Jokowi Bicara Soal ‘Pendidihan Global’ Karena Masalah Lingkungan, di Labuan Bajo Dia Alih Fungsikan Hutan untuk Proyek Pariwisata

Pernyataan Jokowi dinilai tidak sinkron dengan kebijakannya yang justeru mengalihfungsikan hutan yang diserahkan kepada Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Flores, mengabaikan protes warga

Baca Juga

Floresa.co – Dalam sebuah cuitan usai berbicara dalam World Hydropower Congress 2023 di Bali, Selasa, 31 Oktober, Presiden Joko Widodo menyitir pernyataan Perserikatan Bangsa-bangsa bahwa “bumi sudah bukan lagi mengalami pemanasan global, tetapi telah memasuki fase pendidihan global.”

“Jika kenaikan suhu bumi dibiarkan mencapai lebih dari 1,5 derajat Celcius, maka diprediksi akan membawa bencana bagi banyak orang di berbagai belahan dunia: 210 juta orang mengalami kekurangan air, 14 persen populasi akan terpapar gelombang panas, 290 juta rumah akan terendam banjir pesisir, dan 600 juta orang akan mengalami malnutrisi akibat gagal panen,” tulis Jokowi di akun Twitter [X].

Cuitan Jokowi direspons oleh akun X @KawanBaikKomodo, mengkontraskan pernyataannya dengan kebijakannya di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

“Apakah Bapak mengerti apa yg Bapak tulis ini?,” demikian cuitan akun yang dikelola secara kolektif itu dan aktif menyuarakan persoalan proyek pariwisata di Labuan Bajo.

“Mengapa 400 ha hutan pelindung dan sumber mata air di puncak kota #LabuanBajo #Flores Bapak alih fungsi utk bisnis hotel dan resort lewat Perpres 32/2018? Sudah 4 tahun warga dan pegiat lingkungan kritik Perpres itu, knp belum dicabut? @jokowi.”

Akun itu mempertanyakan kebijakan Jokowi yang lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 menyerahkan kawasan seluas 400 hektare di Hutan Bowosie kepada Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Flores [BPO-LBF] untuk pembangunan kawasan bisnis pariwisata. Hutan Bowosie mengitari kota Labuan Bajo di sisi timur.

BPO-LBF, yang sejak 2021 statusnya menjadi Badan Layanan Umum, telah menamai kawasan itu sebagai Parapuar dan sedang memasarkannya kepada para investor. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno menargetkan kawasan itu mendapat Rp800 miliar dana investasi.

Pada bulan lalu, BPO-LBF sudah mengantongi Sertifikat Hak Pakai Lahan [HPL] dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui SK MenATR/BPN Nomor 110 untuk wilayah seluas 129,608 hektare.

Sertifikat itu diserahkan oleh Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia [PSI]. Partai yang kini diketuai Kaesang Pangareb, anak bungsu Jokowi merupakan pendukung pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, juga putra Jokowi.

Kawasan yang sudah mendapat HPL itu masuk dalam zona satu dari total empat zona Parapuar. BPO-LBF menyatakan zona satu yang dinamai zona budaya (culture district) akan dimanfaatkan sebagai pusat budaya, research center, area UMKM, museum, hingga galeri.

Keputusan Jokowi mengalihfungsikan hutan ini terus dikritik oleh warga lokal dan aktivis setempat, karena sebagian dari wilayah itu sudah dikuasai oleh warga setempat bepuluh-puluh tahun dan kekhwatiran terhadapan ancaman krisis ekologi untuk Labuan Bajo.

Kekhawatiran terhadap masalah lingkungan itu seakan terjawab ketika hujan lebat pada April dan memicu banjir dari kawasan di Hutan Bowosie yang sudah digusur untuk pembangunan jalan oleh BPO-LBF.

Sejumlah rumah warga di kampung sekitar, seperti Racang Buka, menjadi sasaran. Banjir juga terjadi di sejumlah wilayah lain di Labuan Bajo. Banjir itu disebut warga sebagai banjir pertama yang terparah di ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu.

Berbicara dengan Floresa baru-baru ini, Heri Jem, salah seorang anggota Komunitas Racang Buka, yang selama ini menduduki wilayah yang diberikan Jokowi ke BPO-LBF mengatakan, meski BPO-LBF telah mengantongi sertifikat itu, “kami tidak mau peduli.”

Ia mengatakan, kalaupun nanti investor bekerja di lahan itu, “kami juga tetap kerja.

Muhammad Rudi, warga lainnya mengatakan, sebagian dari lahan yang telah dikuasai oleh BPO-LBF dengan sertifikat HPL merupakan milik keluarganya yang telah dikelola sejak 1990-an.

“Masa kecil saya dilewatkan di sana,” katanya kepada Floresa.

Ia mengatakan, sebelum BPO-LBF tiba-tiba muncul pada 2018, mereka telah melakukan berbagai upaya legal agar secara sah mendiami setidaknya 150-an hektar wilayah di hutan itu melalui skema pembebasan kawasan hutan menjadi pemukiman dan lahan pertanian. 

Upaya mereka telah direspon pemerintah melalui penetapan SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016. Namun, hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain [APL] yaitu area permukiman.

Sementara, bagian lain dari hutan itu yang mereka mohonkan menjadi bagian dari kawasan yang diserahkan kepada BPO-LBF.

Rudi mengatakan, lahan yang masuk wilayah HPL untuk BPO-LBF adalah lahan yang sudah diduduki masyarakat.

“Jadi, BPO-LBF murni ambil milik masyarakat”, katanya.

Heri Jem menambahkan, penerbitan sertifikat HPL oleh Kementerian ATR/BPN sarat dengan manipulasi.

Sebetulnya, kata dia,  BPO-LBF sulit untuk mendapatkan sertifikat itu.

Karena itu, jelas Heri, lembaga itu mencari celah untuk mengakali, mengibuli, serta memprovokasi masyarakat dengan berbagai cara. 

Salah satunya, jelas Heri, adalah membohongi masyarakat untuk menandatangani sebuah dokumen, yang oleh petugas diinformasikan sebagai syarat pembuatan sertifikat lahan yang sudah masuk APL 38 hektar.

“Masyarakat tanda tangan dan menyerahkan semua KTP. Dua hari setelah mereka [BPO-LBF] memperoleh KTP masyarakat, mereka langsung ke Kupang. Sekitar satu Minggu mereka urus itu dan kemudian hasilnya keluar HPL”, kata Heri.

Rudi menambahkan masyarakat memang menginginkan sertifikasi atas lahan 38 hektar yang merupakan area permukiman.

Ia mengatakan, saat hendak mendapat tanda tangan itu, warga dik diberitahu bahwa “kita pastikan dulu 38 hektare rumah kita ini aman.”

“Setelah itu nanti, di luar 38 hektare ini kita berjuang bersama”, kata Rudi menirukan bahasa yang dilontarkan oleh Staf Desa Gorontalo. 

“Masyarakat terpengaruh dengan ucapan staf desa itu dan memberikan tanda tangan. Nah, tahu-tahunya tanda tangan ini untuk kepentingan BPO-LBF,” kata Rudi.

Rudi mengaku bahwa masyarakat sudah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kembali hak atas sebagian besar lahan mereka di hutan Bowosie.

Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat yang mendatangi wilayah mereka, menyurati para investor, beraudiensi dengan DPR di Senayan, menggelar rangkaian unjuk rasa, serta mencegat penerbitan sertifikat HPL, tetapi secara umum hasilnya nihil. 

Terkait tindak lanjut dari pertemuan di Senayan, Rudi mengatakan “curhatan kita itu menjadi semacam obat tidur mungkin bagi orang-orang di Senayan.”

“Tidak ada tindak lanjut dari rentetan diskusi panjang itu”.

Rudi mengatakan, dengan perkembangan terakhir ini, mereka memutuskan untuk tetap berkebun di wilayah yang sudah disertifikasi oleh BPO-LBF.

“Mau ke mana lagi? Di puncak atas itu, masih ada yang tinggal. Warga masih tanam-tanam di atas, masih bersih-bersih sekarang,” katanya.

Heri menjelaskan, memang ada pihak yang mengintimidasi dengan mengatakan “kalau sudah ada sertifikat [HPL] nanti, kamu tidak bisa buat apa-apa.”

Namun, kata dia, yang masyarakat tahu adalah “ini kami punya kebun” dan hanya berjuang untuk tanah yang sudah mereka kuasai.

“Itu yang membuat mereka tidak gentar untuk mempertahankan hak penguasaan lahan,” katanya.

Direktur BPO-LBF, Shana Fatinah tidak merespons permintaan Floresa untuk mengomentari masalah ini. Ia hanya membaca pesan yang dikirimkan ke WhatsApp-nya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini