dan Pol PP datang mengamankan dan menjaga masyarakat di kampung. Ternyata mereka datang injak-injak dan dorong kami,” katanya.
Proyek geotermal Poco Leok menargetkan penambahan kapasitas PLTP Ulumbu hingga 40 MW.
Warga telah menempuh berbagai cara untuk menyatakan penolakan karena titik-titik pengeboran yang dekat dengan pemukiman dan lahan mereka.
Mereka telah bersurat kepada lembaga-lembaga negara dan kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek.
Upaya lainnya adalah demonstrasi dan aksi pengadangan terus-menerus terhadap pemerintah dan PT PLN di lokasi.
Tim Independen yang diutus Bank KfW juga telah melaporkan temuan lapangannya terkait proyek tersebut.
Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional. Standar-standar itu mencakup menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna, berbagi manfaat, perlindungan hak atas tanah dan mekanisme penyampaian keluhan sesuai budaya dan yang dapat diakses masyarakat adat.
Karena itu, tim tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut.
Editor: Ryan Dagur