Anggota Ombudsman Endi Jaweng Tanggapi Pengaduan Warga Poco Leok, Sebut Kunjungannya Mewakili Institusi dan untuk Mendengar Semua Pihak

Endi mengakui masih terdapat masalah dalam proyek geotermal Poco Leok yang solusinya mesti dilakukan dengan berdialog, mengedepankan pendekatan humanis

Floresa.co – Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng yang diadukan warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai terkait dugaan pelanggaran kode etik membantah melakukan pelanggaran.

Ia menyatakan kunjungannya ke wilayah itu pada September untuk membahas polemik proyek geotermal adalah secara resmi mewakili Ombudsman dan tidak melakukan pembohongan publik sebagaimana dituduhkan.

Pengaduan terhadap Endi, sebagaimana dilaporkan Floresa pada 19 Desember, diajukan oleh Kristianus ‘Tino’ Jaret, warga asal Kampung Adat atau Gendang Tere, Poco Leok.

Dalam pengaduan yang ditujukan ke Dewan Etik Ombudsman pada 18 Desember, Tino menyebut Endi melakukan pembohongan publik dan membuat kegaduhan, sehingga dianggap melanggar kode etik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Ombudsman Nomor 40 Tahun 2019. 

Tino juga menyebut Endi diduga melakukan kunjungan ke Poco Leok pada 9 September bersama Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, tanpa sepengetahuan institusi.

Selain itu, Tino mempersoalkan Endi yang dianggap memelintir suara warga saat menyampaikan pernyataan di media beberapa hari setelah kunjungan itu.

Salah satu pernyataan Endi yang ia persoalkan, sebagaimana tertulis dalam pengaduannya, adalah klaim bahwa tahapan pengadaan lahan dalam proyek itu telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.

‘Saya Punya Legal Standing Mewakili Lembaga’

Sebelum memuat laporan pada 19 Desember, Floresa menghubungi Endi untuk meminta tanggapannya. 

Ia baru merespons pada malam hari usai laporan tersebut terbit, menjanjikan melayani wawancara pada hari berikutnya.

Dalam wawancara pada 20 Desember, ia menyatakan sudah mengetahui pengaduan warga Poco Leok, namun membantah sejumlah tudingan.

Tudingan Tino bahwa kunjungan Endi tanpa sepengetahuan institusi merujuk pada pernyataan anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro saat audiensi bersama Koalisi Advokasi Poco Leok pada 8 Oktober.

Kala itu, Widijantoro berkata Ombudsman “belum ada agenda berkaitan dengan polemik yang terjadi di Poco Leok.”

Endi mengklaim ada kekeliruan soal kutipan pernyataan Widijantoro dalam pertemuan itu yang kemudian jadi salah satu alasan pengaduan Tino.

“Sudah saya minta beliau [Widijantoro] untuk membuat klarifikasi karena memang rekaman videonya sama sekali tidak seperti yang disampaikan. Tapi, biar Pak Widijantoro yang akan klarifikasi soal ini,” katanya.

Soal alasan kunjungan, ia mengaku merupakan pimpinan Ombudsman yang mengampu wilayah NTT.

Karena itu, menyinggung pertemuan Koalisi Poco Leok dengan Ombudsman pada 8 Oktober, “secara prosedural seharusnya mereka bertemu saya.” 

“Kalau di NTT, mereka bertemu kepala perwakilan,” merujuk ke Darius, “dan kepala perwakilan pasti konsultasi ke saya.”

Sebagai pengampu wilayah NTT, ia mengaku memiliki tanggung jawab langsung untuk menangani berbagai persoalan di wilayah tersebut. 

“Saya bebas bergerak ke mana saja, dari Belu sampai Manggarai Barat untuk bertemu dengan siapa pun, mulai dari kepala daerah hingga masyarakat kecil,” katanya.

Menurut Endi, pelaporan masalah ini ke Widijantoro “justru akan menimbulkan kerancuan.”

“Tidak tepat masalah A dilaporkan ke pengampu C. Dan yang repotnya, pengampu C ini kan menerima laporan itu,” katanya.

Meski demikian, Endi menyatakan ia “memahami bahwa warga adat Poco Leok tidak sepenuhnya mengetahui sistem internal di Ombudsman.”

Endi menyatakan, sebagai pimpinan Ombudsman RI, setiap kunjungannya dilakukan dalam kapasitas sebagai perwakilan lembaga, merespons tudingan bahwa kunjungan tidak diketahui institusi.

“Saya punya legal standing mewakili lembaga. Saya ini pimpinan. Kalau jalan, otomatis saya mewakili Ombudsman,” katanya.

“Saya kan bukan staf. Kalau saya staf, baru tidak boleh mengklaim [mewakili] organisasi.”

Ia menjelaskan, merujuk pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, “Ombudsman itu ya kami, para pimpinan ini.” 

“Ombudsman adalah nama jabatan, bukan hanya lembaga,” ujarnya.

Endi menambahkan, setiap kunjungan kerjanya, baik di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pengampu, maupun di wilayah lain, selalu berdasarkan surat tugas resmi yang dikeluarkan oleh Ketua Ombudsman.

Jika tidak dibekali dengan surat tugas “itu berarti atas kebijakan pribadi, yang tentu saja tidak sesuai dengan prosedur lembaga.”

Endi kembali menghubungi Floresa pada 21 Desember, mengirim tangkapan layar linimasa kunjungan kerja dalam surat tugasnya.

Dalam daftar itu, tertulis  bahwa salah satu tujuannya adalah ke Poco Leok, yang dilakukan pada pada 11 September.

Ombudsman Hanya Mendengar, Tidak Memihak

Salah satu alasan pengaduan Tino adalah pernyataan Endi pasca kunjungan itu, yang menurutnya tidak menyampaikan pernyataan warga yang menolak, sebagaimana yang didengar Endi selama pertemuan di dua lokasi, Gendang Lungar dan Gendang Nderu.

Dalam pertemuan itu, yang rekamannya ada pada warga, menurut Tino, “tidak ada seorang pun dari warga yang hadir yang menyatakan terima atau mendukung proyek tambang panas bumi itu untuk dikembangkan di wilayah Poco Leok.”

Alih-alih mengungkap penolakan warga, kata Tino merujuk pada pemberitaan dalam salah satu media siber, Endi malah menyatakan bahwa pengadaan lahan dalam proyek itu, seperti untuk titik pengeboran atau wellpad D, E, F, dan G, “telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.”

Karena itu, ia pun menyebut Endi melakukan “pembohongan publik.”

Endi berkata kepada Floresa, kedatangannya ke Poco Leok dalam rangka menyerap pendapat warga, baik yang kontra maupun pro dengan proyek. Karena itu, dalam kunjungan selama dua hari, ia bertemu dengan kedua kelompok tersebut.

Ia menampik melakukan pembohongan publik, karena “seolah-olah saya menjanjikan kepada warga adat waktu itu bahwa sepulang bertemu dengan mereka, dalam waktu dua hari saya selesaikan masalah ini.”

“Lalu, jika saya tidak selesaikan, berarti itu adalah kebohongan,” katanya.

“Saya tidak menjanjikan itu. Saya kan datang untuk kemudian membuka diri mendengar, karena tugas Ombudsman antara lain adalah mendengar dan kami punya hak inisiatif sendiri untuk menjemput masalah.”

Setelah mendapat masalah, termasuk dari pemberitaan media yang “sangat penting untuk kami, Ombudsman bisa proaktif menjemput bola, minimal bertemu dengan para pihak, berdialog, ngobrol.”

“Mendengar, bagi kami di Ombudsman, menjadi kata kunci penting. Dan, dalam kerangka mendengar ini, Ombudsman tidak boleh hanya mendengar satu pihak,” katanya, menambahkan bahwa “saya ini bukan perpanjangan satu pihak.”

“Kami harus bertemu dengan berbagai pihak, termasuk kelompok netral. Kami harus mendengar semua,” ujar Endi.

Ia menegaskan mendengar pandangan dari berbagai pihak penting untuk mendapatkan gambaran yang objektif sehingga memungkinkan Ombudsman memahami situasi secara menyeluruh.

Endi juga menyatakan, soal pernyataan di media siber bahwa proses yang ditempuh pemerintah dan PT PLN  “telah sesuai dengan regulasi yang berlaku,” ia “tidak ingat persis.”

Ia menjelaskan, yang ia maksudkan adalah kalau memang pada titik proyek tertentu, pemerintah dan PLN merasa sudah clear and clean secara legal, “di wilayah itulah proses pengerjaan [proyek] dilakukan.” 

“Sebenarnya kan yang membuat penetapan lokasi itu bupati. Dia yang harus tahu, seperti apa dasar hukum dan implementasinya, demikian juga PLN-nya,” katanya.

Namun, dari temuannya, kata dia, “saya terus terang melihat masih banyak yang harus dilakukan dengan dialog.”

“Saya itu seharian dengan warga adat [yang menolak], paling tidak merasakan benar suasana kebatinan mereka,” katanya.

Ia menyatakan bahwa, secara sosial dan lingkungan, proyek ini betul-betul butuh upaya mitigasi, termasuk demi menghindari konflik.

Karena itu, katanya, terhadap lokasi-lokasi “yang masih ada proses atau soal sosialnya, resistensi dan sebagainya, “dialog sosial wajib dilakukan.”

“Pendekatannya mengedepankan cara-cara yang humanis. Artinya apa, urusan [pendekatan] keamanan dan sebagainya tidak boleh digunakan.” 

“Aparat keamanan itu tugasnya untuk melindungi masyarakat, bukan untuk memerangi masyarakat. Saya sampaikan terbuka seperti itu,” katanya.

Ia menjelaskan, usai pertemuan itu, Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton juga telah membuat surat ke PT PLN. Ia mendapat tembusannya.

Dalam surat itu, kata dia, Ombudsman menyampaikan ada tiga dimensi masalah dalam proyek ini, yakni legal, sosial dan lingkungan.

Karena itu, butuh peran PT PLN dan bupati “untuk membangun berbagai dialog.”

Terhadap Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit yang kembali terpilih pada pilkada November dan menjadi pihak yang menerbitkan izin lokasi proyek ini pada Desember 2022, kata Endi, “saya sangat memohon agar dia lebih berdialog lagi dengan warga.”

“Saya melihat, warga itu butuh didengar,” katanya.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, didampingi Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton menerima surat pernyataan sikap penolakan warga terhadap proyek geotermal di Rumah Adat Gendang Nderu, Desa Mocok, Poco Leok pada 9 September 2024. (Dokumentasi warga Poco Leok)

Soal “Jajak Pendapat”

Endi juga merespons poin pengaduan Tino terkait “jajak pendapat” yang dilakukannya bersama Darius di Desa Wewo.

Tino menyebut, jajak pendapat itu berpotensi “memperluas polarisasi dan konflik horizontal” karena “Desa Wewo adalah desa yang berada di luar wilayah Poco Leok.”

Klaim Tino soal jajak pendapat merujuk pada penjelasan Darius dalam audiensi dengan Koalisi Advokasi Poco Leok pada 8 Oktober. 

Darius menyatakan, ia mendampingi Endi menemui warga Desa Wewo untuk menanyai pendapat mereka terkait pro kontra proyek itu.

Dalam penyataan yang kemudian dirilis media siber Swarantt.net, Darius juga menyampaikan hasil jajak pendapat itu, bahwa 39 kepala keluarga di Poco Leok menolak menyerahkan lahannya untuk proyek geotermal, sedangkan 409 kepala keluarga memberi persetujuan.

Endi mengklaim tidak melakukan jajak pendapat, seperti pernyataan Darius.

“Kapan ya saya melakukan jajak pendapat itu? Saya tidak melakukan itu. Yang saya lakukan adalah bertemu dan mendengar,” katanya.

“Saya bukan peneliti, jadi saya juga tidak mengerti cara-cara seperti itu,” tambahnya.

Soal klaim Darius tentang hasil jajak pendapat, ia menyatakan, “mungkin dia sudah punya analisis” polemik ini.

Namun, katanya, ketika ke PLN, pihaknya justru mengedepankan dua poin – yaitu menyatakan bahwa pengerjaan proyek ini hanya bisa dilakukan di titik yang sudah clear and clean, sementara di titik lain butuh dialog.

Floresa telah menghubungi Darius pada 19 Desember terkait pernyataannya. 

Ia sempat menjanjikan akan memberi penjelasan, namun tidak memberi kabar lagi setelahnya.

Tidak Bisa Memuaskan Semua Pihak

Endi menyatakan, dalam merumuskan pandangan soal polemik proyek ini, ia mempertimbangkan berbagai aspek secara terukur, meski selalu mungkin “tidak memuaskan semua pihak.”

Ia menyatakan, pendekatannya terbuka dengan menemui berbagai pihak, baik di Jakarta, Ruteng, maupun lokasi lainnya, “demi mendengarkan masukan secara langsung.”

Endi juga sempat menanggapi komentar soal keikutsertaan istrinya dalam kunjungan itu, yang memicu dugaan bahwa kunjungannya untuk kepentingan pribadi.

Dalam banyak kesempatan, kata dia, para pimpinan Ombudsman mengajak istri, sejauh itu dibayar pakai uang pribadi.

Ia menyebut “Poco Leok dan Ulumbu itu adalah kampung halaman saya.”

“Saya seperti pulang kampunglah ketika berkunjung ke sana. Apakah saya tidak boleh pulang kampung bawa istri?” katanya.

Ia menambahkan, setiap kunjungan ke daerah ia juga membawa tim yang mengurus bagian komunikasi, protokol, tenaga ahli dan sekretaris pribadi.

“Justru jika kami jalan sendiri, gampang dicurigai punya urusan pribadi,” katanya.

“Kalau saya jalan dengan banyak orang, saya akan lebih hati-hati,” tambahnya.

Ia menyatakan, dalam polemik proyek itu, ia tidak memiliki agenda politik, seperti mencalonkan diri untuk jabatan publik atau “saya sedang mengkampanyekan seseorang.”

“Apakah saya melakukan itu? Tentu tidak, karena sangat tega bila saya melakukan itu di tengah penderitaan masyarakat,” katanya.

“Ombudsman tidak boleh berpolitik. Bahwa saya bertemu banyak pihak, ya rutinitas kerja pimpinan bertemu dengan banyak orang.”

Polemik Proyek Geotermal Poco Leok 

Proyek geotermal Poco Leok merupakan bagian dari proyek strategis nasional yang menargetkan penambahan kapasitas PLTP Ulumbu hingga 40 MW.

Kendati ada warga yang telah menyerahkan lahannya kepada PT PLN untuk titik-titik pengeboran, warga dari 14 kampung ada di Poco Leok terus menyuarakan penolakan karena titik-titik pengeboran yang dekat dengan pemukiman dan lahan mereka.

Mereka telah bersurat kepada lembaga-lembaga negara, seperti Ombudsman dan Komnas HAM, selain kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek. 

Upaya lainnya adalah demonstrasi dan aksi pengadangan terus-menerus terhadap pemerintah dan PT PLN di lokasi.

Bulan lalu, Tim Independen yang diutus Bank KfW juga telah melaporkan temuan lapangannya terkait proyek tersebut. Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional. 

Standar-standar itu termasuk menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna serta perlindungan hak warga atas tanah.

Karena itu, tim tersebut merekomendasikan penghentian sementara.

Polemik proyek ini juga diwarnai aksi represif aparat. Dalam insiden terakhir pada 2 Oktober, beberapa warga, termasuk Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut dianiaya oleh aparat kepolisian

Kasus ini sedang ditangani oleh Polda NTT, baik terkait tindak pidana maupun pelanggaran etik.

Dalam laporan yang dirilis awal bulan ini terkait proyek strategis nasional, Komnas HAM ikut menyoroti polemik di Poco Leok.

Lembaga itu mengaku telah menerima pengaduan dari warga karena khawatir dengan potensi kerusakan lingkungan, kekerasan oleh aparat keamanan dan kelompok masyarakat pro proyek yang juga dimobilisasi pemerintah daerah dan PT PLN dari luar wilayah Poco Leok. 

Komnas HAM menyatakan, proyek strategis nasional mengakibatkan pelbagai pelanggaran HAM, baik hak hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak-hak kolektif serta hak-hak kelompok rentan. Kesimpulan itu berdasarkan 114 pengaduan yang telah diterima terkait PSN pada periode 2020-2023.

Karena itu, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah untuk adalah meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk proyek strategis nasional “karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM yang terus berulang.”

Komnas HAM juga meminta mengevaluasi secara mendalam dan partisipatif proyek yang sedang berjalan dan menunda proyek yang akan berjalan. 

“Hal ini dilakukan sampai terdapat laporan yang komprehensif atas dampak-dampak proyek strategis nasional sebagai bahan bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut,” kata Komnas HAM.

Rekomendasi lainnya adalah menghentikan mobilisasi pasukan Polri dan TNI yang berlebihan dalam pengamanan proyek karena tugas mereka adalah “melayani dan melindungi rakyat.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA